September 26, 2008

Operation Haik: Part Two

Tanggal 18 Mei 1958, pesawat B-26 dengan pilot Amerika Allen Pope terbang dari markas pemberontak untuk sebuah misi pengeboman. Pengarahan yang singkat dan jelas diberikan orang CIA yang bertanggung jawab atas misi ini:

“Informasi kita menyebutkan ada iring-iringan kapal pemerintah yang bergerak ke arah kepulauan Morotai di arah utara kepulauan Maluku.”

“Dimana iring-iringan itu sekarang?” tanya Pope.

“Mereka baru saja meninggalkan pulau Ambon. Kemungkinan posisi mereka masih ada di sekitar pelabuhan keberangkatan. Selamat terbang!”

Pesawat telah dilengkapi dengan bahan bakar penuh, bom dan machine gun. Pada saat mencapai perairan Ambon dan berhasil mengintai iring-iringan kapal Indonesia, keberadaan pesawat B-26 justru diketahui tentara Indonesia dan beberapa diantaranya mulai menembaki pesawatnya. Saat Pope akan membalas tembakan tersebut, serangan tembakan yang datang berikutnya justru bertambah banyak dan besar yang berasal dari semua jenis persenjataan. Akibatnya pesawat B-26 mulai mengalami getaran hebat dan Pope mulai kehilangan kontrol atas pesawat dan berusaha untuk kembali ke markas.

P-51 milik pasukan pemerintah hanya membutuhkan sekali tembakan untuk menjatuhkan pesawat B-26 ke laut. Pope dan operator radionya berhasil lompat dari B-26 sebelum pesawat tersebut hancur ke laut. Bagi Pope, CIA dan Presiden Eisenhower, kekhawatiran mereka baru saja dimulai.

Pope dan operator radionya akhirnya ditangkap oleh kapal Indonesia yang menyerang mereka. Ironisnya, dia juga melihat keberhasilan serangan pasukan pemerintah di Morotai, sebuah daerah yang seharusnya dia lindungi dalam misinya. Penangkapan Pope menjadi peristiwa yang sangat memalukan bagi Washington. Pemerintah Amerika sendiri secara resmi menyangkal keterlibatan mereka dalam mendukung gerakan pemberontak di Indonesia. Di Jakarta, Dubes Amerika untuk Indonesia mengatakan pilot warga negara Amerika yang tertangkap tersebut mungkin seorang serdadu sewaan yang membela pemberontak. CIA berharap Pope tidak membawa dokumen yang menidentifikasikan dirinya saat ditangkap. Sebagai seorang pilot senior yang pernah terlibat di Perang Korea dan operasi di Indochina, Pope diyakini CIA mampu mengatasi hal ini. Amerika seperti bermain api dalam hal ini, yang dapat menyulut Perang Dunia III seperti yang diperingatkan Sukarno.

Tetapi harapan itu sia-sia, karena saat penangkapan Pope, Indonesia menemukan kartu identitas US Air Force dan Civil Air Transport (CAT) dan juga kontraknya untuk Operasi Haik beserta 2 atau 3 dokumen lainnya yang tak kalah penting. Hubungan Pope dengan US Air Force dan lebih serius lagi dengan CAT membuat Indonesia meyakini adanya keterlibatan CIA. Prosedur CIA sendiri sangat tegas untuk tidak akan mengakui dokumen-dokumen yang dibawa oleh Pope. Karena status sebagai seorang pilot dengan misi dari pemerintah Amerika tidak dapat dijadikan sebagai subjek untuk negoisasi, Pope yang diperankan sebagai serdadu bayaran pun terancam dieksekusi.

Sukarno menuntut permintaan maaf Amerika. Dia pun memanfaatkan Pope untuk mempermainkan pemerintah Amerika yang masih tetap tertutup. Washington secara menyedihkan membiarkan dirinya dimanipulasi dan beberapa hari kemudian Operasi Haik secara tiba-tiba dihentikan. Amerika juga mencabut embargo yang pernah mereka jatuhkan ke Indonesia. Mulai bulan Agustus 1958, pemerintah Amerika mulai mengirimkan peratalatan perang senilai jutaan dolar ke pemerintah Indonesia. Peristiwa ini meruntuhkan semangat dan kepercayaan diri pemberontak di Indonesia.

Pope kemudian diadili di pengadilan militer Indonesia dan tetap berusaha menjadi seorang serdadu bayaran. Pope diadili dengan tuduhan melaksanakan 6 misi pengeboman untuk pemberontak, membunuh 23 orang Indonesia termasuk 6 orang sipil. Tetapi Pope membantah dan menyatakan hanya melaksanakan 1 misi pengeboman yaitu saat pesawatnya ditembak jatuh. Penerbangan yang lain menurut penjelasan Pope hanya merupakan misi pengintaian.

Pope tetap menyatakan tidak bersalah tetapi pengadilan militer memutuskan Pope bersalah dan dihukum mati. Meskipun Indonesia tidak pernah melaksanakan eksekusi hukuman mati tetapi baik Washington maupun markas CIA sangat perhatian dengan kemungkinan itu. Setelah Pope dipenjara, CIA menyiapkan sebuah tim yang dilatih di Philipina untuk melarikan Pope dengan menggunakan sistem Fulton, sebuah strategi penjemputan orang di darat menggunakan balon helium dan pesawat, yang diciptakan oleh Robert Fulton. Tapi strategi ini masih menjadi perdebatan di antara mereka karena risiko yang ada. Akhirnya operasi pembebasan Pope dari penjara tidak pernah direalisasikan setelah seorang pilot yang ahli dalam sistem Fulton terbunuh dalam sebuah operasi di Laos.

Akhirnya Pope dibebaskan pada tahun 1962 setelah Kennedy terpilih sebagai Presiden Amerika dan membawa hubungan baik antara Indonesia dan Amerika. Washington tetap melanjutkan untuk membayar permintaan maafnya dengan mengirimkan 37.000 ton beras dan 4 pesawat pengangkut Hercules C-130, yang pada masa itu merupakan pesawat transportasi paling modern yang dimiliki US Air Force.

Ray Cline, mantan kepala unit CIA di Taiwan dan salah satu orang yang bertanggung jawab atas Operasi Haik berkomentar soal ini, “Masalah dari operasi bawah tanah adalah apabila ditemukan informasi yang menguak adanya keterlibatan CIA, maka akan membuat pemerintah Amerika mengubah perilakunya dengan menghentikan seluruh operasi”.

Operation Haik: Part One

Karena berpikir Sukarno pro komunis, Amerika pernah mendukung pemberontakan beberapa kolonel militer di Sumatera dan Sulawesi. Apalagi pemicu pemberontakan ini karena para kolonel tersebut tidak puas dengan sikap pemerintah terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Amerika sepertinya lupa kalau Sukarno pernah memerintahkan penangkapan anggota PKI saat pecah peristiwa Madiun 1948. Tetapi ide Sukarno tentang “third force”, negara non blok yang tidak memihak pada salah satu kekuatan di era Perang Dingin, membuat Amerika mulai tidak menyukai Sukarno.

Bulan Nopember 1957, Eisenhower memerintahkan CIA untuk melaksanakan Operasi Haik dengan tujuan utama menjatuhkan Sukarno. Eisenhower berharap untuk mengulangi keberhasilan Operasi Success 4 tahun lalu yang berhasil mengusir Presiden Guatemala Jacobo Arbenz karena alasan yang hampir sama. CIA memulai Operasi Haik dengan memasok persenjataan ke para pemberontak. Strategi yang sangat imajinatif dari CIA adalah dengan membuat dan menyalurkan sebuah film berbau pornografi yang dikaitkan dengan Sukarno untuk mendiskreditkan namanya. Strategi ini kurang berhasil dan akhirnya mereka kembali ke metode tradisional dan mulai menyusun rencana intervensi militer.

Beberapa markas dibangun di Philipina untuk melatih para pemimpin pemberontak. Ribuan gerilyawan dilatih sebelum kemudian dikirim untuk bertempur di beberapa wilayah di Indonesia. Tetapi Amerika tetap tidak terlibat secara langsung dalam pertempuran. Situasi mulai berubah di tahun 1958 ketika mereka memutuskan untuk menyediakan dukungan dari udara secara langsung ke pemberontak.

CIA memilih 3 pesawat tua bekas Perang Dunia II tipe pengebom B-26 dari lusinan pesawat yang dikandangkan di pangkalan udara Amerika di Clark, Philipina. Pesawat-pesawat tua tersebut segera dikondisikan kembali agar bisa terbang dengan layak dan dilengkapi dengan 12.7 mm machine gun yang diletakkan di moncong dan sayap pesawat. Tanda sebagai pesawat Amerika dihilangkan dan seluruh pesawat dicat hitam. Selain itu serial number dari part mesin pesawat juga dihilangkan untuk menanggalkan identitas sebagai pesawat Amerika.

Pada bulan Maret 1958. 3 pesawat Mustang F-51D yang dipinjam dari Angkatan Udara Philipina bergabung dengan 3 pesawat B-26. Seperti juga B-26, semua hal yang bisa mengidentifikasi asal pesawat dihilangkan, termasuk cat hitam di seluruh tubuh pesawat.

Hanya sedikit orang berpengalaman yang bisa direkrut CIA untuk menerbangkan CIA sedangkan orang Indonesia yang berpartisipasi berperan sebagai co-pilot dan operator radio. Karena alasan inilah CIA terpaksa menggunakan 6 pilot Amerika dari angkatan udara. Orang-orang yang direkrut semuanya mantan CAT yang pernah ikut ambil bagian dalam operasi di Taiwan. Untuk menambah kekuatan CIA juga merekrut beberapa pilot dari Eropa Timur, terutama dari Polandia. Sebagian besar dari orang-orang ini pernah ikut dalam operasi CIA di Yunani.

Misi pertama B-26 dilakukan di pagi hari tanggal 13 April 1958 ketika satu pesawatnya berangkat dari markas Mapengat dan menyerang pangkalan udara Makassar. Tanggal 17 April 1958, pesawat B-26 lainnya menyerang pangkalan minyak di Balikpapan yang menyebabkan hancurnya beberapa kilang minyak dan merusak C-47 milik Royal Dutch Shell. Beberapa serangan berikutnya lebih banyak dilakukan di pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Serangan-serangan ini telah menumbuhkan moral semangat para pemberontakan.

Pada tanggal 18 April 1958, setelah penyerangan di Balikpapan, pemerintah Indonesia melancarkan operasi menumpas pemberontak di Sumatera. Operasi yang didukung pasukan terjun payung dan tank-tank amphibi ini berjalan sukses. Hal ini menyebabkan banyak pemberontak melarikan diri ke Sulawesi. Di waktu yang sama, CIA sedang menyiapkan 3 pesawat pengebom yang dilengkapi dengan machine gun di moncong pesawat bukan di sayap. Seluruh badan pesawat juga disempurnakan dengan sentuhan metalik kecuali di pod mesin pesawat yang dicat hitam.

Kekalahan yang diderita pemberontak ini membuat CIA meningkatkan bantuan udaranya. The Mustangs yang telah disiapkan di Philipina diterbangkan ke Sulawesi pada akhir April 1958. Beberapa hari kemudian mereka telah menyerang pangkalan udara di Manado. Tetapi CIA tidak menyadari bahwa langkah awal dari Operasi Haik ini dikemudian hari akan berubah cepat menjadi hal yang sia-sia dengan tertangkapnya pilot B-26, Allen Pope seorang warganegara Amerika.

Singapore: The Great Lion

Pada awal lahirnya sebuah negara baru bernama Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi konsentrasinya pada awal-awal berdirinya Singapura.

Pertama, tentu adalah pengakuan internasional atas lahirnya negara baru itu.

Dan hal Kedua terbesar yang menjadi perhatian Lee Kuan Yew adalah masalah keamanan dan pertahanan.

Pada awalnya, Singapura hanya memiliki 2 batalion pasukan, itupun berada dalam komando seorang brigadir dari Malaysia, Brigadir Syed Mohammed bin Syed Alsagoff yang menurut Lee seorang Arab Muslim dengan kumis yang siap setiap saat mengambil alih negara Singapura.

Ia harus menyiapkan angkatan bersenjata dan sistem pertahanan dalam waktu dekat, untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal, terutama beberapa pihak di Malaysia yang tak setuju dengan kemerdekaan Singapura. Kelompok yang satu ini, dipercaya akan mengganggu proses kemerdekaan Singapura, oleh Lee Kuan Yew.

Untuk mengatasi masalah pertahanannya, pada awalnya Singapura meminta bantuan dan menghubungi Mesir dan India untuk menyiapkan angkatan bersenjata. Alasan Lee Kuan Yew meminta bantuan ke Mesir, salah satunya adalah pertimbangan Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia dan masyarakat Muslim di wilayah Singapura kemungkinan akan mendukung, sehingga kemungkinan terjadi kerusuhan yang tidak terkendali untuk menolak kemerdekaan Singapura akan sangat kecil.

Dari Mesir, Lee Kuan Yew mendapat jawaban, bahwa Presiden Gamal Abdul Nasser menerima dan mengakui kemerdekaan negara Singapura, tapi tidak memberikan jawaban pasti atas permintaan bantuan militer. Hal itu memicu kekecewaan Lee Kuan Yew.

Kekecewaan Lee Kuan Yew ini, dimanfaatkan oleh Israel untuk mendekati Singapura. Melalui Mordechai Kidron, duta besar Israel di Bangkok, Israel mendekati Lee Kuan Yew dan menawarkan jasa untuk menyiapkan pasukan bersenjata.

Lee Kuan Yew yang masih diliputi kekecewaan atas penolakan Mesir, langsung menerima dan memproses proposal Israel untuk menyiapkan militer Singapura, dan memerintahkan Goh Keng Swee untuk menghubungi Mordechai Kidron di Bangkok.

Dan hanya dalam beberapa hari, Kidron telah terbang ke Singapura untuk menyiapkan keperluannya bersama Hezi Carmel salah satu pejabat Mossad.

Bertahun-tahun kemudian Hezi Carmel dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa Goh Keng Swee berujar kepadanya hanya Israel lah yang bisa membantu Singapura. Israel adalah negara kecil yang dikepung oleh negara-negara Muslim di Timur Tengah, tapi memiliki kekuatan militer yang kecil tapi kuat dan dinamik.

Bersama Keng Swee, Kidron dan Hezi menghadap Lee Kuan Yew.

Perlu digarisbawahi disini, bahwa proposal Israel yang sebenarnya telah diajukan sejak tahun 1960 (sebelum kemerdekaan Singapura), adalah sebuah hasil dari kajian mendalam tentang masa depan Singapura dan percaturan politik di Asia Tenggara.

Bukan Singapura yang aktif untuk meminta Israel masuk, tapi Israel lah yang pertama kali menawarkan diri agar bisa terlibat secara aktif di wilayah Asia Tenggara.

Tentu saja ini bukan semata-mata kebetulan, tapi berdasarkan perencanaan yang matang dari gerakan Zionisme internasional. Menempatkan diri bersama Singapura, sama artinya menjadi satelit Israel dan kekuatan Yahudi di Asia Tenggara.

Nopember 1965, tim kecil dari Israel yang dikomandani Kolonel Jak Ellazari tiba di Singapura (kelak setelah pensiun dari Angkatan Bersenjata Israel, Ellazari menjadi salah satu konsultan senior untuk masalah-masalah pertahanan dan keamanan bagi Singapura).

Dan disusul oleh tim yang lebih besar lagi pada bulan Desember 1965. Mereka menggunakan kata sandi The Mexicans untuk membantu Singapura. Kedatangan tim The Mexicans ini sebisa mungkin dirahasiakan dari sorotan publik, karena Singapura dikelilingi negara Muslim besar, Indonesia dan Malaysia, serta wilayah Thailand Selatan yang didominasi kaum Muslim. Lee Kuan Yew juga tidak ingin menimbulkan perdebatan di antara penduduk Singapura yang Muslim.

Singkat cerita, proses bantuan milier Israel ke Singapura pun dimulai. Tokoh-tokoh penting Israel yang turut berperan dalam pembangunan militer Singapura adalah Yitzhak Rabin (kepala staff pemerintahan Israel saat itu), Ezer Weizmann dan Rehavam Ze’evi.

Ze’evi sendiri yang menjadi pimpinan proyek, berjanji akan membangun kekuatan militer Singapura menjadi kekuatan militer yang belum pernah ada di wilayah Asia Tenggara.

Pada tanggal 24 Desember 1965, enam orang perwira Israel tiba di Singapura. Mereka mengemban dua tugas yang berbeda. Tim pertama bertugas untuk membangun dan menset up kementerian pertahanan Singapura. Dan tim kedua bertugas untuk menyiapkan pasukan bersenjata. Persiapan pasukan bersenjata ini pada mulanya merekrut 40 sampai 50 orang yang telah memiliki pengalaman di bidang militer untuk ditraining lebih lanjut.

Tapi kini,

kekuatan yang berasal dari 40 – 50 orang yang dibangun oleh Israel itu telah menjelma menjadi kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara, bahkan mengalahkan Indonesia.

Anggaran militer Singapura itu 4,4 milyar dolar Amerika. Jauh sekali dibanding dengan Indonesia. Mereka juga punya industri militernya sendiri. Jadi tidak melulu bergantung pada negara-negara asing produsen senjata.

Sama persis dengan Israel. Israel, meski dia juga bergantung pada negara produsen senjata dari Barat, tapi mereka juga membangun persenjataan mereka sendiri. Singapura sudah bisa membuat sendiri dari senjata ringan, mesin hingga artileri.

Angkatan bersenjata Singapura, keseluruhan berjumlah 60.500 pasukan. Jauh di bawah Indonesia. Tapi Singapura punya program wajib militer untuk seluruh penduduk dewasa yang setiap saat semua warga negara Singapura bisa dimobilisasi dan dipersenjatai.

Jadi setiap penduduk dewasa Singapura itu sudah ada registrasi militernya, kepangkatannya. Ketika terjadi ancaman atau serangan, maka mereka per daerah atau per wilayah sudah bisa langsung melapor dan bergabung pada markas-markas yang sudah dtentukan. Orang-orang sipil itu tahu pangkat mereka apa, berapa anak buahnya dan tugasnya apa.

Ini benar-benar seperti konsep Israel, bahwa semua penduduk dewasa adalah tentara. Sipil yang militer. Bukan militer yang membangun supremasi di atas sipil.

Angkatan Darat Singapura punya 50.000 pasukan, tidak terlalu banyak. Angkatan Laut 4.500 dan Angkatan Udara 6.000. Tapi yang menarik adalah, Singapura itu punya Forces Abroad, pasukan-pasukan yang ditempatkan di luar negeri. Bukan pasukan untuk misi internasional, tapi pasukan Singapura sendiri, kebanyakan adalah Angkatan Udara.

Singapura menempatkan pasukannya di Prancis, Australia, Brunei, Afrika Selatan, Taiwan, Thailand dan Amerika. Itu semua terdiri dari pesawat tempur, pesawat pengintai tanpa awak sampai pesawat pengisi bahan bakar di udara yang kebanyakan parkir di Amerika.

Indonesia?

Jauh sekali. Jadi andai saja Indonesia mengebom Singapura, mereka bisa membalas lebih kuat lagi dari yang bisa dilakukan Indonesia. Jika sekarang kita terbang dengan pesawat komersial dari Jakarta ke Singapura, butuh waktu 1,5 jam. Tapi kalau untuk melakukan serangan pre-emptif strike, Singapura hanya butuh waktu kurang dalam 30 menit.

Selain kekuatan militer darat dan udara, Israel juga merancang strategi combating water bagi Singapura. Pada awalnya, mereka membuat sebuah sampan yang mampu mengangkut 10 sampai 15 anggota pasukan untuk patroli laut bahkan ke rawa-rawa. Kekuatan tempur yang dibangun oleh Israel memang disiapkan untuk menghadapi negara-negara maritim seperti Indonesia dan Malaysia.

Pada peringatan kemerdekaan Singapura, 9 Agustus 1969, dalam parade militer para undangan dikejutkan dengan pameran kekuatan Singapura. Termasuk Menteri Pertahanan Malaysia yang diundang untuk menyaksikan 30 tank buatan Israel merayap di jalanan. “Sungguh momen yang dramatis,” ujar Lee Kuan Yew mengenang saat itu.

Kondisi yang berlainan terjadi di Indonesia. Sebaliknya, dari tahun ke tahun, Indonesia yang menjadi negara besar tetangga Singapura, kini tak menentu nasib strategi pertahanan dan militernya. Kondisi inilah yang membuat bargaining position Singapura pada Indonesia meningkat, bahkan terkesan arogan. Indonesia saat ini berada pada masa transisi yang membuat posisinya lemah.

Ketika Soeharto berkuasa dengan sistem junta militernya, tidak ada perhatian secara khusus untuk membangun militer Indonesia sevcara profesional. Seperti kebanyakan rezim pemerintah junta militer, konsentrasi mereka terpecah-pecah untuk memata-matai rakyatnya sendiri, mengontrol kekuatan politik lawan di dalam negeri dan itu berakibat tidak terbangunnya militer Indonesia yang profesional. Sekarang ini baru kita melihat hasil ketidak profesionalan itu. Padahal dulu, Indonesia menurut Ken Conboy dalam bukunya berjudul Kopassus, bisa disebut sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara.

Sebagai perbandingan, pada sidang parlemen Singapura tahun 1999 terkuak sebuah informasi, bahwa negara itu menghabiskan sekitar 7,27 milyar dolar Amerika setahun, atau sekitar 25% dari anggaran belanja negara untuk alokasi pertahanan. Dan pada tahun 2000, menurut laporan Asian Defense Journal, tak kurang Singapura memiliki 4 pesawat F-16B, 10 pesawat F-16D fighters, 36 pesawat F-5C fighters dan 8 pesawat F-5T fighters. Sedangkan di Indonesia, kini hanya memiliki 6 pesawat F-16, itu pun tak semuanya bisa dan layak terbang karena terus menerus melakukan kanibalisasi untuk perbaikannya.

Pada pemerintahan Megawati, terjadi pembelian pesawat tempur Sukhoi, tapi itu pun tak sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Pesawat Sukhoi itu dirancang untuk perang di udara dan melawan tank tempur yang di Indonesia sama sekali tidak dibutuhkan.

Bahkan saking unggulnya kekuatan Singapura yang dibangun Israel ini, sampai-sampai Lee Kuan Yew membanggakan militernya jauh lebih efektif dari militer Amerika. Soal keamanan, menurut Lee Kuan Yew, Israel jauh lebih efektif dan hebat dibanding Amerika dengan membandingkan hasil kerja Israel di Singapura dengan hasil kerja Amerika di Vietnam.

Kerjasama Israel dan Singapura selanjutnya tidak hanya dalam bidang militer dan pertahanan, tapi juga ekonomi dan politik. Dan tentu saja pada tataran ekonomi dan politik, kekuatan Israel di Singapura telah pula merangsek negara-negara Muslim seperti Malaysia, Brunei dan Indonesia. Termasuk pembelian Indosat dan beberapa bank besar di Indonesia oleh Singapura. Secara seloroh, usaha aneksasi tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai provinsi ke sekian dari Israel Raya.

Apalagi sejak Singapura menandatangani kesepakatan satelit mata-mata dengan Israel pada tahun 2000. Bisa jadi, tak sejengkal pun wilayah, khususnya area-area Muslim di Asia Tenggara lolos dari perhatian Israel. Tahun 2000, Israel dan Singapura, dengan difasilitasi Amerika, menandatangani kontrak kerja sama dalam bidang satelit mata-mata senilai 1 milyar dolar Amerika dan tentu saja untuk urusan keamanan.

Akankah Singapura dengan Israel di belakangnya akan menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei yang notabene bisa disebut representasi negara Muslim? Jika kelak terbukti Singapura adalah ancaman, sesungguhnya tak mengherankan, sebab kini banyak signal dan indikasi yang menyebutkan. Terlebih ketika isu terorisme dan larinya para koruptor menghantam Indonesia, Singapura menjadi corong paling dekat yang menyakitkan warga Indonesia.

Boedi Oetomo: Behind The Scene

Pada tahun 1976, sebuah laporan tentang sejarah kaum Masonik di Indonesia diterbitkan oleh Paul van der Veur. Laporan tersebut berjudul Freemasonry in Indonesia from Radermacher to Soekanto 1762-1962. Radermacher bisa dibilang adalah perintis Freemasonry untuk kawasan Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Dalam sejarah Hindia Belanda, Radermacher juga disebutkan sebagai Ketua Perhimpunan Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan atau Batavian Society of Arts and Sciences. Ini membuktikan bahwa ranah bermain Freemasonry atau Vrijmatselarij ada di wilayah intelektual, kesenian dan kebudayaan.

Sedangkan Soekanto yang disebut dalam laporan Paul van der Veur di atas adalah Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Ia adalah Suhu Agung terakhir dari gerakan Vrijmatselarij di Indonesia. Jabatan terakhirnya dalam pemerintahan Republik Indonesia adalah Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia atau sekarang dikenal dengan sebutan Kapolri. Namanya sekarang diabadikan oleh Polri sebagai nama rumah sakit polisi di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur.

Orang-orang pribumi sebelum Soekanto yang menduduki jabatan tinggi dari persaudaraan Freemasonry di Indonesia antara lain Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua Boedi Oetomo 1911-1914), Raden Adipati Tirto Koesoemo (Bupati Karanganyar yang juga Ketua Boedi Oetomo), Mas Boediardjo (Inspektur Pembantu Divisi Inlands Onderwijs atau Pendidikan Pribumi 1916-1922 sekaligus pengurus Boedi Oetomo), Pangeran Koesoemo Yoedho, putra Paku Alam V (Ketua Jawatan Kredit Pertanian), Dr. Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI) dan Achmad Subardjo (menteri kabinet pertama Soekarno).

Pendidikan yang disumbangkan oleh kaum Masonik turut berperan dalam melahirkan kaum elit modern di Indonesia. Sebabnya adalah, anggota Vrijmatselarij yang menjadi kepanjangan tangan Zionis, tidak saja memberikan pendidikan kepada kaum Indonesia yang miskin, tapi juga memberikan kesempatan kepada kaum muda Jawa yang berbakat untuk mengembangkan diri melalui pendidikan di Eropa.

Kerajaan Belanda sendiri mempunyai sikap yang cukup keras dengan nada bermusuhan pada Vrijmatselarij atau Freemasonry di Belanda. Kerajaan yang dekat dengan gereja dan para pemimpin Kristen ini, menyebut anggota Vrijmatselarij sebagai “makhluk-makhluk berbahaya bagi negara dan agama”

Kekhawatiran yang sama juga pernah melanda para pemimpin Katolik di Indonesia. Vikaris Apostolik Batavia, MGR. Willekens, pada tahun 1949 pernah sangat khawatir akan perkembangan Katolik di Indonesia berkaitan dengan kekuatan Vrijmatselarij ini. Ia sangat pesimis dengan masa depan Katolik yang menemukan dirinya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain seperti persaingan dengan Protestan, kekuatan Islam dan dengan Vrijmatselarij yang disebutnya saat itu sangat aktif.

Kerajaan Belanda sendiri sebenarnya telah berusaha menghalau dan membendung gerakan Vrijmatselarij di Indonesia, terutama karena desakan dari pihak gereja. Pada tahun 1810 misalnya, saat Herman Willem Daendles berkuasa, ia memerintahkan salah seorang perwiranya J.C Schulzte untuk merancang sebuah istana sekaligus gedung pertemuan yang besar di Lapangan Banteng Timur (sekarang gedung Departemen Keuangan). Daendles membangun gedung ini sebenarnya memiliki salah satu tujuan untuk memangkas pengaruh perkumpulan rahasia yang ada dan mulai membesar saat itu dalam pemerintahannya, yaitu Vrijmatselarij.

Hubungan antara pribumi, terutama kalangan keraton yang sangat renggang pada periode ini dengan Belanda, dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi anggota Vrijmatselarij. Terutama memanfaatkan Boedi Oetomo yang dijejali dengan doktrin Indonesia Baru yang mereka sampaikan. Antara Vrijmatselarij dan Boedi Oetomo terjalin hubungan yang sangat akrab. Ini kelak mempengaruhi sikap Boedi Oetomo, terutama dalam sikap keberagamaan mereka. Misalnya saja brosur terbitan Boedi Oetomo yang bernama Djawa Hisworo, yang selalu menyerukan caci maki kepada Rasulullah SAW dan ajaran Islam.

Jika kini Boedi Oetomo malah dikenal sebagai pencetus nasionalisme, sejujurnya, Boedi Oetomo sangat menentang nasionalisme. Boedi Oetomo malah tidak menghendaki nasionalisme dan menghadirkan gerakan kejawen yang anti gerakan Islam sebagai gantinya.

Bahkan pernah tercatat pula, mayoritas Boedi Oetomo menolak usulan KH Ahmad Dahlan yang meminta agar diadakan pengajian keislaman dalam tubuh Boedi Oetomo. Padahal kala itu, KH Ahmad Dahlan juga salah satu anggota Boedi Oetomo yang terbilang senior. Tapi syukurnya penolakan tersebut berbuah berkah. Karena dari penolakan itulah, KH Ahmad Dahlan memutuskan untuk menarik diri dari Boedi Oetomo dan pelan tapi pasti mulai merintis Muhammadiyah pada tahun 1912.

Tahun-tahun itu, terutama dengan motor Boedi Oetomo, memang muncul sentimen anti Islam dan menganggap Islam kontra atas perjuangan kebangsaan. Bahkan pada kongresnya di tahun 1925, Boedi Oetomo mengukuhkan kebudayaan Jawa sebagai dasar pendidikan. Hal serupa juga terjadi dalam Jong Java yang menolak memasukkan pelajaran Agama Islam sebagai salah satu kegiatan untuk anggota organisasi yang beragama Islam, pada kongresnya tahun 1924. Pertentangan suara setuju dan tidak setuju dalam Jong Java tentang kegiatan keislaman dalam kongres tersebut akhirnya melahirkan gerakan besar lainnya yaitu Jong Islamieten Bond atau Persatuan Pemuda Islam yang dimotori H. Agus Salim dan Sjamsuridjal.

Sikap-sikap seperti ini bukan semata-mata Boedi Oetomo membatasi diri dari sikap sekterian yang bersifat agama. Tapi sikap seperti ini terbentuk, besar kemungkinan karena persentuhan Boedi Oetomo dengan Vrijmatselarij yang memang memiliki doktrin anti agama dan sekuler dengan selubung pluralisme dan theosofi.

Annie Besant, pemimpin besar Theosofische Vereeniging adalah peletak dasar-dasar pluralisme di Indonesia melalui tulisannya berjudul Soal Doenia. Berikut ini adalah beberapa petikan tulisan tersebut:

Ada orang mengira bahwa nabi dari tanah Arab, Nabi Muhammad berlainan dari nabi dari agama-agama lainnya. Semua itu berlainan rupanya, dan orang menganggap apa yang menjadi kenyataan sendiri adalah lebih tinggi. Padahal semua agama itu menjadi sekawan dalam Rumah Bapak ini.

Meskipun agama bukan satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam perseteruan dan konflik sosial di masyarakat dan dalam ekskalasinya, sangat banyak memainkan peran.”

Pemikiran pluralisme sendiri, saat ini banyak diusung oleh beberapa tokoh intelektual di Indonesia, seperti mendiang Nurcholis Madjid, Ulil Abshar Abdalla dan Luthfi Syaukani. Pemikiran-pemikiran mereka bukan barang baru dan mereka juga bukan pionir dalam hal gagasan, karena pemikiran-pemikiran mereka hanya mengikuti pemikiran-pemikiran yang sudah mapan semacam Annie Besant yang juga merupakan anggota Freemasonry internasional.

Untuk membuktikan bahwa Boedi Oetomo memang organisasi binaan Freemasonry, adalah Kongres II organisasi ini. Kongres II Boedi Oetomo dilakukan di markas Vrijmatselarij. Tak hanya Kongges II Boedi Oetomo, Kongres Pemuda I pun diadakan di markas Vrijmatselarij dan atas inisiatif anggota Theosofische Vereeniging pada tahun 1926. Hal inilah yang diprotes besar-besaran oleh para pemuda yang tidak setuju.

Mereka kemudian memboikot, sampai dua tahun berikutnya para pemuda ini menggelar Kongres Pemuda II tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. ( Entah kebetulan atau tidak, Chairul Tanjung, bos Para Grup pemilik Trans TV adalah alumni SMA 1 Boedi Oetomo Jakarta dan saat ini aktif di Ikatan Alumni Boedoet.)

Maka tidak berlebihan jika disebutkan bahwa gerakan-gerakan awal di Indonesia, bahkan gerakan yang dianggap pemerintah sebagai pelopor kebangkitan Indonesia seperti Boedi Oetomo, sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh gerakan Zionisme internasional dengan kepanjangan tangannya berupa Vrijmatselarij yang di Indonesia sudah sangat menyebar.

Conspiracy Theory

Semuanya berawal dari buku Yahudi Menggenggam Dunia karangan William G. Carr. Danang, temen kosku di Bintaro meminjamkan buku ini setelah kita sebelumnya sempat bersitegang gara-gara keisengan dia mengganggu acara tidurku. Maksudnya buat tanda gencatan senjata antara kita.

Buku ini benar-benar membuatku super duper terkejut. Cerita sejarah dunia yang sebelumnya aku yakini kebenarannya ternyata semuanya hanyalah topeng, setidaknya itulah inti cerita buku itu. Buku ini membuatku tidak mempercayai mentah-mentah semua cerita sejarah termasuk di Indonesia sendiri. Sejak saat itu, aku menjadi terobsesi dengan yang namanya teori konspirasi terutama sangat yang berkaitan dengan Yahudi dan Freemasonry.

Setelah itu dengan disengaja atau tanpa disengaja, aku membaca banyak buku yang memuat sepak terjang Yahudi atau Freemasonry, dari yang mengupas tuntas maupun yang hanya selintas lewat. Baca buku-buku yang dipinjam dari teman, sengaja dibeli atau yang gratisan dibaca di Gramedia atau Gunung Agung. Buku-buku itu diantaranya :

Ancaman Global Freemasonry (karangan Harun Yahya), Fakta & Data Yahudi di Indonesia (Ridwan Saidi & Rizki Ridyasmara), Jejak Freemason & Zionis di Indonesia (Herry Nurdi), Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armageddon (Rizki Ridyasmara), The International Jew (Henry Ford), Holy Blood Holy Grail (Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln), The Hiram Key (Christopher Knight dan Robert Lomas), The Da Vinci Code (Dan Brown), Angels and Demons (Dan Brown) dan Jerusalem (Karen Armstrong).

Disadari atau tidak, banyak juga pilem-pilem Hollywood yang menyinggung soal Freemasonry seperti National Treasurenya Nicholas Cage, From Hell-nya Johnny Depp, Eyes Wide Shut-nya Tom Cruise atau film dari novel laris The Da Vinci Code. Kalo misalnya dipilemkan, Angels and Demons malah dipastikan akan menggambarkan perseteruan Freemasonry dengan Iluminati-nya melawan Gereja Roma.

Well... mari kita membahas singkat awal mula lahirnya Freemasonry yang didakwa sebagai aktor utama dari beberapa teori konspirasi. Kenapa bukan Yahudi? Apakah Freemasonry = Yahudi ? Cerita dibawah ini akan menjelaskan semuanya.

Pada saat Mesir diperintah oleh Fir’aun, muncul sebuah gagasan dari para pendeta sebuah sekte pagan yang membentuk dasar dari filsafat atheis modern, bahwa alam semesta ada dengan sendirinya dan berkembang oleh kebetulan. Dalam upacara keagamaanya, sekte pagan ini melakukan penyembahan berhala, yang dinamai Hathor dan Aphis.

Kaum Bani Israil atau bangsa Yahudi di Mesir yang semula hanya mengimani satu Tuhan dari masa leluhurnya., Nabi Ibrahim a.s., akhirnya lambat laun mulai terpengaruh oleh sekte pagan yang kebanyakan hidup bersama mereka di Mesir. Bangsa Yahudi di Mesir kemudian banyak yang meniru adat sekte pagan dan mengganti agama mereka yang hanya menyembah satu Tuhan Allah, dengan agama penyembahan berhala.

Kehadiran Nabi Musa a.s. di Mesir, memecah kepercayaan bangsa Yahudi. Di satu sisi, bangsa Yahudi yang tetap percaya kepada ajaran tauhid Nabi Musa a.s dengan kitab Tauratnya dan di satu sisi, bangsa Yahudi yang mengadopsi ajaran paganisme bangsa Mesir. Doktrin-doktrin pendeta Mesir yang juga merupakan ahli sihirnya Fira’un, diteruskan oleh sebagian kaum Bani Israil yang menolak ajaran Nabi Musa a..s. dan menjadi pondasi bagi kepercayaan baru kaum itu. Kepercayaan baru yang mencampurkan ajaran Taurat dengan doktrin paganisme pendeta Mesir itu kemudian diberi nama Kabbalah. Dalam perkembangannya untuk memperluas kepercayaan ini, Kabbalah justru menganggap dirinya sebagai salah satu aliran dalam agama Yahudi. Suatu hal yang justru menimbulkan pertikaian intern sepanjang masa dalam agama Yahudi antara mereka pendukung Taurat murni dan pendukung doktrin paganisme Mesir. Perjalanan waktu Kabbalah mengerucutkan kepercayaan ini pada 2 konsep ajaran utama, yaitu materialisme dan humanisme sekuler.

Pengaruh Kabbalah terus meluas hingga ke Eropa. terutama di Perancis. Tetapi tentu saja perkembangan Kabbalah dilakukan secara diam-diam karena paham pagannya bertentangan dengan ajaran Kristen yang mendominasi Eropa dan juga dimusuhi oleh kaum Yahudi yang setia dengan ajaran Taurat murni. Meskipun begitu, kepercayaan ini berhasil menguasai beberapa bangsawan di Eropa yang beragama Kristen. Bangsawan-bangsawan Eropa yang terpengaruh Kaballah ini malah membentuk sebuah kelompok bernama Priory of Sion, yang namanya mendunia seiring popularitas novel The Da Vinci Code.

Ini mungkin terdengar seperti film petualangan Indiana Jones dalam Raiders of The Lost Ark. Kaum Yahudi Kabbalah ternyata mengetahui keberadaan harta karun Nabi Sulaiman a.s. di kotaJerusalem. Tetapi mereka tidak dapat memasuki kota Jerusalem karena dari abad ke-7 terdapat Perjanjian Aelia yang ditandatangani Khalifah Umar bin Khatab dan Uskup Agung Sophronius yang isinya antara lain melarang keberadaan kaum Yahudi berada di kota Yerusalem yang usulannya justru berasal dari kaum Kristen Orthodoks.

Kaum Yahudi Kabbalah pun menyusun sebuah rencana besar yang didukung beberapa bangsawan terkenal Eropa. Mereka memanfaatkan persaingan antara pimpinan Kristen Katolik Roma di Romawi Barat yang dipimpin Paus dan Kristen Orthodoks di Romawi Timur yang dipimpin Uskup Agung. Kaum Kristen Khatolik Roma di wilayah Romawi Barat ingin menyatukan kaum Kristen di bawah kekuasaannya namun terhalang oleh Kristen Orthodoks yang berpusat di Yerusalem yang notabene merupakan tempat kelahiran Nabi pembawa ajaran Kristen. Dengan dikuasainya Yerusalem maka diharapkan seluruh kaum Kristen akan berada dalam kekuasaan/pengaruh Kristen Katolik Roma.

Pada saat itu Eropa juga dilanda kemiskinan dan kesengsaraan yang berat. Kemakmuran dan kekayaan bangsa Timur, terutama bangsa Muslim di Timur Tengah, menarik perhatian bangsa Eropa. Perang Salib akhirnya terjadi setelah Paus Urban II berhasil dipengaruhi oleh beberapa tokoh Yahudi Kabbalah.

Setelah Yerusalem berhasil dikuasai, pasukan Salib berupaya untuk memperjuangkan posisinya di Yerusalem. Untuk mempertahankan dan mengorganisir semua yang mereka bangun di Yerusalem, dibentuklah ordo-ordo militer. Dan salah satu ordo tersebut adalah Knight Templar yang sebenarnya dibentuk dan datang ke Yerusalem untuk melaksanakan misi Yahudi Kaballah dan Priory of Sion, mengambil harta karun Nabi Sulaeman a.s.

Para ksatria ini sebelumnya menyebut dirinya sebagai Poor Fellow Soldier of Jesus Christ atau sebuah tentara miskin. Tetapi setelah kepulangan mereka dari Yerusalem pasca kemenangan pasukan Muslim pimpinan Saraceen Shalahuddin Al Ayyubi, Knight Templar berubah menjadi sangat makmur dan menguasai sistem keuangan di Eropa. Kekayaan dan kekuasaan yang semakin besar di Eropa membuat Knight Templar semakin bersikap sombong dan tidak mau tunduk kepada Paus dan raja. Bahkan para anggota orde Templar yang sebenarnya telah berpindah agama dari Kristen ke Kaballah, semakin terbuka menunjukkan identitas Kaballah mereka, dengan mengadakan ritual-ritual paganisme.

Paus Clemet V dan Raja Prancis Philip le Bel akhirnya bergabung untuk melakukan pembersihan anggota orde Templar dengan alasan orde tersebut telah menyeleweng dari iman Kristen. Kaum Yahudi penganut Taurat murni juga menjadi pendukung pembersihan ini. Sebagian anggota orde Templar dengan dibantu oleh kaum Yahudi Kaballah dan Priory of Sion berhasil lolos dari operasi pembersihan. Mereka lari dan berlindung ke Skotlandia, satu-satunya kerajaan di Eropa saat itu yang tidak mengakui kekuasaan Gereja Katolik. Dari Skotlandia inilah gerakan Freemasonry sebagai sebuah organisasi atau persaudaraan rahasia berawal. Kaum Yahudi Kaballah dan Priory of Sion sebagai pemikir dan Ordo Templar sebagai eksekutornya.

Sebagai awal, gerakan Freemasonry diarahkan kepada suatu perubahan tatanan sosial Eropa. Perubahan ini melibatkan perubahan di dalam budaya Kristen yang mendasar di Eropa dan menggantinya menjadi sebuah budaya berdasarkan doktrin-doktrin pagan. Dan setelah perubahan budaya ini, berbagai perubahan politik akan mengikuti seperti Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia.

Freemasonry menjadi sebuah kekuatan yang hendak memisahkan Eropa dari warisan Kristennya, menggantinya dengan ideologi sekuler dan menghancurkan lembaga-lembaga keagamaannya. Kekuatan ini berusaha memaksa Eropa menerima doktrin yang telah diestafetkan sejak Mesir jaman Fir’aun melalui Kabbalah.

”Perang gerilya” Freemasonry melawan Kristen di Eropa berlangsung sejak abad ke-18. Di Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Rusia.

Freemasonry dianggap sebagai musuh yang berbahaya bagi Vatican. Freemasonry dianggap memiliki visi yang anti terhadap kebijakan-kebijakan resmi Vatican, terutama usaha keras Freemasonry untuk meruntuhkan dominasi Vatikan terhadap kehidupan politik, sosial dan budaya di Eropa.

Tetapi berdasarkan hasil penelitian Henry Lincoln di akhir tahun 70-an yang sudah difilm dokumentasikan di BBC dan dibuat bukunya, Priory of Sion sebagai salah satu unsur dalam Freemasonry, diduga memegang bukti yang bisa mengungkap rahasia besar agama Kristen. Apakah bukti ini yang menyebabkan aliran Kaballah saat ini justru bisa bergerak bebas di Eropa dengan petugas humas seorang penyanyi terkenal bernama Madonna? Hanya Tuhan dan waktu yang bisa menjawab.

Donnie Brasco + Elliot Ness

Sejak digulirkannya proses “modernisasi” Direktorat Jenderal Pajak dengan dibentuknya Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar atau lebih dikenal dengan sebutan KPP LTO di tahun 2002, harapan pemerintah sangat tinggi kepada DJP sebagai “lokomotif” sumber penerimaan negara dalam APBN.

Proses pembentukan KPP LTO dilanjutkan dengan reorganisasi dalam tubuh DJP. KPP, KPPBB dan Karikpa dilebur menjadi satu ke dalam satu unit kerja yaitu KPP. Seksi-seksi yang ada didalamnya juga diubah sesuai fungsi-fungsi administrasi perpajakan, bukan berdasarkan jenis pajak. Begitu juga dengan struktur organisasi di Kantor Pusat DJP yang mengalami perubahan sesuai fungsinya. Salah satu direktorat baru yang terbentuk dari hasil reorganisasi DJP adalah Direktorat Intelijen dan Penyidikan (Direktorat Inteldik) yang akan menjadi fokus tulisan sederhana ini.

Reorganisasi DJP diikuti pula dengan peningkatan kesejahteraan pegawai. Selain kenaikan gaji yang berlaku untuk seluruh PNS dan kenaikan tunjangan pokok yang berlaku untuk seluruh PNS di lingkungan Departemen Keuangan, pegawai DJP juga menerima tunjangan tambahan yang hanya berlaku di lingkungan DJP.

Reorganisasi yang diikuti dengan kenaikan anggaran negara yang dialokasikan untuk penghasilan pegawai DJP ini tentu saja diikuti dengan ekspektasi tinggi pemerintah dan sorotan tajam dari DPR, pers ataupun dari masyarakat pada umumnya. Value added apa yang bisa dihasilkan dari reorganisasi ini? Mungkin itu pertanyaan utama yang ada di benak mereka.

Jika kita tanya ke beberapa mahasiswa Administrasi Fiskal FISIP UI atau STAN tentang harapan mereka akan reorganisasi DJP, jawabannya hampir seragam :

1. Penerimaan pajak meningkat

2. Tidak ada kolusi, tidak ada korupsi

3. Pelayanan semakin meningkat

3 hal diatas inilah yang seringkali disebut mereka.

Lantas apa yang bisa dibuktikan DJP untuk membuktikan kalau “modernisasi” DJP memberikan nilai tambah bagi negara dan masyarakat ?

Atau jika kita balik, indikator performa/kinerja apa yang mereka ambil untuk menilai hasil dari “modernisasi” DJP ?

Jika kita melihat dari segi pemberitaan di media massa, ada 2 berita yang sering menjadi nilai positif bagi DJP. Pertama, soal realisasi penerimaan pajak yang melampaui target penerimaan. Kedua, soal keberhasilan penyidik pajak mengungkap tindak pidana perpajakan. Dua hal inilah yang sering dimuat di banyak media massa nasional baik media elektronik maupun media cetak. Dengan status media massa, yang saya anggap sebagai “sang penguasa dunia” dengan pengaruh kuat pemberitaannya, secara otomatis 2 berita inilah yang menjadikan DJP bernilai positif di mata DPR dan masyarakat. Dan salah satu instansi yang membawahi pekerjaan penyidikan adalah Direktorat Inteldik.

Pendiri perusahaan otomotif besar Amerika Serikat, Henry Ford pernah mengatakan Munafik kepada pengusaha yang menyatakan dirinya senang dan suka membayar pajak. Adakah manusia yang ikhlas menyerahkan sebagian penghasilannya kepada negara? Adakah manusia yang berat hati menyisihkan penghasilan yang dia terima minimal sebesar 2,5% untuk saudara kita yang tidak beruntung kehidupannya? Bila berzakat atau berinfaq saja tidak ikhlas, bagaimana bisa dia bersungguh-sungguh membayar pajak.

Albert Einstein pun ikut-ikutan berkomentar soal pajak. Menurut dia, hal paling sulit di dunia untuk dimengerti adalah Pajak Penghasilan. Wow.. Pajak lebih hebat dari Fisika menurut seorang Einstein.

Sistem self assessment dalam pemungutan pajak di Indonesia membuat beban tanggung jawab pelaksanaan pemungutan pajak ada ditangan Wajib Pajak. Akibatnya DJP punya tugas control dan law enforcement terhadap pelaksanaan pemungutan pajak. Sudahkan Wajib Pajak menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya dengan benar ?

Direktorat Inteldik mempunyai tugas pokok menyiapkan kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis pelaksanaan dan evaluasi di bidang intelijen dan penyidikan pajak berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Dirjen Pajak.

Dan fungsinya adalah penyiapan bahan penelahan dan penyusunan kebijakan teknis operasional di bidang pengumpulan dan penelaahan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, intelijen, penyidikan dan rekayasa keuangan.

Dasar pemikiran dibentuknya direktorat ini adalah untuk menjamin penegakan hukum dilaksanakan secara konsisten dan profesional.

Direktorat ini mempunyai 4 subdit yang melakukan satu rangkaian pekerjaan untuk membina dan menindak Wajib Pajak yang terindikasi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Keempat subdit ini yaitu Subdit Intelijen, Subdit Rekayasa Keuangan, Subdit Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Subdit Penyidikan.

Kenapa digunakan nama intelijen? Hal ini dikarenakan selain melakukan tugas law enforcement perpajakan, direktorat ini juga melakukan tugas-tugas intelijen yang berlangsung secara tertutup guna mendukung penyidikan. Tugas intelijen diwujudkan dalam pengumpulan informasi secara sistematis mengenai Wajib Pajak yang terindikasi melakukan tindak pidana perpajakan. Informasi yang diperoleh ini kemudian akan disajikan ke unit lain untuk digunakan sebagai bahan baku analisa kewajaran pemenuhan kewajiban perpajakan.

Sedangkan proses penyidikan sendiri bertujuan mengumpulkan bukti lebih lanjut dan saksi untuk mengungkap tindak pidana pajak serta menemukan dan menahan tersangkanya, dengan berkoordinasi bersama kepolisian, kejaksaan dan instansi lain.

Tetapi tujuan akhir dari semua tugas dan proses dalam direktorat ini tetap satu, menjadi salah satu sumber penerimaan pajak.

Bagaimana saya “memandang” Direktorat Inteldik?

Saya mengibaratkan Direktorat Inteldik sebagai perpaduan dari Donnie Brasco dan Elliot Ness dalam term kesempurnaan. Kedua tokoh ini saya kenal lewat film Donnie Brasco karya Mike Newell yang dibintangi Johnny Depp dan Al Pacino, dan film The Untouchable karya sutradara legendaris Brian De Palma yang meroketkan nama aktor Kevin Costner. Kenapa saya mengibaratkan Direktorat Inteldik sebagai Donnie Brasco dan Elliot Ness ? Cerita dibawah ini mungkin akan memberikan cukup penjelasan.

Di New York dulu dikenal 5 keluarga mafia tersohor yang sangat ditakuti dipelataran dunia mafia. Keluarga Bonanno, Gambino, Genovese, Colombo dan Lucchese. Diantara kelima keluarga mafia itu, keluarga Bonanno yang didirikan Joseph Bananas Bonanno dikenal sebagai mafia pertama yang terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarangdi New York. Untuk membongkar jaringan kejahatan mafia Bonanno, FBI menugaskan agennya Joseph (Joe) D. Pistone untuk menyamar sebagai Donnie Brasco dan menyusup ke lingkaran dalam keluarga Bonanno. Tugas intelijen ini sukses dilakukan Joe Pistone dan akhirnya pimpinan terakhir keluarga Bonanno yaitu Joseph “Big Joey” Massino berhasil ditangkap dan bahkan menjadi informan tetap FBI dengan melanggar Omerta, sebuah kode etik Mafia. Saat ini Joe Pistone masih hidup dan tinggal dengan identitas baru untuk menghindari balas dendam mafia Bonanno.

Bagaimana dengan Elliot Ness? Dia dikenal sebagai pimpinan tim agen federal Amerika (dikenal dengan sebutan The Untouchable) yang sangat idealis, kebal dari godaan suap dan teror serta pantang menyerah menyeret seorang bandit dan mafia besar bernama Al Capone ke penjara. Al Capone yang pada tahun 20-30an dikenal sebagai bos mafia besar, pembunuh berdarah dingin dan tak tersentuh hukum itu akhirnya ditaklukkan Elliot Ness hanya karena persoalan “sepele” yaitu alpa membayar pajak. Al Capone ditangkap dan dipenjara bukan karena kasus pembunuhan, tetapi karena intelijen bisa dengan cerdik membuktikan adanya manipulasi pajak.

Kenapa di atas saya katakan dalam term “kesempurnaan” karena saya bermimpi di masa depan, Direktorat Inteldik mempunyai intel-intel tangguh dan cerdas seperti Donnie Brasco dan memiliki penyidik-penyidik yang pantang menyerah dan pintar seperti Elliot Ness.

Dengan potensi kerugian negara dari penggelapan pajak yang tidak kalah kecil dibandingkan kasus korupsi, DJP diharapkan memiliki intelijen dan penyidik yang aktif dan kuat serta berkesinambungan dalam operasi di bidangnya masing-masing. Apalagi intelijen dan penyidik memiliki kemampuan lebih dalam hal pencarian, pengumpulan dan analisis data dan informasi dengan teknik-teknik pencarian, pengumpulan dan analisis data yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan.

Proses penguatan kualitas dan kuantitas unit intelijen dan penyidik juga terus dilakukan karena peran pentingnya bagi peningkatan performa DJP sebagai sebuah instansi pemerintah. Publikasi media massa nasional yang cukup besar terhadap pengungkapan tindak pidana perpajakan, membuat Direktorat Inteldik mempunyai peran vital sebagai salah satu corong pengeras suara keberhasilan DJP selain berita terpenuhinya target penerimaan pajak. Sebuah hal yang sangat dibutuhkan untuk menetralisir pemberitaan negatif tentang DJP sekaligus meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kinerja DJP.


Intelijen dan Negara

Berdasarkan kajian-kajian Peter Gill dan Uri Bar-Joseph, dirumuskan suatu kerangka akademik yang menggambarkan tipe interaksi Intelijen-Negara :

Pertama, kondisi negara dalam kekuasaan Rejim Otoriter, apabila terdapat :
Ancaman internal, disebut Intelijen Politik, tipe ini berkembang untuk mengantisipasi munculnya ancaman-ancaman internal yang terutama berasal dari kelompok oposisi politik yang ada di negara tersebut.
Ancaman eksternal, disebut Militerisasi Intelijen, tipe ini terbentuk ketika suatu negara mengerahkan sebagian besar sumber daya keamanan nasional untuk menghadapi ancaman eksternal.
Ancaman internal dan eksternal, disebut negara intelijen, tipe ini terbentuk saat negara berpersepsi bahwa ancaman terhadap keberlangsungan rejim politik akan bersifat internal dan eksternal, untuk menghadapi ancaman dari dua arah tersebut, negara berusaha memonopoli seluruh informasi strategis yang ada dan menggunakan seluruh aspek kehidupan, politik, ekonomi dan sosial budaya dari warganya.

Kedua, kondisi negara dalam kekuasaan Rejim Demokrasi, apabila terdapat :
Ancaman internal, disebut Intelijen Keamanan, terjadi saat negara terpaksa menggelar operasi intelijen untuk menghadapi ancaman internal yang umumnya berbentuk kejahatan teroganisir, konflik komunal, terorisme dan/atau separatisme.
Ancaman eksternal, disebut Intelijen Strategis, tercipta saat negara demokratik menggelar operasi preventif untuk mencegah terjadinya eskalasi ancaman militer yang berasal dari negara lain.
Ancaman internal dan eksternal, disebut Diferensiasi Intelijen, terjadi pada suatu negara yang membentuk berbagai dinas intelijen yang secara spesifik diarahkan untuk mengatasi suatu ancaman tertentu, baik yang berasal dari dalam maupun luar negara.

Bagaimana dengan interaksi Intelijen-Negara di Indonesia?

Andi Widjajanto dan Artanti Wardhani, membagi hubungan Intelijen-Negara di Indonesia ke dalam beberapa periode:

Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), tipe Militerisasi Intelijen
Militerisasi intelijen menjadi karakter Interaksi Intelijen-Negara di periode ini karena adanya keharusan untuk mengembangkan suatu mekanisme pengelolaan informasi strategis untuk menghadapi ancaman eksternal. Militerisasi Intelijen ini juga terjadi karena di periode ini tidak ada satu lembaga non-militer yang mampu menyediakan infrastruktur dasar bagi pembentukan dinas-dinas intelijen.
Militerisasi Intelijen diawali dengan penunjukan Zulkifli Lubis untuk membentuk lembaga intelijen Indonesia. Zulkifli Lubis kemudian membentuk Badan Istimewa (BI) yang dapat dikatakan sebagai organisasi intelijen pertama di Indonesia. Organisasi ini bertugas mendapatkan sebanyak mungkin informasi yang diperlukan oleh tentara nasional dalam menghadapi pasukan Belanda yang mencoba kembali menduduki Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Setelah BI, kemudian berturut-turut terbentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani), Badan Pertahanan B dan Bagian V atau KP V sebagai ganti dari pembubaran Brani dan Badan Pertahanan B.

Periode Parlementer (1950-1959), tipe Politisasi Intelijen Militer
Secara teoritik, tipe yang terbentuk di periode ini adalah Intelijen Politik karena saat itu Indonesia harus mengarahkan operasi-operasi intelijen untuk mengatasi ancaman-ancaman internal. Namun dominannya intelijen militer dalam kegiatan operasional dinas-dinas intelijen dari periode sebelumnya sampai dengan periode ini, menyebabkan kontruksi Intelijen Politik baru terjadi di tahun 1958.
Proses politisasi dimulai dengan dibentuknya Biro Informasi Angkatan Perang (BISAP) sebagai penerus KP V yang dibubarkan. BISAP pun kemudian akhirnya dibubarkan.

Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), tipe Intelijen Politik
Diawali dengan pembentukan Badan Koordinasi Intelijen (BKI), interaksi Intelijen Politik semakin mapan dengan bertransformasinya BKI menjadi Badan Pusat Intelijen (BKI) pada tahun 1959 yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Luar Negeri Soebandrio. Pengangkatan Soebandrio mengukuhkan terbentuknya interaksi Intelijen Politik karena selain ia merupakan tokoh non militer pertama yang memegang kendali operasional intelijen, Soebandrio juga kemudian menjadikan BPI sebagai instrumen politik dalam pertarungan segitiga politik antara komunis, Islam dan militer.
Operasi Militer (Trikora untuk merebut Irian Barat dan Dwikora untuk menghadapi neo-kolonialisme Inggris di Malaysia) dijadikan Soekarno sebagai suatu diversionary war (perang pengalihan) untuk mengalihkan krisis politik domestik paska kegagalan demokratisasi 1953-1959, sekaligus menyingkirkan dominasi alamiah para jenderal dalam perang dengan menempatkan dirinya sebagai tokoh utama dalam perumusan tujuan-tujuan politik perang dengan gagasan politik anti-neo kolonialisme.

Periode Orde Baru (1965-1997), tipe Negara Intelijen
Diawali dengan upaya institusional Soeharto mengambil alih kendali operasi intelijen dengan membubarkan BPI yang kemudian diganti dengan Komando Intelijen Negara (KIN) yang diketuai langsung oleh Soeharto. KIN kemudian segera dirombak dan diganti dengan Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang penempatannya langsung dibawah Soeharto dibantu para perwira militer.
Selain militerisasi BAKIN, upaya institusional militerisasi dinas intelijen juga ditopang oleh upaya operasional melalui pembentukan/kemunculan:

Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
Berkembang menjadi suatu organisasi yang secara efektif melakukan militerisasi seluruh operasi intelijen dan memiliki otoritas hukum untuk melakukan operasi-operasi kontra intelijen. Operasi-operasi ini dilakukan dalam bentuk tindakan politik, tindakan pembersihan, tindakan penyelesaian tahanan, tindakan operasi militer, tindakan yustisional dan operasi tertib. Operasi ini sangat efektif karena ditunjang oleh organisasi Angkatan Darat.
Operasi intelijen Kopkamtib bertransformasi menjadi suatu hukum darurat dengan mandat untuk menggunakan segala sumber daya yang ada untuk menghancurkan seluruh ancaman nyata dan potensi ancaman terhadap stabilitas rejim Orde Baru.

Operasi Khusus (Opsus)
Opsus yang semula ditujukan untuk operasi infiltrasi di Malaysia, Irian dan Timor Timur dibiarkan memasuki ranah politik. Opsus misalnya ditujukan untuk memperkuat Sekber Golongan Karya antara lain melalui intervensi dalam rapat-rapat internal partai, manipulasi konvensi partai, organisasi profesi seperti IDI atai Persahi serta organisasi Islam seperti Parmusi, dengan tujuan menciptakan krisis kepemimpinan internal.
Opsus juga menjadi tempat pengembangan manipulasi informasi dengan tujuan mempengaruhi proses penciptaan opini yang berpengaruh ke berbagai lapisan masyarakat dan lapisan kelembagaan.

Pusat Psikologi Angkatan Darat (PsiAD), Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), Badan Intelijen Strategis (Bais), Badan Intelijen ABRI (BIA), Bakorstanas
Keberadaan intelijen militer ini memperkuat interaksi Negara Intelijen terutama karena intelijen militer dapat secara efektif melakukan operasi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan melalui adanya jejaring intelijen yang menyentuh hingga tingkat kecamatan dan desa yang terbentuk sangat rapi dalam suatu sistem komando yang ketat mulai dari tingkat Kodam hingga Koramil.

Periode Reformasi (1998-2004), Intelijen Keamanan
Interaksi Intelijen-Negara cenderung mengarah ke tipe Intelijen Keamanan daripada Intelijen Politik karena melemahnya proses intervensi dinas-dinas intelijen ke sistem politik dan bukan karena terciptanya suatu pengawasan politik demokratik yang efektif untuk dinas-dinas intelijen.
Meskipun Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dipegang perwira militer seperti ZA Maulani atau AM Hendropriyono, tetapi penetapan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2002 tentang pemberian kewenangan pada BIN untuk melakukan fungsi koordinasi intelijen serta mekanisme rapat kerja dengan Komisi I DPR, dapat dipandang sebagai awal munculnya interaksi Intelijen Keamanan dalam sistem politik demokratik.

Bagaimana dengan negara-negara lainnya?

Sebagai perbandingan, interaksi Intelijen-Negara di Inggris, India, Afrika Selatan dan Israel termasuk dalam tipe Diferensiasi Intelijen. Keempat negara tersebut membentuk berbagai dinas intelijen yang secara spesifik diarahkan untuk mengatasi suatu ancaman tertentu, baik yang berasal dari dalam maupun luar negara. Keempat negara tersebut telah dilengkapi dengan Undang-Undang yang mengatur gerak operasional dinas-dinas intelijen.

Diferensiasi Intelijen di Inggris mencakup 3 organisasi, yaitu Security Service (MI 5) yang merupakan dinas intelijen domestik yang berada dibawah otoritas Menteri Dalam Negeri, Secret Intelligence Service (SIS-MI 6) merupakan dinas intelijen luar negara yang dikendalikan Menteri Luar Negeri dan Government Communications Headquarters (GCHQ) yang juga dikendalikan Menteri Luar Negeri bertugas untuk mengembangkan sistem signals intelligence. Ketiga dinas intelijen ini berada dibawah koordinasi Cabinet Office Joint Intelligence Commitee (JIC) yang akan mempersiapkan laporan mingguan intelijen untuk Perdana Menteri, Menteri-menteri yang terkait dengan keamanan nasional, angkatan bersenjata dan kepolisian. Khusus untuk strategi kontra terorisme, JIC berkoordinasi dengan Joint Terorism Analysis Centre (JTAC) untuk menghasilkan laporan analisa ancaman teroris yang akan diberikan kepada Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri.

India membentuk Joint Intelligence Commitee (JIC) yang bertugas memberikan hasil analisa produk intelijen dan estimasi intelijen nasional kepada Perdana Menteri. Produk-produk intelijen yang dilaporkan oleh JIC dihasilkan oleh 3 dinas intelijen, yaitu
Research and Analysis Wing (RAW), Intelligence Bureau (IB) dan Defense Intelligence Agency (DIA).

Afrika Selatan memiliki 3 dinas intelijen yaitu National Intelligence Agency (NIA) yang bertanggung jawab untuk intelijen domestik, South African Secret Service (SASS) untuk intelijen luar negeri dan National Defence Force Intelligence Division untuk intelijen militer. Mekanisme koordinasi antara 3 dinas intelijen di Afrika Selatan diciptakan melalui Joint Coordinating Intelligence Commitee (JCIC) yang kemudian diperkuat menjadi National Intelligence Coordinating Commitee (Nicoc). Komite ini memberikan laporan langsung ke Cabinet Commitee on Security and Intelligence yang diketuai oleh Menteri Urusan Intelijen dan didukung kepala dinas-dinas intelijen, Kepala Kepolisian Nasional dan Direktur Dinas Intelijen Kepolisian (National Criminal Intelligence Service).

Dan Israel, negara zionis ini juga memiliki 3 dinas intelijen negara, yaitu Sherut ha-Bitachon ha-Kali (Shin Bet) yang bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan intelijen domestik, ha-Mossad le-Modi’in ule’Tafkidim Meydahadim (Mossad) untuk kegiatan intelijen militer dan Agaf ha-Modi’in (Aman) untuk kegiatan intelijen militer. Shin Bet berada dibawah pengawasan efektif komite intelijen Parlemen, Mossad berada dibawah kendali efektif Perdana Menteri, dan direktur Aman melaporan seluruh kegiatan intelijennya kepada Menteri Pertahanan. Ketiga dinas intelijen ini adalah bagian dari forum koordinasi kebijakan keamanan nasional yang disebut Va-adat Rashei Hasherutim (Va-adat).


September 25, 2008

D-Day: Behind The Scene

The Misinterpreters D-Day, 1944

Inti dari cerita The Misinterpreters, D-Day, 1944 menggambarkan keberhasilan intelijen pasukan Sekutu dengan operasi pengelabuan terbesar sepanjang sejarah untuk mendukung rencana pendaratan tentara Sekutu di Normandia. Operasi pengelabuan ini bertujuan membuat bingung intelijen Jerman dengan membanjiri mereka dengan banyaknya informasi yang sebagian besar menyesatkan untuk mengalihkan perhatian pasukan Jerman dari wilayah Normandia tempat pendaratan tentara Sekutu dan menyebarkan kekuatan pasukan Jerman ke beberapa negara Eropa.

Cerita diawali dari informasi penting yang diterima Kolonel Baron Alexis von Roenne, Komandan FHW (Divisi Angkatan Darat Jerman di Eropa Barat) mengenai rencana kedatangan Jenderal Eisenhower ke Inggris. Informasi itu sendiri sebenarnya datang dari Agen Tate yang sebenarnya merupakan agen ganda MI5. Pasukan Sekutu sendiri sebenarnya telah merencanakan tahun 1944 sebagai tahun Second Front untuk membebaskan kawasan Eropa Barat dari tangan Jerman. Operasi untuk membebaskan Eropa Barat ini dinamakan Operasi Overlord dengan serangan pertama dilaksanakan melalui pendaratan di Normandia atau D-Day.

Baik Jenderal Gerd von Rundstedt maupun Jenderal Erwin Rommel, dua pimpinan Wehrmacht (nama angkatan perang Jerman) sebenarnya telah menyadari bahaya invasi pasukan Sekutu ke Eropa Barat. Hanya saja yang menjadi pertanyaan mereka adalah dimana pasukan Sekutu akan menyerang, sehingga intelijen Jerman pun harus mencari informasi untuk menjawab beberapa pertanyaan intelijen: Akankah pasukan Sekutu menyerang? Jika benar, Dimana? Kapan? dan Bagaimana dengan Kekuatannya?

Untuk mengantisipasi pergerakan dinas intelijen Jerman sekaligus mendukung Operasi Overlord, pasukan Sekutu membentuk sebuah kelompok unik, the Allied Deception Staff dengan nama samaran the London Controlling Section (LCS) yang dipimpin Kolonel John Bevan. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk mengelabui dan membingungkan the German High Command dan Adolf Hitler sendiri, untuk mendukung pergerakan pasukan Sekutu menjelang D-Day. Dengan mengetahui sistem intelijen Jerman, LSC memberi dinas intelijen Jerman banyak sekali data atau informasi yang sebagian besar merupakan tipuan, rekayasa dan menyesatkan.

LCS mempunyai jaringan yang sangat kuat dan dipercaya oleh Komandan Sekutu dan Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris. Kepercayaan ini sangat penting karena LCS dengan efektif mampu mengkoordinasi dan mengarahkan usaha intelijen Sekutu dan dinas keamanannya untuk menyerang sistem peringatan dan indikator bahaya yang dimiliki Jerman.

Operasi pengelabuan yang dilakukan LCS dilakukan dengan nama samaran Bodyguard. Dua tujuan utama dari Bodguard: Pertama, memperlemah pasukan Jerman dengan membuat Hitler menyebar tentara dan pasukan pentingnya ke seluruh Eropa, dari Norwegia sampai Balkan ; Kedua, menunda reaksi Jerman selama mungkin terhadap serangan pasukan Sekutu dengan meyakinkan ahli strategi Jerman bahwa pendaratan pertama di Normandia hanyalah gerakan pura-pura.

LCS menggunakan semua saluran intelijen untuk untuk memasok intelijen Jerman sebanyak mungkin informasi berharga yang mereka inginkan, dari human intelligence (humint), signal intelligence (sigint) dan imagery intelligence (imint).

Dengan humint, LCS menggunakan strategi penggunaan agen ganda dari Double Cross Commitee, sebuah jaringan agen ganda milik MI5 (dinas intelijen Inggris) yang dipimpin Sir John Masterman. LCS juga menggunakan para jenderal dari pihak Jerman untuk lebih meyakinkan informasi mereka kepada intelijen Jerman, termasuk melalui Laksamana Wilhelm Canaris yang merupakan pimpinan Abwehr, biro intelijen militer Jerman.

Dengan sigint, LCS menggunakan Ultra, operasi pemecahan dan pembajakan Enigma, sebuah kode pesan rahasia yang dimiliki Jerman. Ultra dapat menangkap Enigma sebelum sampai ke tangan Jerman dan kemudian mengubahnya menjadi informasi yang mengubah penilaian Jerman mengenai D-Day.

Dari Operasi Fortitude North, LCS merekayasa keberadaan British 4th Army pimpinan Letjen Sir Andrew Thorne di Skotlandia dengan mengirimkan sinyal-sinyal transmisi palsu mengenai kesibukan pasukan tersebut melalui radio untuk ditangkap Y Service, dinas intelijen sinyal milik Abwehr. Tujuan dari operasi ini adalah untuk mengalihkan konsentrasi pasukan Jerman ke Skandinavia karena kekhawatiran serangan pasukan Sekutu dari arah Skotlandia.

Dengan imint, LCS menyiapkan bahan fotografi bagi intelijen Jerman berupa depot minyak palsu beserta pipa dan gudang tank di Dover, wilayah tenggara Inggris untuk menggambarkan kegiatan dan pergerakan pasukan Sekutu di wilayah tersebut. Informasi ini juga didukung oleh sigint melalui informasi agen gandanya.

Dengan humint, sigint dan imint, LCS juga berhasil meyakinkan Jerman mengenai keberadaan Jenderal George Patton dengan pasukan First United States Army Group (FUSAG) yang diskenariokan akan bergerak dari wilayah tenggara Inggris menuju Pas de Calais. Tujuan dari operasi ini untuk mengalihkan kekuatan pasukan tank panser Jerman ke arah Pas de Calais.

Di pihak Jerman, informasi-informasi yang menyesatkan ini justru digunakan oleh von Roenne sebagai alat untuk bersaing dengan orang-orang the Sicherheits Dienst atau SD, sebuah dinas keamanan milik Partai Nazi, dalam usaha berebut pengaruh di the Reich Security and Intelligence Service, badan intelijen baru gabungan SD dan Abwehr yang dipimpin Jenderal Walter Schellenberg. Dalam prakteknya, The Amt Mil atau seksi militer dari organisasi intelijen baru tersebut, masih berada di bawah kendali militer.

Von Roenne mengeluarkan ORBAT atau FHW Assessment of The Enemy’s Order of Battle, sebuah analisis dan penilaian intelijen yang dibuat von Roenne mengenai rencana invansi pasukan Sekutu. Analisis dan penafsiran FHW ini diterima Hitler dan dikirim ke semua markas Wehrmacht di Eropa Barat. Von Roenne bahkan kemudian memberikan sebuah rekomendasi bagi operasional militer yang seharusnya tidak dimasukkan dalam sebuah penilaian intelijen.

Akhirnya Jenderal Wilhelm Canaris dan Kolonel Baron Alexis von Roenne dihukum mati oleh Hitler karena kesalahan-kesalahannya. Kesalahan pengkhianatan dan kesalahan terlalu percaya diri kepada sistem yang dimiliki yang bisa mengalahkan keraguannya sendiri serta lupa akan sebuah kebutuhan analisis kritis terhadap data atau informasi intelijen. Keberhasilan pendaratan Normandia bagi Kolonel John Bevan dan LSC merupakan sebuah kesuksesan dari operasi pengelabuan terbesar sepanjang sejarah sebaliknya bagi Canaris dan von Roenne menjadi sebuah bencana besar bagi intelijen Jerman.


Kenapa pihak Sekutu bisa berhasil dalam D-Day, 1944 ? Ada beberapa faktor:

1. Sekutu menggunakan hampir seluruh saluran intelijen untuk mencari informasi sistem dan metode intelijen Jerman sekaligus memasok dan menyediakan informasi yang sangat banyak (sebagian besar menyesatkan) kepada Jerman sehingga menimbulkan kebingungan intelijen Jerman menganalisa informasi dalam situasi “noise” atau overload information.

- Humint dilakukan dengan strategi penggunaan agen ganda untuk mencari informasi sekaligus memasok informasi-informasi palsu kepada Jerman. Agen ganda ini terdiri dari agen-agen MI5 dan para jenderal Jerman yang membelot ke pasukan Sekutu.

- Sigint dilakukan dengan Ultra untuk memecahkan dan membajak kode pesan rahasia Jerman yang disebut Enigma. Ultra dapat menangkap Enigma sebelum sampai ke tangan Jerman dan kemudian mengubahnya menjadi informasi yang mengubah penilaian Jerman mengenai D-Day.

- Imint dilakukan dengan operasi pengintaian udara di Skandinavia sekaligus menyiapkan bahan fotografi bagi intelijen Jerman diantaranya depot minyak palsu beserta pipa dan gudang tank di wilayah tenggara Inggris untuk menggambarkan kegiatan dan pergerakan pasukan Sekutu (sebenarnya pura-pura) di wilayah itu.

2. Keberhasilan Sekutu melakukan Counter Intelligence dengan mampu mengidentifikasi agen-agen intelijen Jerman (Abwehr) yang berada di wilayah Inggris Raya dan kemudian mengendalikan mereka untuk mendapatkan informasi lebih dalam mengenai sistem intelijen Jerman sekaligus mengirimkan pesan-pesan menyesatkan kepada intelijen Jerman.


Kenapa pihak Jerman gagal mengantisipasi D-Day, 1944? Ada beberapa faktor:

1. Terlalu percaya diri karena pengalaman kemenangan perang di Dieppe 1944.

2. Interpretasi subyektif, Jerman salah menafsirkan sinyal transmisi yang diterima sebagai pergerakan British 4th Army di Skotlandia. Jerman juga salah menafsirkan fotografi depot minyak, pipa dan gudang tank sebagai kegiatan dan pergerakan pasukan FUSAG di tenggara Inggris menuju Pas de Calais.

3. Intelijen Jerman terlalu fokus pada pertanyaan “Will Allies invade? If so, when, where and in what strenght?”. Mereka mengabaikan penilaian dasar intelijen saat menerima informasi “Is it true? Is it credible? Is it confirmed by other sources?”

4. Bias cognitif, tindakan yang dilakukan Kolonel Baron Alexis von Roenne untuk bersaing dengan anggota SD berakibat fatal. Informasi menyesatkan dari Sekutu dijadikan dasar penilaian intelijennya untuk mendapatkan perhatian Adolf Hitler.

5. Konservatisme, intelijen Jerman menolak informasi pendaratan Normandia sebagai penyerangan Sekutu yang sebenarnya karena masih mempercayai informasi sebelumnya bahwa invansi Sekutu sebenarnya terjadi di Pas de Calais dan pendaratan Normandia hanyalan gerakan pura-pura pasukan Sekutu.

6. Desepsi lawan, Jerman tertipu oleh serangkaian operasi pengelabuan yang dilakukan Sekutu, seperti the decoy attack dalam kasus British 4th Army di Skotlandia, George Patton dan FUSAG di tenggara Inggris atau kamuflase dalam kasus depot minyak dan garasi tank palsu di Dover, Inggris.

7. Bayangan kaca, asumsi Jerman bahwa pasukan Sekutu pasti akan menyerang pelabuhan Eropa Barat di saat cuaca sedang baik, malam hari dan saat air laut pasang.

8. Konflik internal dan Jerman tidak menduga terjadi pengkhianatan dari pihak sendiri.