June 06, 2009

Bangalore!


This is for you, Juba! ;D


Chapter pertama buku The World Is Flat karya Thomas L. Friedman langsung menyuguhkan tulisan yang membuatku takjub dengan sebuah negara yang bernama India. Ibarat nonton film di opening scenenya kita langsung disuguhi adegan action super duper seru yang membuat mata kita tak berkedip. Apa yang membuatku sampai geleng-geleng kepala dengan India dan kemudian merasa kagum dengan negara ini. Cerita tentang pesona sosok superstar Shahrukh Khan kah? Atau kepiawaian Friedman melukis keindahan Aishwarya Rai atau Rani Mukherje dalam sebaris kata-kata? Andai saja Friedman mengulas keindahan Bollywood disini... hehehe


Selama ini kita mendapat banyak informasi mengenai pesatnya perkembangan ekonomi India hingga Jan Nederveen Pieterse dalam tulisannya Globalization the next round: Sociological perspectives, memasukkan India dalam BRIC sebagai kelompok negara yang siap menantang negara-negara maju. BRIC sendiri merupakan kependekan dari Brasil, Russia, India dan China. Perkembangan ekonomi India ini banyak ditopang oleh kemajuan teknologi informasi dan outsourcing di negara tersebut. Mereka mempunyai wilayah lembah silikon di kota Bangalore dan dari kota inilah semua “kegilaan” India berawal dengan perusahaan bernama Infosys sebagai salah satu lokomotifnya.


Jika kita melihat sejarah perkembangan India, bibit kemajuan India dalam teknologi informasi berawal dari usaha Perdana Menteri pertama India Jawaharlal Nehru mendirikan 7 (tujuh) Institut Teknologi India (ITI). Dasar pemikirannya, meskipun memiliki kekayaan alam yang dapat ditambang baik itu batu bara, bijih besi atau intan, tetapi dengan begitu banyaknya penduduk yang harus diberi makan, India tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya alam. India harus menambang daya pikir warga negaranya dengan mendidik sebagian besar kelompok elit di bidang ilmu pengetahuan, rekayasa dan kedokteran.


Dari tahun 1951 hingga saat ini, ratusan ribu orang India bersaing masuk dan lulus dari ketujuh ITI dan bahkan katanya lebih sulit masuk ITI daripada ke Harvard atau MIT. Kompetisi ini membuat India menjadi seperti pabrik yang menghasilkan dan mengekspor sebagian orang berbakat di bidang rekayasa, ilmu komputer dan software kepada dunia. Saat krisis komputerY2K atau millenium bug mengancam, orang-orang India menjadi penyelamat banyak perusahaan Amerika yang akhirnya menjadi tonggak kebesaran nama India dimata dunia. Bahkan Thomas L. Friedman sendiri menyebut Y2K pantas disebut sebagai Hari Kemerdekaan India kedua disamping tanggal 15 Agustus.


Nah “kegilaan” apa yang terjadi di Bangalore seperti aku sebutkan diatas? Silicon valley di Bangalore selain sebagai pusat riset dan pengembangan TI juga dikenal sebagai pusat outsourcing bagi perusahaan-perusahaan Amerika dan negara-negara berbahasa Inggris lain. Bagaimana mereka mengelola jasa outsourcing dan mendapat kepercayaan dari orang-orang Amerika menjadi letak dari “kegilaan” yang aku maksudkan diatas.


Kasus pertama. Saat ini banyak pemerintah federal atau negara bagian di Amerika dan perusahaan akuntan publik baik besar maupun kecil di Amerika mempercayakan pekerjaan accounting dan pembuatan tax report kepada perusahaan India. Hal ini didukung dengan kecanggihan dan tingginya tingkat keamanan teknologi informasi yang dimiliki perusahaan India untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dan untuk soal SDMnya, India ternyata juga mampu menyediakan tenaga akuntan yang bisa dipercaya hasil pekerjaannya oleh perusahaan Amerika.


Kasus kedua. Banyak rumah sakit dan menengah di Amerika yang mempercayakan tugas pembacaan CAT scan kepada dokter-dokter di India. Hal ini biasanya terjadi karena ahli radiologi disana tidak mempunyai cukup staf untuk memberikan layanan rumah sakit saat weekend atau pada malam hari. Dengan pengembangan teknologi kompresi, perusahaan penyedia jasa outsourcing di India mampu mengirimkan hasil CAT scan lewat internet dengan lebih baik, mudah dan cepat. Sama halnya dengan akuntan, hasil pekerjaan dokter-dokter di India juga dipercaya oleh banyak rumah sakit di Amerika.


Kasus ketiga. Kantor berita Reuters mengembangkan operasinya khusus di Bangalore untuk melayani semakin meningkatnya permintaan informasi dan analisa mengenai bisnis dan keuangan baik dari para bankir investasi, pialang saham, koran, radio, televisi hingga situs internet. Reuters pun memperkerjakan dan melatih orang-orang India berlatar belakang akuntansi untuk membuat berita dan melakukan analisis berita bisnis dan keuangan. Kasus skandal analisis keuangan pada perusahaan besar di Wall Street semakin mendorong Reuters untuk meng-outsource pekerjaan analisis ke Bangalore dengan didukung pengembangan software penyampaian berita. Hebat, analisis Bangalore lebih dipercaya daripada para analisis di Wall Street, New York.


Kasus keempat. Perusahaan India banyak menyediakan jasa asisten eksekutif jarak jauh kepada para eksekutif di Amerika. Pelanggan mereka banyak datang dari para konsultan kesehatan yang seringkali harus melakukan banyak perhitungan dan menyusun presentasi power point dan bank investasi serta perusahaan layanan keuangan yang seringkali harus menyiapkan pamflet menarik dilengkapi grafik untuk menggambarkan keuntungan IPO atau tawaran merger. Semua pekerjaan itu dipercayakan kepada asisten mereka yang berada jauh di India.


Kasus kelima. Nah ini yang paling gila. Sebuah pusat layanan informasi bernama 24/7 Customer di Bangalore menyediakan jasa outsourcing pada banyak perusahaan Amerika dan negara lain dalam hal layanan customer service, call center, delivery order atau marketing. Jadi bayangkan, di sebuah tempat bernama 24/7 Customer, orang-orang India harus menerima telepon dari seluruh dunia atau memutar nomor telepon untuk menerima keluhan, saran, pemesanan, permintaan bantuan atau untuk menawarkan sebuah produk maupun menagih tunggakan. Hebatnya orang Amerika yang menelpon tidak tahu jika mereka sebenarnya sedang berbicara dengan orang India yang sedang berada di negara India dan bukan di negara mereka sendiri.

Apa yang dilakukan perusahaan India penyedia jasa ini sehingga bisa mengelabui banyak orang Amerika? Bekerja sama dengan perusahaan pengguna jasa, mereka melakukan pelatihan prosedur khusus menangani panggilan telepon dalam program yang disebut netralisasi aksen. Calon pegawai di perusahaan tersebut harus menjalani pelatihan untuk menutup logat kental India mereka dan menggantinya dengan logat Amerika, Kanada atau Inggris, tergantung dari asal perusahaan pengguna jasa.


Apa sebenarnya yang menjadi kelebihan SDM India di mata orang-orang Amerika? Tom Glocer dari Reuters mengatakan India adalah tempat yang kaya akan orang untuk direkrut, baik yang memiliki ketrampilan teknis, maupun finansial. Sedangkan Jack Welch dari General Electric menyebutkan India adalah negara berkembang dengan kapabilitas intelektual maju, begitu kaya bakat yang dapat dimanfaatkan.

Bagaimana menurut orang India sendiri? Rajesh Rao, seorang CEO perusahaan India menyebutkan beberapa kelebihan India karena memiliki banyak orang yang bisa berbahasa Inggris yang terpelajar dan berupah rendah dimata orang Barat, memiliki kandungan DNA berupa budaya melayani, etos pendidikan yang sangat tinggi dan semangat wirausaha.


Kelas intensif pada malam hari (hingga jam 10 malam) dan dilakukan 7 (tujuh) hari seminggu menjadi kehidupan biasa bagi siswa kelas 3 SMA di India untuk merebut perguruan tinggi terbaik. Bahkan di buku World Is Flat digambarkan para siswa ini setelah pulang ke rumah, kebanyakan dari mereka akan meneguk secangkir kopi manis kental untuk membantu mereka agar tetap terjaga untuk belajar beberapa jam lagi. Bagi mereka yang tidak dapat menempuh pendidikan tinggi di jalur formal, berlomba-lomba mencari bimbingan atau latihan di bidang TI dan Bahasa Inggris. Booming IT dan outsourcing yang menyediakan gaji besar untuk ukuran orang India (tetapi kecil bagi orang Barat) menjadi harapan mereka untuk lepas dari kemiskinan, sebuah kondisi yang sebenarnya masih banyak terjadi di negara berpenduduk lebih dari 1 milyar ini.


Bagaimana dengan Indonesia? Well.. seperti yang dikatakan Rajesh, dunia adalah lapangan sepakbola, orang harus cukup bagus agar dapat tetap dalam tim yang bermain di lapangan, siapa yang tidak cukup bagus, harus menonton dan duduk di bangku cadangan atau diluar lapangan. Dan masalahnya sekarang adalah efisiensi, kolaborasi, daya saing dan terus menjadi pemain di lapangan.


Rab ne bana di jodi yuk? hehehe



June 05, 2009

Indonesian Airlines in Pricing Rivalry


LATAR BELAKANG
Undang-undang Nomer 15 Tahun 1992 menjadi turning point dalam perkembangan bisnis penerbangan di Indonesia, khususnya kategori penerbangan niaga berjadual. Berkat undang-undang tentang penerbangan ini, jumlah perusahaan jasa penerbangan semakin meningkat di Indonesia. Sebelum berlakunya undang-undang ini, persaingan perusahaan jasa penerbangan di Indonesia untuk kategori penerbangan niaga berjadual hanya diisi oleh Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, Bouraq Airlines dan Mandala Airlines. Berdasarkan data pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Udara Departemen Perhubungan (Dephub), industri jasa penerbangan di Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan mencapai puncaknya pada tahun 2001. Saat itu jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadual mencapai 19 buah perusahaan. Sedangkan saat ini berdasarkan data Ditjen Perhubungan Udara Dephub, jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadual tercatat sebanyak 13 buah perusahaan. Beberapa perusahaan penerbangan bertumbangan sebagai hasil ketatnya tingkat persaingan harga antar operator transportasi udara, krisis moneter yang melanda Indonesia dan dampak peristiwa 9/11 di Amerika Serikat.
Adanya perang tarif pada industri penerbangan ini antara lain disebabkan karena adanya kebijakan dari Menteri Perhubungan (Menhub) pada tanggal 1 Februari 2002 melalui Keputusan Menhub Nomer KM.8/2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan Nomer KM.9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Adapun keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas yang harus dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan tarif. Sedangkan penentuan tarif batas bawah diserahkan kepada setiap perusahaan penerbangan dengan syarat biaya operasional terutama biaya perawatan tidak dapat diturunkan untuk alasan keselamatan penerbangan. Penentuan tarif batas bawah ini dikenal dengan tarif referensi. Kebijakan inilah yang langsung menciptakan "perang terbuka" dalam menetapkan tarif angkutan udara serendah mungkin. Sebelum adanya dua surat keputusan tersebut, pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh asosiasi maskapai penerbangan nasional INACA (Indonesian National Air Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs dolar AS, yaitu 11 sen per seat per kilometer.

LOW COST CARRIER DAN LOW FARE CARRIER
Di dunia penerbangan internasional pada tahun 1990an muncul sebuah konsep baru mengenai model penerbangan yang unik dengan strategi penurunan biaya operasional. Konsep tersebut muncul sebagai lawan dari full service carrier (FSC) yang diadopsi maskapai penerbangan untuk kenyamanan para penumpangnya. Konsep ini dikenal sebagai low cost carrier (LFC) yang sering juga disebut dengan budget airlines atau no frills flight atau juga discounter carrier. Dengan melakukan efisiensi biaya di semua lini, sebuah maskapai penerbangan melakukan hal-hal diluar kebiasaan maskapai pada umumnya. Kalau perusahaan penerbangan pada umumnya melakukan penambahan layanan yang memiliki value added maka LCC justru melakukan eliminasi layanan maskapai tradisional yaitu dengan pengurangan catering, peniadaan koran atau majalah, penghapusan in flight entertainment atau minimasi reservasi dengan bantuan teknologi informasi sehingga layanan nampak sederhana dan cepat.
Pelayanan yang minimalis ini berakibat pada penurunan biaya, namun faktor safety tetap dijaga untuk menjamin keselamatan penumpang sampai ke tujuan. LCC adalah redefinisi bisnis penerbangan yang menyediakan harga tiket yang terjangkau serta layanan terbang yang minimalis. Intinya produk yang ditawarkan senantiasa berprinsip low cost untuk menekan dan mereduksi biaya operasional sehingga bisa menjaring segmen pasar bawah yang lebih luas. LCC juga menerapkan outsourcing dan karyawan kontrak terhadap SDM non vital termasuk pekerjaan ground handling pesawat di bandara.
Konsep LCC dirintis oleh maskapai Southwest di Amerika Serikat. Efisiensi yang mereka lakukan meliputi harga yang murah, teknologi, struktur biaya, rute hingga berbagai peralatan operasional yang digunakan. Keberhasilan Southwest kemudian banyak ditiru maskapai penerbangan lainnya di dunia seperti Ryanair, Shuttle, MetroJet, Delta Express, Continental Lite dan lain-lain. Mereka sebagian besar anak perusahaan dari maskapai yang lebih besar. Langkah LCC kemudian juga ditiru di Asia dengan munculnya AirAsia dengan CEO-nya Tony Fernandes dan Virgin Blue di Australia. Kemudian di Indonesia, Rusdi Kirana lewat Lion Air dan anak perusahaannya Wings Airlines juga pernah mengklaim perusahaannya sebagai maskapai penerbangan LCC.
Menurut Joko Sugiarsono, seorang pengamat dunia penerbangan nasional, di Indonesia belum ada maskapai penerbangan yang bisa disebut menerapkan pola bisnis LCC sejati karena biaya operasional beberapa maskapai nasional yang mengklaim sebagai LCC di Indonesia masih diatas rata-rata maskapai LCC pada umumnya, termasuk diantaranya Lion Air. Banyak analisis keuangan masih menyatakan bahwa cost per available seat miles dari beberapa maskapai yang dianggap LCC di Indonesia masih berada diatas ambang standard operating cost dari suatu LCC yang sejati. Namun karena price structure-nya sendiri sudah sesuai dengan konsep LCC, maka akan lebih tepat disebut sebagai low fare carrier (LFC) karena hanya menawarkan harga murah tetapi belum sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip LCC dimana struktur cost dan produktifitas maskapai masih tergolong mahal. Adanya konsep LFC tentu sangat menguntungkan konsumen transportasi di Indonesia karena mereka dihadapkan pilihan menggunakan transportasi udara yang berbiaya murah dan cepat. Seringkali harganya jauh lebih murah dari perjalanan darat dengan bus atau kereta api yang membutuhkan waktu lebih lama.

KARAKTER KONSUMEN
Konsep LFC yang digunakan banyak maskapai penerbangan Indonesia melalui penerapan tarif murah sejalan dengan hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh YLKI pada tahun 2003 terhadap rute penerbangan Jakarta-Medan, Jakarta-Batam, Jakarta-Yogyakarta dan Jakarta-Pekanbaru, alasan yang paling sering dipakai oleh responden untuk memilih salah satu operator angkutan udara adalah harga tiket yang murah. Alasan tersebut sangat masuk akal karena naluri konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk secara alamiah adalah berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin, hal ini sesuai dengan prinsip utility maximisation. Survey YLKI yang dilakukan terhadap 600 orang responden penumpang pesawat udara di bandar udara internasional Soekarno-Hatta menghasilkan komposisi utama alasan pemilihan maskapai penerbangan sebagai berikut: harga murah (28%), pelayanan baik (18%), tepat waktu (7%), keamanan/keselamatan (6,17%), jadual/jaringan banyak (6%) dan kenyamanan (5,67%).
Selanjutnya dari responden tersebut sebanyak 32,8% berpendapat bahwa persaingan harga tiket pesawat terbang seharusnya dibiarkan karena konsumen dapat diuntungkan dari adanya persaingan tersebut. Sebanyak 41,3% responden kurang setuju dengan alasan persaingan harga tiket antar maskapai penerbangan akan merugikan maskapai penerbangan lainnya. Dari data tersebut disimpulkan bahwa persaingan antara operator angkutan udara memberikan keuntungan kepada konsumen karena konsumen dapat memperoleh kemudahan dalam memilih operator angkutan udara yang memberikan penawaran harga tiket terendah. Meskipun demikian sebanyak 35,8% orang responden setuju apabila pemerintah tetap perlu untuk membuat aturan yang ketat tentang harga tiket pesawat terbang.

MARKET SHARE
Berdasarkan data Annual Report 2007 yang dikeluarkan INACA, terlihat bahwa industri penerbangan di Indonesia hanya didominasi oleh 9 maskapai penerbangan pada tahun 2007 dengan 3 diantaranya tidak bergabung dalam INACA yaitu Adam Air, Wings Airlines dan AirAsia. Dengan sudah tidak beroperasinya Adam Air menyusul tragedi jatuhnya pesawat mereka di perairan Sulawesi, praktis saat ini persaingan penerbangan di Indonesia diikuti oleh 8 pemain utama. Meskipun demikian masing-masing maskapai memiliki strategi yang akan membedakan jasa penerbangan yang mereka lakukan. Dalam pembahasan strategi yang digunakan perusahaan penerbangan, penulis akan fokus pada 3 maskapai yaitu Garuda Indonesia, AirAsia dan Lion Air.
Berdasarkan komposisi market share-nya, struktur pasar konsumen maskapai penerbangan berbentuk pasar oligopolistik. Pasar oligopolistik adalah suatu bentuk persaingan pasar yang didominasi oleh beberapa produsen atau penjual dalam satu wilayah area. Struktur pasar ini memiliki beberapa sifat yaitu harga produk yang dijual relatif sama, pembedaan produk yang unggul merupakan kunci sukses, sulit masuk ke pasar karena butuh sumber daya yang besar dan perubahan harga akan diikuti perusahaan lain.

KOMPOSISI HARGA TIKET PESAWAT
Sebelum membahas lebih lanjut persaingan harga tiket di industri penerbangan, dibawah ini adalah komponen-komponen yang ada dalam penentuan sebuah harga tiket pesawat, yaitu:
Pertama, tarif dasar, merupakan tarif promosi yang sering diiklankan oleh maskapai, umumnya tarif dasar ini berdasarkan tarif subclass atau bertingkat dari harga murah kemudian berjenjang ke harga yang lebih tinggi sesuai dengan tingkat layanan yang diberikan oleh maskapai. Semakin mahal harga tarif dasarnya, maka biasanya semakin bagus layanan dan value added services yang diperoleh calon penumpang
Kedua, komponen tarif pajak dari pemerintah untuk penerbangan domestik yang biasanya bernilai 10% dari tarif dasar.
Ketiga, tarif asuransi atau sering disebut IWJR.
Keempat, tarif fuel surcharge (FS), yaitu tarif tambahan yang dikenakan sesuai kebijakan masing-masing maskapai yang nilainya bisa berbeda antara rute yang satu dengan rute yang lain, di mana tarif FS dibuat akibat adanya seringnya terjadi perubahan terhadap harga fuel atau avtur, yang merupakan dampak tidak stabilnya harga minyak dunia pada saat ini.
Oleh karena itu, jika kita melihat banyak perusahaan penerbangan gencar mempromosikan harga tiket murah seperti banyak diiklankan di media massa, maka calon penumpang tidak akan membayar sesuai dengan yang diiklankan tersebut. Perusahaan penerbangan hanya mencantumkan tarif dasarnya saja dalam berpromosi, sehingga harga keseluruhan yang harus dibayar oleh calon penumpang bisa jauh lebih besar dari tarif yang dipromosikan karena harga tiket yang dipromosikan belum ditambah oleh komponen biaya lainnya seperti asuransi, pajak, dan komponen tarif FS. Tetapi ada juga perusahaan penerbangan yang tidak memasukkan tarif FS dalam komponen harga tiketnya seperti yang diterapkan oleh AirAsia.

PRICING RIVALRY
Berdasarkan penjelasan dynamics of pricing rivalry dalam buku Economics of Strategy karangan Besanko, Dranove, Shanley and Schaefer, dalam pasar oligopolistik keputusan harga biasanya berada di segelintir pemain, walaupun berada diantara banyak pemain. Dalam konsep cooperative pricing, sebagai price leaders, segelintir pemain ini bisa membuat skema sebagai berikut: perusahaan oligopoli berkonspirasi dan berkolaborasi untuk membuat harga monopoli dan mendapatkan keuntungan dari harga monopoli ini, pemain oligopoli akan berkompetisi dalam harga sehingga harga dan keuntungan menjadi sama dengan pasar kompetitif serta harga dan keuntungan oligopoli akan berada antara harga di pasar monopoli dan pasar kompetitif.
Mardiharto Tjokrowasito, seorang peneliti dari Bappenas, mengutip Koran Tempo tanggal 10 April 2002 untuk menggambarkan perang tarif penerbangan domestik di Indonesia, khususnya pada rute Jakarta-Surabaya yang merupakan salah satu jalur gemuk (golden route). Saat itu jalur penerbangan Jakarta-Surabaya dilayani oleh 6 perusahaan penerbangan, yaitu Garuda Indonesia, Mandala Airlines, Bouraq Airlines, Star Air, Kartika Airlines, dan Indonesian Airlines (IA). Adanya perang tarif tersebut terlihat antara IA, sebagai maskapai penerbangan baru pada masa itu dan Garuda sebagai maskapai penerbangan yang sudah lama beroperasi. IA adalah maskapai penerbangan baru mulai mulai beroperasi pada akhir Maret 2002. Pada jalur Jakarta-Surabaya, IA menetapkan tarif sebesar Rp 530 ribu. Garuda sebagai maskapai penerbangan terbesar tidak mau kalah dan menurunkan tarifnya dari Rp 600 ribu menjadi Rp 499 ribu. Merespon hal tersebut IA menurunkan harga tiketnya lagi dari Rp 530 ribu menjadi Rp 390 ribu, sementara itu maskapai penerbangan lain juga melakukan penyesuaian harga tiketnya seperti Kartika dan Pelita langsung mematok tarif Rp 336 ribu dan Rp 333 ribu. Menanggapi hal tersebut Garuda ternyata justru merevisi kembali harga tiket penerbangan rute Jakarta-Surabaya dari harga promosi yang sekarang yaitu Rp 499 ribu kembali pada harga yang biasa (published rate) yaitu Rp 650 ribu.
Cerita diatas menggambarkan ketatnya persaingan industri penerbangan domestik yang sudah menjurus pada hyper competition alias persaingan gila-gilaan. Hyper competition dengan model perang harga memang sudah tak bisa dihindari dalam penerbangan domestik sejak Menhub menetapkan batas atas dan tarif referensi pada tarif penerbangan. Murahnya harga tiket pesawat oleh maskapai penerbangan yang mengklaim dirinya sebagai penerbangan LCC mengakibatkan maskapai tradisional lain mau tidak mau harus menurunkan harga tiketnya, baik melalui sistem tarif promo atau penerapan tarif subclass berdasarkan jangka waktu pemesanan tiket. Tetapi tidak semua perusahaan penerbangan akhirnya larut dalam perang tarif, seperti Garuda Indonesia, karena adanya diferensiasi dalam produk mereka melalui kelebihan pelayanan dan brandvalue atau brand image yang dimiliki. Berikut ini akan diuraikan strategi yang digunakan 3 (tiga) perusahaan penerbangan, yaitu Garuda Indonesia, AirAsia dan Lion Air dalam menghadapi hyper competition.

Garuda Indonesia
Sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memudahkan pendirian sebuah maskapai penerbangan, banyak bermunculan maskapai penerbangan baru. Hal ini tentu menambah tingkat persaingan antar maskapai. Dampak persaingan ini adalah semakin murahnya harga tiket pesawat yang menguntungkan konsumen. Untuk menjawab tantangan itu Garuda Indonesia selaku maskapai yang sudah cukup berpengalaman di Indonesia ternyata mempunyai strategi untuk memenangkan persaingan. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem marketing yang terencana dan terpadu. Bentuk strategi marketing yang ditawarkan Garuda Indonesia adalah etravel. Garuda Indonesia berupaya mewujudkan kenyaman dan ketepatan bagi pelanggannya untuk melakukan perjalanannya. Selain itu untuk menjawab tantangan persaingan yang semakin tinggi Garuda meluncurkan layanan Citilink yang menawarkan penerbangan murah dengan mengedepankan ketepatan waktu.
Pada umumnya perusahaan penerbangan di Indonesia memandang krisis, dalam hal ini kecelakaan pesawat, sebagai sebuah ancaman (threat) sehingga ditangani dengan sikap defensif. Padahal jika jeli melihatnya, krisis bisa diubah menjadi sebuah peluang. Hal ini karena ketika krisis menimpa sebuah perusahaan tentunya mereka akan mendapatkan publikasi yang cukup besar. Kuncinya dalam hal ini adalah perusahan itu harus mampu mengontrol informasi. Bersikap defensif tidak akan menyelesaikan krisis, hal ini justru kan merusak brand image perusahaan tersebut. Dalam dunia pemasaran, brand image adalah kumpulan asosiasi merek yang saling berkaitan. Bila image merek terganggu karena terjadinya suatu krisis yang tidak dapat ditangani dengan baik, maka harus ada perbaikan dalam asosiasi dari merek tersebut. Dalam sebuah perusahaan penciptaan dan perbaikan brand image biasanya menjadi tanggung jawab public relations.
Sebagai sebuah perusahaan penerbangan yang mempunyai pengalaman yang cukup lama di Indonesia, Garuda telah mempunyai metode penanganan krisis (kecelakaan pesawat) yang baku dan terlatih. Dalam kecelakaan GA-200 di Yogyakarta pada bulan Maret 2007, Garuda Indonesia telah melakukan tindakan tepat yaitu menangani krisis dengan mengunakan pendekatan komunikasi dan sepenuh hati menunjukan rasa tanggung jawabnya. Informasi mengenai kecelakaan mudah diakses dan korban beserta keluarganya tidak terlantar. Uang simpati berupa uang asuransi, uang simpati dan biaya pengganti bagasi dibayarkan kepada seluruh penumpang dalam waktu kurang dari 1 bulan.
Bentuk tanggung jawab tersebut diperkuat dengan sikap Presiden Direktur Garuda Indonesia Emirsya Satar yang bersikap kooperatif dengan wartawan dan langsung terjun ke lokasi kejadian sesaat setelah accident GA-200 terjadi. Emirsyah Satar tidak segan untuk meminta maaf dan menyampaikan rasa simpati kepada semua pihak. Hal ini membedakan Garuda Indonesia dengan maskapai penerbangan domestik lain dalam hal penanganan kasus kecelakaan. Umumnya maskapai penerbangan domestik lain lebih bersikap defensif dan terkesan tidak siap jika sebuah kecelakaan menimpa armadanya.
Garuda Indonesia tidak larut dalam perang harga karena mereka kembali ke positioning perusahaan FSC yang berorientasi pada jasa (service orientation) setelah sebelumnya sempat berorientasi pada pasar (market orientation). Hal ini dilakukan karena customer satisfaction konsumen terhadap pelayanan Garuda masih cukup menggembirakan. Garuda Indonesia juga menetapkan dirinya bermain pada pasar premium yaitu menyasar konsumen penerbangan kelas menengah ke atas. Sedangkan pasar menengah ke bawah diserahkan ke Citilink dengan manajemen terpisah. Akibatnya secara tactical decision, market share pasar konsumen penerbangan Garuda semakin tergerus dari tahun ke tahun. Tetapi secara strategic decision, keputusan tersebut justru menguatkan segmen Garuda di pasar premium dan bahkan mereka menjadi monopoli di pasar tersebut. Dalam aspek profit taking, kinerja perusahaan juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

AirAsia
Meniru konsep LCC yang dianut Southwest di Amerika Serikat dan Ryanair di Inggris, Tony Fernandes mendirikan perusahaan penerbangan AirAsia di Malaysia. Segera setelah strategi dan cara yang ditempuh berhasil, AirAsia pun melebarkan sayapnya ke Indonesia, Singapura dan Thailand. Tony Fernandes berkali-kali menyatakan bahwa AirAsia memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan maskapai penerbangan besar di Malaysia, Indonesia atau Thailand karena mereka fokus pada kelas konsumen yang sensitif terhadap harga dan mereka yang sebelumnya tidak pernah membayangkan bisa naik pesawat terbang.
Untuk memastikan rendahnya harga jual tiket AirAsia, Tony Fernandes melancarkan strategi penghematan di segala bidang sebagai nafas perusahaan. Beberapa diantaranya adalah dengan menghapuskan hidangan makanan dalam pesawat, satu rute penerbangan hanya memakan waktu 3 – 3,5 jam perjalanan sehingga untuk penerbangan pulang pergi AirAsia hanya menggunakan awak pesawat yang sama dan tidak ada gaji lembur maupun akomodasi, pesawat AirAsia lepas landas dan mendarat di landasan udara termurah, pelanggan disarankan untuk membeli tiket melalui internet sehingga menghemat sewa konter dan gaji petugas, pesawat AirAsia tidak menggunakan garbarata di bandara, AirAsia membeli bahan bakar pesawat dengan membayar di muka dan AirAsia menggunakan pesawat Airbus yang kapasitas seatsnya lebih banyak. Bahkan Tony Fernandes mengklaim kantornya adalah yang terkecil dan terhemat diantara seluruh airlines di dunia. Salah satu indikator dari keberhasilan strategi penghematan ini adalah tidak dimasukkannya tarif FS dalam komponen harga tiket penerbangan AirAsia. Pada masa tertentu dan untuk kuota jumlah kursi tertentu, AirAsia juga menerapkan strategi tarif promo dengan harga tiket dibawah harga normal untuk mengantisipasi kosongnya kursi pesawat.
Memasuki pasar penerbangan Indonesia, AirAsia harus siap menghadapi perang harga diantara maskapai. Konsep LCC yang diusung AirAsia harus menghadapi banyaknya maskapai penerbangan Indonesia yang mengklaim menggunakan konsep LCC walaupun pada kenyataannya lebih tepat disebut LFC. Strategi lain apa yang dilakukan AirAsia menghadapi perang harga yang sengit? Cabin AirAsia dan tray table dibuat tidak polos dengan ditempeli stiker sebuah merek produk yang tengah gencar membangun image sebagai produk global. Sementara cabin airlines lain diusahakan bersih dan elegan, cabin AirAsia justru menjadi sarana promosi dan sumber pemasukan. AirAsia juga memperhatikan fast turn-around sebagai salah satu key perfomance indicator yaitu menghitung selisih menit kedatangan dan keberangkatan disuatu bandara. Menurut mereka pesawat akan bernilai ekonomis ketika ia terbang di udara. Sedangkan di terminal, di darat, pesawat justru tak perlu berlama-lama.
Untuk menambah turnover, AirAsia menjual makanan dan minuman selama penerbangan termasuki mie instan. Menariknya, AirAsia juga berjualan merchandise seperti topi, t-shirt, baby jumper, magic bag atau mini airplane berlogo Air Asia. Pramugari Air Asia pun dituntut tak berjarak dengan penumpang. Mereka akan dengan ramah, tanpa segan, mengobrol dengan penumpang. Mereka tahu bahwa bahwa mengobrol adalah bagian dari customer intimacy strategy yang akan berdampak pada Rupiah Customer Spending selama penerbangan. Terakhir, AirAsia sangat mengutamakan faktor keselamatan pesawat-pesawatnya, tarif murah hanya menganggu kenyamanan penerbangan tetapi tidak untuk keselamatan penerbangan. Khusus untuk pasar Indonesia, AirAsia membeli 20 pesawat baru Airbus A320 pada tahun 2007.
Keseragaman penggunaan pesawat Airbus A320 bukannya tanpa tujuan. Dengan penerbangan seluruhnya menggunakan armada A320, AirAsia ingin memperoleh keuntungan dari penghematan biaya pemeliharaan pesawat. AirAsia tidak perlu menyediakan stok cadangan yang bermacam macam. Pembelian spare part pun bisa dilakukan sekaligus dalam jumlah besar karena armada yang digunakan sejenis sehingga biaya pembelian spare part dapat lebih ditekan. Dengan hanya menggunakan pesawat satu tipe, diharapkan bisa mempercepat waktu penyediaan (turnaround time) pesawat dan menyederhanakan pemeliharaan.
Sebagai totalitas penerapan LCC, AirAsia telah membangun bandara LCC di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) dan berencana membangun bandara sejenis di Bandara Sukarno-Hatta dan Thailand. Hal ini juga sejalan dengan ambisi AirAsia menjadi maskapai penerbangan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Bahkan AirAsia melakukan kerjasama dengan klub sepakbola terpopuler di dunia Manchester United untuk menancapkan imagenya. Selain di Asia Tenggara, AirAsia berencana berekspansi ke Australia, China, Korea Selatan, Jepang dan Timur Tengah. Tetapi status mereka sebagai maskapai asing dari Malaysia, agak membatasi sikap agresif mereka membuka rute penerbangan di Indonesia.
Dengan demikian, AirAsia sangat fokus menggarap segmen pasar menengah ke bawah dengan menegaskan status mereka sebagai perusahaan penerbangan LCC. Sebuah konsep yang mengandalkan rendahnya harga karena keunggulan di minimalisasi biaya operasional dan meninggalkan keunggulan kenyamanan dalam bertransportasi udara tanpa mengurangi tingkat keselamatan pesawat. Beberapa pernyataan yang dikeluarkan Tony Fernandes untuk menegaskan keberadaan AirAsia sebagai maskapai LCC disertai langkah-langkah strategis untuk mendukung klaim tersebut, membuat AirAsia mempunyai positioning yang jelas di mata calon konsumen penerbangan Indonesia. AirAsia identik dengan tarif murah tanpa mengurangi keselamatan penerbangan. Sebuah hal menguntungkan dari hasil strategic decision manajemen. Meskipun jika ditinjau dari tactical decision, penerapan harga murah justru memicu reaksi agresif dari para pesaingnya dengan melakukan cara yang sama.

Lion Air
Pada awal berdirinya Lion Air langsung menerapkan strategi LFC (diklaim sebagai LCC) yang mengandalkan tarif murah pada tiap rute pesawatnya. Strategi ini berhasil, Lion Air sukses bertahan dan bahkan saat ini menjadi maskapai penerbangan terbesar kedua di Indonesia berdasarkan data INACA. Keberhasilan ini juga didukung oleh banyaknya jumlah pesawat yang melayani banyak rute penerbangan di Indonesia. Berdasarkan data INACA Lion Air merupakan maskapai nasional dengan jumlah pesawat yang dimiliki terbanyak kedua setelah Garuda Indonesia. Secara head to head, Lion Air berhadapan langsung dengan AirAsia pada ceruk pasar yang sama, konsumen yang sensitif terhadap harga.
Lantas apa strategi yang dilakukan Lion Air menghadapi ketatnya perang harga di dunia penerbangan. Lion Air ternyata menjadi perusahaan penerbangan yang memberikan komisi paling besar ke travel agent. Jika maskapai penerbangan lain rata-rata hanya memberikan komisi sebesar 2-3 persen maka Lion Air berani memberikan komisi kepada travel agent hingga sebesar 5 persen. Dampaknya hampir semua travel selalu mengarahkan dan menawarkan Lion Air sebagai penerbangan utama. Salah satu kelebihan lain dari Lion Air, hingga tahun 2005 Lion Air menempati Terminal Dua Bandara Soekarno-Hatta. Hal ini memberikan para penumpang kemudahan penerbangan sambungan ke Indonesia atau dari Indonesia ke tujuan internasional lainnya, selain memberikan keuntungan lebih dari segi prestise karena mayoritas perusahaan penerbangan lokal atau penerbangan domestik hanya menempati Terminal Satu.
Sayang, sebagian besar pesawat yang digunakan oleh Lion Air adalah pesawat yang sudah cukup berumur dengan didominasi pesawat MD80 dan sebagian menyewa pesawat dari perusahaan lain yang biasanya sudah tua. Dengan menggunakan pesawat sewaan, keuntungannya maskapai tidak perlu mengeluarkan biaya modal yang besar pada tahap awal operasi. Meskipun biaya modal dapat ditekan, sebenarnya strategi ini menyebabkan biaya operasional membengkak. Selain biaya perawatan, biaya pemakaian bahan bakar akan meningkat dan menjadi sangat terasa pada kondisi saat ini. Biaya bunga yang cukup besar juga merupakan beban bagi maskapai penerbangan. Akibatnya, kecurigaan bahwa pesawat tidak mendapatkan perawatan yang semestinya, timbul di masyarakat pengguna jasa. Padahal, dalam rangka menekan biaya operasional, keselamatan penerbangan juga dapat ditingkatkan dengan mengganti pesawat lama dengan pesawat baru. Lion Air juga termasuk dalam deretan maskapai penerbangan nasional yang beberapa kali mengalami kecelakaan.
Tetapi pada tahun 2007 Lion Air mengubah paradigma biaya operasionalnya. Maskapai penerbangan nasional terbesar kedua ini mendatangkan 60 pesawat Boeing 737-900ER yang peluncuran perdananya dilakukan di pabrik Boeing, Seattle, Amerika Serikat pada tahun 2006 dengan nilai transaksi pembelian pesawat sebesar USD 3,9 miliar. Kehadiran pesawat baru dan seragam ini diharapkan memangkas biaya operasional dari biaya perawatan. Biaya perawatan pesawat merupakan salah satu pos biaya yang cukup besar dalam operasional penerbangan, mencapai 12-20 persen. Dengan penghematan biaya perawatan tersebut, biaya operasional juga akan turun secara cukup signifikan. Penggunaan pesawat yang lebih muda akan meningkatkan keselamatan penerbangan karena kondisinya relatif lebih baik.
Pembelian pesawat-pesawat baru ini justru digunakan Lion Air untuk mulai meninggalkan konsep LFC dengan tarif murahnya dan hal tersebut dinyatakan langsung oleh Rusdi Kirana sebagai CEO Lion Air setelah memberi keterangan tentang Rapat Umum Anggota INACA Tahun 2007. Menurut Rusdi Kirana, tarif murah lambat laun akan ditinggalkan penumpang. Pengguna jasa penerbangan lebih memilih kenyamanan dan keamanan. Untuk itu, Lion Air memilih berinvestasi dengan mendatangkan pesawat baru dan memperbaiki peningkatan sistem teknologi informasi yang memudahkan penumpang, seperti mobile checking, Lion Passport, drive thru check in, Lion Credit Card dan internet booking. Kursi pesawat juga dibedakan menjadi kelas bisnis dan kelas ekonomi.
Rusdi Kirana juga menyatakan perubahan konsep penerbangan Lion Air dari konsep penerbangan murah ke layanan penuh (full service atau FSC) seiring dengan kedatangan pesawat baru Boeing 737-900ER. Layanan penuh yang diberikan Lion Air antara lain seperti pemberian makanan dan minuman ringan di pesawat. Meskipun demikian Lion Air tetap menyasar pasar menengah ke bawah dengan mengenakan tarif penerbangan yang masih bisa dijangkau segmen tersebut dengan sistem tarif subclass pada kelas ekonomi. Penentuan harga tiket pesawat didasarkan pada jangka waktu pemesanan tiket oleh calon penumpang. Semakin lama calon penumpang memesan tiket dari hari keberangkatan, maka harga tiket pesawat yang didapat akan semakin murah.
Langkah berikutnya Lion Air melakukan ekspansi ke negeri jiran Malaysia dengan menggandeng mitra lokal di Langkawi, Kedah. Langkah Lion Air ini tentu saja menjadi tantangan bagi AirAsia yang berambisi menjadi maskapai penerbangan terbesar di Asia Tenggara dengan konsep LCC-nya. Langkah Lion Air membeli puluhan pesawat baru dan sedikit menaikkan tarif penerbangannya mungkin secara tactical decision tidak menguntungkan perusahaan, tetapi secara strategic decision menguntungkan perusahaan karena akan memangkas besarnya biaya operasional dari biaya perawatan dan munculnya image penerbangan yang mengutamakan keselamatan serta perusahaan penerbangan full service (FSC) tetapi bertarif murah.

KONKLUSI
Meskipun bersaing dalam pasar penerbangan domestik, baik Garuda Indonesia, AirAsia dan Lion Air memiliki strategi berbeda menyikapi perang harga yang terjadi dalam bisnis penerbangan Indonesia. Garuda Indonesia memposisikan dirinya sebagai penerbangan FSC pada pangsa pasar menengah ke atas dengan sangat mengutamakan sisi pelayanan atau kenyamanan penerbangan. AirAsia dan Lion Air bermain pada pasar yang sama yaitu menengah ke bawah. Perbedaannya AirAsia sangat mencitrakan dirinya sebagai perusahaan LCC dengan keunggulan di sisi keselamatan dan ketepatan waktu. Sedangkan Lion Air mulai meninggalkan konsep LFC dan beralih ke penerbangan FSC dengan mempertahankan klasifikasi harga terjangkau pada tarif penerbangannya melalui sistem tarif subclass untuk kursi ekonomi. Sehingga dari sisi penentuan harga atau tarif penerbangan, tidak terdapat cooperative pricing diantara ketiga maskapai tersebut.
Tetapi secara garis besar, ada 4 (empat) hal yang bisa menjadi nilai pembanding dari ketiga maskapai tersebut, yaitu harga tiket, kecepatan, kenyamanan dan keselamatan. Garuda Indonesia sebagai maskapai FSC di kelas premium mempunyai nilai tinggi di kenyamanan penerbangan, nilai menengah di kecepatan waktu dan keselamatan penerbangan dan nilai rendah di harga tiket pesawat. AirAsia sebagai maskapai LCC mempunyai nilai tinggi di harga tiket pesawat, kecepatan waktu dan keselamatan penerbangan serta nilai rendah di kenyamanan penerbangan. Lion Air sebagai maskapai LFC yang berubah ke FSC di kelas menengah ke bawah, mempunyai nilai menengah di harga tiket pesawat dan kenyamanan penerbangan serta nilai rendah di kecepatan waktu dan keselamatan penerbangan.

June 04, 2009

Red Light Economy

Pendahuluan

Sritua Arief pernah mengangkat tema black economy di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Pembangunan dan Kebijaksanaan Ekonomi (Arief: 1993). Yang dimaksudkan dengan black economy di sini adalah bagian dari ekonomi bawah tanah (underground economy) yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi formal namun melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku (ilegal) dan kegiatan-kegiatan ekonomi informal yang disebabkan oleh berbagai hal tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional. Oleh karena ada aktivitas yang ilegal maka dikenal juga sebagai black economy. Di Indonesia pemungutan pajak tidak memandang apakah itu dari hasil usaha dan sumber yang halal atau haram. Sepanjang merupakan penghasilan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi yang menerimanya, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan yang bersangkutan, dari penghasilan itu wajib dipungut pajak. Dengan kata lain black economy sebetulnya mencakup aktivitas ekonomi yang dapat dikenakan pajak bila aktivitas-aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak. Oleh sebab itu diyakini bahwa semakin besar black economy maka semakin besar besar potensi pajak yang hilang.

Menurut Aloysius Gunadi Brata (2004), beberapa kegiatan yang dapat diklasifikasikan sebagai black economy yaitu ekspor ilegal (pasir laut, BBM, kayu, kekayaan laut, satwa langka), impor ilegal (elektronik), prostitusi dan perjudian. Sedangkan Teddy Sangudi (2007) menambahkan perdagangan narkoba, minuman keras dan korupsi dalam kegiatan yang dapat dianggap sebagai black economy. Paper ini akan fokus pada pembahasan kegiatan prostitusi sebagai salah satu black economy. Alasan kenapa penulis memilih tema prostitusi karena dibandingkan dengan kegiatan black economy lainnya, kegiatan prostitusi lebih banyak dan lebih terbuka diulas di beberapa sumber dan literatur, baik itu internet, buku, koran, majalah dan televisi. Penulis mencoba mengenalkan istilah red light economy sebagai bagian dari black economy untuk mendeskripsikan kegiatan prostitusi yang diam-diam disediakan oleh tempat hiburan atau tempat kesehatan yang usaha resminya mendapat ijin dari pemerintah.


Potensi Red Light Economy

Pada masa orde baru, beberapa pemerintah daerah (pemda) membuat atau memberikan tempat khusus untuk melokalisasi praktek prostitusi. Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di Bandung, Sunan Kuning di Semarang, Pasar Kembang di Jogjakarta, Selir di Solo atau Gang Dolly di Surabaya. Sebagai imbalannya, pemda-pemda tersebut memungut pajak daerah demi mengisi kas daerah untuk kepentingan pembangunan. Meskipun telah dilakukan lokalisasi, prostitusi tetap tumbuh subur di luar lokalisasi dengan praktek-praktek terselubung, seperti di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat misalnya. Pada era reformasi karena tuntutan dari masyarakat, beberapa tempat lokalisasi akhirnya harus ditutup, seperti Kramat Tunggak di Jakarta dan Saritem di Bandung.

Di salah satu episodenya, Andy F. Noya lewat acara Kick Andy di Metro TV mengundang Elizabeth Pisani, pengarang buku Kearifan Pelacur. Buku ini oleh Andy F. Noya dianggap layak diangkat di Kick Andy karena mengungkap secara gamblang industri seks di Asia terutama Indonesia. Elizabeth Pisani yang asal Inggris itu berpendapat jika kehidupan seks di Indonesia ini sudah merupakan sebuah industri besar. Sebelum Elizabeth Pisani, pada tahun 1993, Endang Sulistyaningsih dan Yudo Swasono melakukan penelitian industri seks di Indonesia untuk Universitas Mahidol di Bangkok dengan judul The Sex Industry: Prostitution and Development in Indonesia.

Hasil penelitian ini menjadi embrio terbitnya sebuah buku pada tahun 1997 berjudul Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya, ditulis oleh Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones. Buku tersebut mencoba menghitung nilai ekonomis industri seks komersial, yang ternyata jumlahnya tidak main-main. Diperkirakan terdapat 140.000 - 230.000 pelacur dari berbagai segmen dengan penghasilan per tahun berkisar antara 1,18 milyar dollar Amerika (dengan kurs valuta asing pada tahun 1997 menjadi sekitar Rp 2,95 trilyun) sampai 3,3 milyar dollar Amerika (dengan kurs valas pada tahun 1997 menjadi sekitar Rp 8,25 trilyun). Perkiraan ini belum termasuk perhitungan pendapatan dari aktivitas pelacuran laki-laki dan waria. (Hull, Sulistyaningsih, Jones: 1997). Apabila kita menghitung menggunakan kurs dollar Amerika saat ini yang sudah menembus Rp. 11.000,-, maka omzet dari bisnis seks berdasarkan hasil penelitian Sulistyaningsih, Hull dan Jones, saat ini minimal bisa mencapai Rp. 12 trilyun!


Deskripsi Masalah

Berdasarkan UU PPh 2008 (perubahan keempat atas UU Nomer 7 Tahun 1983), definisi penghasilan yang menjadi obyek PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan Subyek Pajak Dalam Negeri salah satunya adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Berdasarkan definisi tersebut diatas maka pengenaan pajak tidak memandang apakah penghasilan tersebut berasal dari sumber atau perbuatan yang halal/legal atau haram/ilegal.

Dalam perubahan keempat atas UU Nomer 7 Tahun 1983 tentang PPh, mengenai objek pajak diantaranya diatur penekanan terhadap penghasilan dari usaha syariah untuk mengatur pesatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia. Sedangkan untuk pengecualian objek pajak diantaranya diatur zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia. Perubahan keempat UU PPh tidak mengatur pengecualian objek pajak bagi penghasilan yang bersumber dari perbuatan yang haram atau ilegal. Apabila mengacu pada ketentuan UU PPh 2008, maka omzet dari bisnis seks sebesar Rp 12 trilyun bisa menghasilkan potensi pajak minimal sebesar Rp 600 milyar dengan asumsi penghitungan menggunakan tarif tunggal 5%. Tetapi dengan telah ditetapkannya UU Pornografi dan karakter masyarakat Indonesia yang agamis dan ketimuran, belum diketahui apakah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menghitung potensi pajak dari red light economy dan apabila menghitung apakah mereka menggali potensi pajak tersebut dan terealisasi dalam penerimaan pajak penghasilan selama ini.

Sedangkan di Australia sebagai pembanding, undang-undang perpajakan di negara tersebut yaitu The Income Tax Assessment Act 1936 tidak membedakan penghasilan yang berasal dari kegiatan ilegal dan legal. Selama jumlah pendapatan yang diterima masuk dalam kriteria penghasilan yang dikenakan pajak, maka pendapatan tersebut wajib dikenakan pajak melalui sistem PAYE (Pay As You Earn). Sebagai implementasi dari sikap ini, Australian Taxation Office (ATO) membentuk Special Audit Teams untuk melaksanakan Special Audit Program. Program audit ini khusus dibuat untuk mengaudit kegiatan yang dianggap sebagai black economy seperti perdagangan narkoba dan kegiatan prostitusi (Gallagher: 2003).

Penelitian terakhir yang menggambarkan potensi perputaran uang di dunia prostitusi Indonesia secara keseluruhan dilakukan oleh Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones pada tahun 1997. Sehingga untuk mengetahui berapa sebenarnya potensi pajak saat ini dari red light economy, yang menjadi pertimbangan kebijakan DJP, harus memerlukan penelitian lebih lanjut. Atas dasar hal tersebut, penulis hanya akan memberikan kerangka kebijakan publik yang dapat diambil DJP menyikapi fenomena red light economy.


Kerangka Kebijakan Publik

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi masalah publik. Sehingga seandainya DJP sebenarnya mengetahui keberadaan red light economy tetapi tidak membuat kebijakan terhadap hal tersebut, berarti DJP sudah mengambil sebuah kebijakan. Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Seandainya DJP membuat keputusan untuk tidak membuat program baru atau petunjuk pelaksanaan terhadap red light economy atau tetap pada status quo adalah sebuah kebijakan publik.

James E. Anderson (1979) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah, termasuk DJP. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah. Kebijakan publik dapat dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang politik, ekonomi, industri dan sebagainya.

Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai didalamnya (Dye: 1981). Harrold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek sosial yang ada dalam masyarakat (Dye: 1981). Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktek-praktek sosial yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktek-praktek yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Menurut David Easton sebagaimana dikutip Dye (1981), kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari input, konversi dan output. Dalam konteks ini lingkungan domestik menjadi variabel makro yang mempengaruhi kebijakan publik. Lingkungan domestik dapat memberikan input yang berupa dukungan dan tuntutan terhadap sebuah sistem politik. Kemudian para aktor dalam sistem politik akan memproses atau mengonversi input tersebut menjadi output yang berwujud peraturan dan kebijakan. Peraturan dan kebijakan tersebut akan diterima oleh masyarakat, selanjutnya masyarakat akan memberikan umpan balik dalam bentuk input baru kepada sistem politik tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan insetif, maka masyarakat akan mendukungnya, misalnya kenaikan tarif pajak, maka masyarakat akan melakukan tuntutan baru, berupa tuntutan penurunan pajak.


Memberi Kerangka Kebijakan DJP

Dalam memilih alternatif kebijakan publik ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan. Bardach sebagaimana dikutip oleh Patton dan Sawicki (1987) memberikan beberapa kriteria yaitu kelayakan teknis (technical feasibility), kelayakan politik (political viability) dan kemungkinan ekonomi dan finansial (economic and financial possibility). Kelayakan teknis mencakup efektifitas (efectiveness) dan kecukupan (adequacy). Efektifitas menyangkut apakah alternatif yang dipilih dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan kecukupan menyangkut seberapa jauh alternatif yang dipilih mampu memecahkan persoalan.

Kriteria political viability mencakup acceptability, appropriateness, responsiveness, legal dan equity. Tingkat penerimaan adalah apakah alternatif kebijakan yang bersangkutan dapat diterima oleh para aktor politik (pembuat keputusan) dan masyarakat (penerima kebijakan). Kepantasan mempersoalkan apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Daya tanggap menanyakan apakah kebijakan yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan legal adalah apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Sedangkan aspek keadilan menanyakan apakah kebijakan tersebut dapat mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.

Kriteria economic and financial possibility menyangkut economic effectiveness, profitability dan cost effeciency. Efektifitas ekonomi mempersoalkan apakah dengan menggunakan resources yang ada dapat diperoleh manfaat yang optimal. Keuntungan mempersoalkan perbandingan antara input dengan ouput kebijakan. Sedangkan efisiensi biaya mempersoalkan apakah tujuan dapat dicapai dengan dengan biaya yang minimal.

Dengan demikian pada tahap awal harus diketahui apa sebenarnya tujuan yang diharapkan dari kebijakan yang akan dilakukan DJP terhadap red light economy. Persoalan apa yang ingin dipecahkan oleh DJP. Fungsi pajak sebagai budgeter, maka diharapkan kebijakan ini akan memasukkan uang ke kas negara. Peran DJP murni sebagai revenue collection, maka kebijakan ini semata-mata hanya bertujuan untuk mengumpulkan penerimaan pajak dari kegiatan prostitusi dan bukan bermaksud untuk menyelidiki, menginvestigasi ataupun menindak aspek ilegalitas dari kegiatan prostitusi. DJP hanya berusaha untuk memenuhi dan melebihi target penerimaan pajak yang dibebankan kepada mereka. Pajak juga mempunyai fungsi regulator atau mengatur sehingga DJP dapat memberikan tarif pajak dan sanksi pidana lebih tinggi pada red light economy untuk menekan perkembangan kegiatan prostitusi. Sejarah membuktikan Al Capone ditangkap bukan karena tindak kejahatannya tetapi justru dikarenakan masalah tax evasion. Alternatif kebijakan yang akan dilakukan DJP harus mampu mencapai tujuan yang diinginkan dan bisa memecahkan persoalan yang dihadapi.

Yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah apakah kebijakan terhadap red light economy ini dapat diterima oleh para pimpinan DJP dan masyarakat penerima kebijakan baik itu pelaku kegiatan prostitusi maupun masyarakat pada umumnya. Mampukah para pimpinan DJP menerima beban moral hazard dalam kebijakan ini. Apakah kebijakan pajak terhadap dunia prostitusi ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur dan relijius. Penerimaan pajak digunakan pemerintah untuk membiayai pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat. Bagaimana reaksi masyarakat jika mengetahui uang yang digunakan untuk membangun jalan misalnya, ternyata berasal dari uang haram. Jika dikaitkan dengan kebutuhan, harus dipertimbangkan apakah masyarakat memang membutuhkan adanya kebijakan ini dan seandainya dilaksanakan kebijakan DJP terhadap red light economy tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Apakah kebijakan DJP untuk mengumpulkan penerimaan pajak dari kegiatan prostitusi berarti pemerintah telah melegalkan kegiatan prostitusi di Indonesia. Kebijakan ini juga mengejar para pelaku dunia prostitusi yang sebelumnya tidak pernah membayar pajak. Apakah ini berarti kebijakan terhadap red light economy mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.

Apabila kebijakan DJP terhadap red light economy harus dilaksanakan, harus dipertimbangkan kuantitas dan kualitas sumber daya yang ada. Teknik audit terhadap kegiatan prostitusi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan membutuhkan bantuan unit intelijen dan lembaga lainnya. Menurut Gallagher (2003) hal tersebut menjadi pertimbangan ATO (kantor pajak Australia) membentuk Special Audit Teams khusus untuk kegiatan yang masuk kategori black economy seperti kegiatan prostitusi dan perdagangan narkoba. Dengan struktur organisasi yang ada saat ini, DJP mengkaji apakah pelaksanaan kebijakan tersebut akan memperoleh manfaat optimal dan tujuan kebijakan dapat dicapai dengan biaya yang minimal. Bagaimana dengan perbandingan input dan output kebijakan? Input apa saja yang masuk dan mendasari kebijakan DJP dan apakah output kebijakan melebihi input yang masuk. Input bisa berasal dari dalam organisasi DJP atau dari pihak luar seperti DPR, media massa, masyarakat termasuk pengamat dan praktisi perpajakan.


Kesimpulan

Undang-undang perpajakan Indonesia tidak memandang taxable income dari hasil usaha dan sumber yang halal atau haram. Sepanjang merupakan penghasilan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi yang menerimanya, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan yang bersangkutan, maka penghasilan tersebut wajib dipungut pajak. Dengan demikian pelaku kegiatan prostitusi dan perputaran uang dalam merupakan subyek dan objek pajak.

Meskipun demikian sejauh ini belum diketahui kejelasan sikap DJP terhadap red light economy termasuk apakah mereka telah menghitung potensi pajak dari kegiatan prostitusi. Sedangkan institusi pajak dari beberapa negara termasuk Australia telah mengeluarkan kebijakan tegas terhadap penghasilan dari kegiatan ilegal termasuk prostitusi sebagai taxable income. Status quo kebijakan DJP terhadap red light economy adalah tidak mengeluarkan kebijakan khusus terhadap kegiatan prostitusi sebagaimana dilakukan beberapa negara lain.

Beberapa kriteria harus dipertimbangkan DJP sebelum mengeluarkan kebijakan terhadap red light economy yaitu kelayakan teknis, kelayakan politik dan kemungkinan ekonomi dan finansial. Apabila potensi pajak dari kegiatan prostitusi ternyata tidak signifikan dan kuatnya pengaruh nilai-nilai dan praktek-praktek yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagai bagian dari sebuah sistem politik, maka besar kemungkinan status quo adalah kebijakan publik yang dipilih oleh DJP.


Bay of Pigs: Policy Analysis


PERMASALAHAN
Tanggal 15 April 1961, dalam sejarah dikenal sebuah peristiwa pendaratan dan penyerbuan di Pantai Playa Giron, Kuba oleh pasukan Brigade 2506 untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro. Brigade 2506 merupakan pasukan yang terdiri dari orang-orang Kuba di pengasingan yang dilatih, didanai dan didukung oleh Amerika Serikat (AS). Invasi Teluk Babi berlangsung dari tanggal 15 – 19 April 1961 yang berakhir dengan kemenangan berada di pihak Fidel Castro. Peristiwa ini lebih dikenal dengan sebutan Bay of Pigs Invasion atau Invasi Teluk Babi, karena Pantai Play Giron berada di wilayah Teluk Babi, Kuba Selatan.
Apa yang melatarbelakangi keterlibatan AS dalam Invasi Teluk Babi? Berbagai literatur sering menyebut Invasi Teluk Babi sebagai bagian dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet (US). Tetapi saya berpendapat lain. Kedekatan US dengan Kuba sebelum dan selama Invasi Teluk Babi justru terjadi karena ekses atau dampak dari sepak terjang imperialisme ekonomi AS di Amerika Latin.
Di Guatemala, pada tahun 1950an, Jacobo Arbenz Guzman muncul sebagai presiden dengan program yang menggemakan cita-cita Revolusi Amerika. Menurut Arbenz, warga Guatemala harus mendapatkan keuntungan dari sumber daya yang diberikan alam mereka. Korporasi asing tidak lagi boleh mengeksploitasi negara dan rakyatnya. Saat itu, kurang dari 3 persen orang Guatemala memiliki 70 persen lahan. Arbenz kemudian menerapkan program reformasi pertanahan menyeluruh yang secara langsung mengancam praktek-praktek United Fruit Company di Guatemala, sebuah perusahaan multinasional perkebunan buah-buahan berbasis di Boston, AS milik George Bush, Sr yang menguasai kawasan Amerika Tengah sejak awal tahun 1900-an. United Fruit kemudian melancarkan kampanye humas besar-besaran di AS. Mereka meyakinkan publik dan Kongres AS bahwa Arbenz telah mengubah Guatemala menjadi satelit Soviet dan program reformasi pertanahannya adalah rencana Soviet untuk menghancurkan kapitalisme di Amerika Latin. Pada tahun 1954, CIA menyusun rencana kudeta dan berhasil menggulingkan Arbenz untuk kemudian diganti dengan seorang diktator militer sayap kanan, Kolonel Carlos Castillo Armas.
Cerita yang sama terulang di Kuba pada tahun 1960-an sejak naiknya Fidel Castro menjadi pemimpin Kuba. Gerakan 26 Juli yang diusung Fidel Castro, Che Guevara dan kaum barbudos berhasil memaksa Jenderal Fulgencio Batista, sebuah rezim diktator militer sayap kanan yang didukung Amerika Serikat, melarikan diri pada tanggal 1 Januari 1959. Kebijakan ekonomi-sosialis yang diusung Fidel Castro menegangkan hubungan AS-Kuba. Pertemuan Wakil Presiden (Wapres) Richard Nixon (Presiden Dwight D. Eisenhower lebih memilih bermain golf daripada menemui pemimpin baru Kuba) dan Fidel Castro di Washington pada tanggal 19 April 1959 menjadi penentu awal sikap AS terhadap Kuba selanjutnya.
Kebijakan ekonomi-sosialis Fidel Castro dimulai dengan menuntut Amerika untuk mengembalikan wilayah Teluk Guantanamo dan menolak uang sewa sebesar 4.000 dollar per tahun dari AS. Fidel Castro selanjutnya melakukan nasionalisasi aset-aset Washington di wilayahnya. Lebih dari 100 perusahaan berbendera AS disita Kuba. Seperti Arbenz, Castro juga melakukan reformasi agraria pada tahun 1960 dengan mencanangkan Tahun Pembaharuan Agraria yang mengancam keberadaan United Fruit Company di Kuba.
AS merespon kebijakan Castro dengan melakukan boikot perdagangan, menghentikan bantuan finansial dan secara diam-diam melakukan sabotase dan pengeboman di beberapa perkebunan di wilayah Kuba. Boikot ekonomi dan ancaman sabotase dari AS, dimanfaatkan oleh Soviet dengan memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Kuba. Tekanan politik, ekonomi dan militer dari AS serta pemutusan hubungan diplomatik dari negara-negara di Amerika Latin, membuat Fidel Castro mencari sekutu dalam blok Soviet. Perdana Menteri US Nikita Khruschev bahkan menawarkan bantuan rudal kepada Fidel Castro untuk membendung ancaman invasi AS.
Meskipun merapat ke blok Soviet, Fidel Castro sejak mengambil alih kekuasaan, telah menyangkal bahwa mereka orang kiri atau komunis. Castro menyebut aksi mereka sebagai Revolusi Hijau Buah Zaitun dengan merujuk ke rona seragam para gerilyawan, bukan Revolusi Merah yang selalu dikaitkan dengan komunis. Dia malah mengutuk komunisme dengan konsep-konsepnya yang totalitarian. Revolusi Hijau Buah Zaitun kemudian berjalan dengan melakukan reformasi liberal-demokratik, diantaranya dengan menasionalisasi industri yang dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Dalam Deklarasi Havana yang dia nyatakan pada tanggal 2 September 1960, Fidel Castro menegaskan posisi Kuba sebagai negara revolusioner yang anti kapitalisme dan imperialisme.

PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN
Saat mencanangkan perang menghadapi teroris, George W. Bush dikenal dengan slogannya ”You’re either with us or with them”. Intinya jika negara tersebut tidak bekerjasama dengan AS, maka negara tersebut merupakan negara teroris. Hal yang sama juga terjadi di era Perang Dingin. Jika negara tersebut tidak mau bekerjasama dengan AS, maka negara tersebut merupakan negara komunis, ekstrim kiri dan sangat anti-Amerika, sehingga pemimpinnya harus digulingkan.
John Perkins yang dikenal dengan bukunya Confessions of Economic Hit Man dalam bukunya The Secret History of The American Empire, dengan jelas menceritakan peristiwa tergulingnya beberapa pemimpin Amerika Latin di Guatemala, Bolivia, Chili, Panama dan Ekuador karena berani mengusik keberadaan perusahaan multinasional Amerika. Badan intelijen Amerika, CIA, diindikasikan terlibat dalam berbagai peristiwa penggulingan tersebut.
Rencana untuk menggulingkan Fidel Castro, secara resmi disetujui pada tanggal 17 Maret 1960. Setelah bertemu dengan para petinggi keamanan nasional, Presiden Eisenhower menyetujui kebijakan CIA yang termuat dalam sebuah paper berjudul “Sebuah Program Aksi Tertutup Melawan Rezim Castro”. Rencana CIA melibatkan empat aksi utama pada fase pertama: (1) membentuk sebuah kelompok oposisi moderat di pengasingan dengan slogannya berupa perbaikan revolusi yang telah dikhianati Castro; (2) menciptakan sebuah stasiun radio medium yang siarannya dapat ditangkap di Kuba, mungkin di Swan Island, di selatan Kuba; (3) menciptakan sebuah intelejensi rahasia dan organisasi aksi di dalam Kuba yang responsif terhadap perintah dan arahan oposisi pengasingan; dan (4) memulai pelatihan pasukan paramiliter di luar Kuba. Dalam fase kedua, melatih para kader paramiliter untuk penyebaran di dalam Kuba agar mereka dapat mengorganisasikan dan memimpin pasukan perlawanan yang direkrut disana.
Secara bertahap CIA melaksanakan rencana ini termasuk melatih pasukan Brigade 2506 di Guatemala. Kenapa rencana invasi ke Kuba harus tertutup? Pertama, karena Doktrin Monroe yang mengatur kebijakan AS di Amerika Latin. Poin kedua Doktrin Monroe menyebutkan, AS mengakui dan tidak melibatkan diri dengan daerah jajahan dan apa yang disebut dengan dependensi dibelahan bumi barat (benua Amerika). Sedangkan poin ketiga doktrin tersebut menyebutkan, belahan bumi barat tertutup bagi kolonialisasi baru. AS berusaha menciptakan kesan bersih dan tidak melakukan pelanggaran terhadap Doktrin Monroe. Kedua, AS tidak ingin melakukan perang terbuka dengan US yang secara terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap kepemimpinan Fidel Castro di Kuba. Jika itu terjadi maka akan menyebabkan perang nuklir terbuka yang bisa mengakibatkan kehancuran massal di dunia.
Presiden Eisenhower secara diam-diam terus menekan CIA untuk segera menyelesaikan rencana tersebut diatas. Di lain pihak, pada kampanye pemilihan presiden, John F. Kennedy calon presiden (Capres) dari Partai Demokrat memanfaatkan ketegangan AS dan Kuba untuk menyerang pemerintahan Eisenhower dan Richard Nixon, capres Partai Republik. “Bila kau tidak dapat berhadapan dengan Castro, bagaimana kau bisa diharapkan untuk berhadapan dengan Kruschev?” Dan kemudian, “Kita harus berusaha untuk memperkuat pasukan pengasingan anti-Castro yang menawarkan harapan terakhir untuk menggulingkan Castro”. Nixon sendiri dengan jabatannya sebagai Wapres sebenarnya sangat sadar bahwa aktivitas anti-Castro sedang dilakukan dan direncanakan. Tetapi dengan pura-pura, Nixon menolak sikap Kennedy untuk menjaga kerahasiaan operasi dengan menyatakan kekhawatiran keterlibatan US dan perang saudara di Kuba.
CIA segera mengunjungi Kennedy setelah terpilih menjadi Presiden AS dan memberikan laporan kepadanya tentang rencana untuk menumbangkan Fidel Castro. Setelah pelantikannya menjadi Presiden AS pada bulan Februari 1961, Kennedy memberikan persetujuan pribadi terhadap rencana invasi ke Kuba kepada Direktur CIA. Sejak menduduki jabatannya, Kennedy mempelajari rencana-rencana CIA yang sangat banyak tersebut dan menunjukkan kekhawatiran mengenai kelangsungan rencana-rencana tersebut. Beberapa penasehat sipil terdekatnya juga sangat menentang rencana itu. Tetapi kombinasi antara peringatan dan bujukan-bujukan yang meyakinkan dari orang-orang CIA akhirnya mampu memenangkan hati John F. Kennedy.
Sebelumnya pada bulan Januari 1961, Presiden Eisenhower bertemu dengan Presiden terpilih Kennedy dan menyatakan dukungannya pada operasi rahasia terhadap Kuba dan menyatakan bahwa dukungan terhadap operasi rahasia ini melibatkan AS secara publik. Eisenhower mendesak Kennedy untuk menyelesaikan rencana yang dibuat pada masa kepemimpinannya dengan tidak membiarkan pemerintahan Fidel Castro yang ada di Kuba untuk terus berlanjut. Selanjutnya Kennedy melakukan beberapa rapat dengan stafnya membahas rencana invasi. Setelah rapat justru muncul perbedaan, untuk terus melanjutkan rencana invasi atau batal. Direktur CIA, Kepala Staf Gabungan dan Menteri Pertahanan menyatakan dukungan terhadap rencana invasi dengan memberikan prediksi tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Hal ini mereka sampaikan tegas dalam forum rapat. Sebaliknya Menteri Luar Negeri beserta asistennya justru memiliki pandangan lain karena bagi mereka jika invasi dilakukan, konsekuensi politik akan memburuk baik di AS maupun Amerika Latin. Sayangnya hal ini hanya mereka kemukakan dalam memo tertulis kepada Presiden Kennedy.
CIA terus mengusulkan dan mempresentasikan “Operasi Melawan Kuba” kepada Kennedy yang diantaranya dinamai Rencana Trinidad. Rencana ini dianggap Kennedy terlalu spektakuler dan terlalu mirip Perang Dunia II. Ia lebih memilih pendaratan diam-diam pada malam hari, tanpa ada basis intervensi militer Amerika. CIA kembali merevisi rencananya dan mempresentasikan rencana alternatif untuk operasi Kuba. Presiden Kennedy akhirnya memilih Rencana Zapata yang diajukan CIA dengan beberapa modifikasi agar membuat invasi tampak lebih seperti sebuah operasi gerilya dalam negeri. Agar rencana ini berjalan dengan lancar dan keterlibatan AS tidak diketahui, daerah yang menjadi titik pendaratan pasukan tersebut dipindah ke daerah Bahía de Cochinos (Bay of Pigs) sebuah daerah terpencil yang berada di pantai selatan Kuba. Proses pematangan rencana Invasi Teluk Babi terus berlangsung.
Tetapi meskipun rencana invasi telah berjalan begitu jauh, lagi-lagi muncul keraguan dari Kennedy. Keputusan final tentang invasi sendiri harus dibuat pada bulan April 1961. Dukungan untuk membatalkan rencana Invasi Teluk Babi masih datang dari Departemen Luar Negeri melalui memo tertulis. Di pihak Kuba, diam-diam Fidel Castro telah diperingatkan oleh agen-agen senior KGB Osvaldo Sánchez Cabrera dan "Aragon," tentang rencana invasi Amerika. Sedangkan beberapa media Amerika diantaranya The New York Post sudah mencium rencana invasi Amerika ini. Sebuah artikel Washington Post terbitan tanggal 29 April 2000, "Soviets Knew Date of Cuba Attack" (Soviet mengetahui tanggal penyerangan Kuba), menunjukkan bahwa CIA sebenarnya memiliki informasi yang menunjukkan bahwa US mengetahui invasi yang akan dilakukan dan tidak memberitahukannya kepada Kennedy.
Bulan April 1961 diawali dengan tercapainya sebuah kompromi tentang rencana Invasi Teluk Babi antara Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan CIA dengan didukung oleh Kepala Staf Gabungan. Sebelum memberikan keputusan final atas rencana Invasi Teluk Babi, Presiden John F. Kennedy mengadakan pertemuan dengan selusin penasehat dan stafnya untuk memilih apakah mereka akan terus maju dengan rencana Invasi Teluk Babi. Ia khusus mengundang Senator Fullbright untuk mengemukakan pendapatnya yang dengan keras menentang rencana invasi. Hampir semua yang hadir dalam pertemuan, termasuk seluruh penasehat Kennedy, tetap mendukung rencana invasi setelah mendengar pendapat Senator Fullbright, kecuali Menteri Luar Negeri Dean Rusk yang akhirnya menyatakan ketidaksetujuannya sebagai pribadi secara terbuka. Setelah pertemuan, salah seorang penasehat Kennedy bernama Arthur Schlesinger, yang sejak awal sebenarnya memprotes rencana invasi, memberikan memo tertulis yang menyatakan rencana invasi CIA sangat berbahaya. Hal yang sama dilakukan David M. Shoup, seorang komandan pasukan marinir.
Dalam sebuah pertemuan di Gedung Putih, Presiden Kennedy akhirnya menyetujui rencana Invasi Teluk Kuba setelah bertemu dengan Menteri Pertahanan, Direktur CIA dan Kepala Staf Gabungan. Dalam pertemuan tersebut disepakati aturan sejauh mana keterlibatan militer harus sesuai dengan syarat dari Presiden. Operasi akan dibatalkan bila pasukan AS harus melindungi kapal-kapal Brigade 2506 dari kerusakan atau penangkapan. Aturan keterlibatan ini direvisi untuk menunjukkan pentingnya untuk menghindari partisipasi AS.
Tetapi revisi keterlibatan ini membuat pesimis beberapa pejabat CIA yang paling bertanggung jawab terhadap rencana invasi, karena perubahan tersebut membuat operasi makin tidak punya peluang untuk berhasil dan secara teknis mustahil untuk dimenangkan. Seorang social psychologist dari Universitas Yale, Irving Janis menganalisis proses pengambilan keputusan yang dilakukan Kennedy dan timnya. Janis mencatat keputusan penyerbuan ke Kuba tersebut dilakukan oleh tim Kennedy secara mufakat tanpa perdebatan berarti. Hampir semua anggota tim setuju dengan keputusan tersebut, kecuali satu dua suara minor yang tidak berani membuka suaranya secara lantang atau bahkan diabaikan begitu saja. Para penasehat Kennedy sendiri, bila diamati lebih lanjut, memiliki latar belakang yang sama dengan sang presiden: kaya raya, kulit putih dari keluarga terpandang, dan dididik di universitas-universitas Ivy League. Setidaknya waktu itu ada dua suara yang menentang, yaitu Arthur Schlesinger, salah seorang penasehat JFK dan David M. Shoup, komandan pasukan marinir. Schlesinger diminta untuk menyetujui saran presiden oleh para koleganya, sementara Shoup yang bukan termasuk dalam barisan elit politik di Gedung Putih, diabaikan nasehatnya.
Presentasi terakhir Operasi Zapata, nama sandi untuk Invasi Teluk Babi, digelar pada tanggal 11 April 1961 oleh Direktur CIA dengan dihadiri Presiden, Menteri Luar Negeri, Kepala Staf Gabungan dan pejabat NSC yang lain. Dalam sebuah konferensi pers di Departemen Luar Negeri, Kennedy menolak dengan alasan apa pun, intervensi ke Kuba oleh angkatan bersenjata AS, untuk menutupi segera dilakukannya rencana invasi. Tanggal 15 April 1961, rencana Invasi Teluk Babi akhirnya dilaksanakan CIA melalui tangan Brigade 2506.

SIAPA AKTORNYA
Dari uraian Proses Pembuatan Keputusan Kebijakan, dapat diketahui siapa saja aktor dalam proses pembuatan keputusan Invasi Teluk Babi. Mereka adalah Presiden Kennedy dan para penasehatnya, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Direktur CIA, Kepala Staf Gabungan, dan pejabat NSC lainnya.

APA KRITERIA YANG DIPAKAI
Proses pembuatan keputusan kebijakan mengenai rencana Invasi Teluk Babi adalah salah satu contoh dari fenomena yang disebut sebagai groupthink dalam diri para penasehat Presiden John F. Kennedy. Sekelompok orang, untuk menjaga eksistensinya dalam kelompok, tidak berani menentang keputusan yang dianggap sebagai keputusan mayoritas. Semua orang saling menduga bahwa keputusan tersebut disetujui rekan-rekannya sehingga mereka memutuskan mengambil keputusan yang sama tanpa berpikir secara kritis.
Fenomena ini sangat sering terjadi di lingkungan yang paternalistik dan memandang tinggi status. Mereka yang tidak setuju biasanya akan mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan keputusan yang dibuat setelah keputusan tersebut diambil. Dalam kasus pembuatan keputusan kebijakan Invasi Teluk Babi, pihak-pihak yang menentang invasi tidak melakukan debat terbuka dengan pihak-pihak pro-invasi saat pertemuan dilakukan bersama presiden. Ketidaksetujuan baru mereka sampaikan setelah pertemuan menggunakan memo tertulis. Groupthink adalah salah satu fenomena penting proses pengambilan keputusan dalam suatu kelompok. Kadang, untuk menyenangkan pemimpin, suara-suara yang tidak setuju hanya tersimpan rapat-rapat.
Para pemimpin seharusnya mampu mengeluarkan suara-suara tersebut untuk menjamin keputusan yang lebih baik. Beberapa teknik seperti devil’s advocate di mana setidaknya satu orang ditunjuk secara khusus untuk mengeluarkan kritik terhadap suara mayoritas, bisa diterapkan. Atau pemimpin bisa mengajak satu per satu anggotanya untuk mengeluarkan pendapatnya dalam suasana yang lebih santai. Tentu saja, untuk bisa melakukan itu, sang pemimpin harus mampu membangun reputasi sebagai seorang yang open-minded dan demokratis. Tanpa itu, dipastikan tidak ada pengikut yang bersedia membuka mulutnya meski diminta secara langsung.
Dalam proses pembuatan kebijakan untuk melakukan invasi, Presiden John F. Kennedy justru tidak mampu merangsang pihak-pihak penentang invasi dalam lingkungan internalnya untuk menyampaikan pendapatnya dalam forum pertemuan. Moto musyawarah mufakat sering dipakai sebagai tameng untuk meloloskan kepentingan pemegang kekuasaan. Padahal, perdebatan sehat selama proses musyawarah justru merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan keputusan yang lebih baik. Barulah setelah melalui proses musyawarah, di mana semua pendapat-pendapat bisa dikeluarkan, dicapai kata mufakat yang harus didukung oleh semua pihak termasuk yang tidak setuju. Secara psikologis, walau keputusan akhir tidak sesuai dengan keinginan kita, selama suara kita didengarkan dengan serius, kita lebih bersedia mendukungnya.
Proses perdebatan sehat tidak terjadi dalam pertemuan membahas rencana Invasi Teluk Babi karena pihak-pihak yang memegang peranan penting dalam keputusan kebijakan justru bersuara seragam.

IMPLEMENTASI KEPUTUSAN
Rencana invasi terhadap Kuba didahului dengan adanya dua serangan dari udara terhadap pangkalan udara Kuba. Serangan kemudian dilanjutkan dengan invasi sekitar 1.500 orang yang mendarat di Teluk Babi dan menyerang secara tiba-tiba dalam kegelapan. Brigade 2506 yang telah dilatih oleh CIA, akan memegang peranan dalam mensabotase transportasi dan juga menahan serangan dari pasukan Kuba. Setelah itu, secara tiba-tiba dan serempak akan ada sejumlah pasukan yang mendarat di pantai timur wilayah Kuba untuk mengalihkan perhatian tentara Kuba.
Setelah mengalihkan perhatian pasukan Kuba, pasukan utama Brigade 2506 akan bergerak menuju daerah Matanzas. Para pimpinan orang-orang Kuba pengasingan ini selanjutnya akan menangkap Fidel Castro dan membentuk pemerintahan sementara. Keberhasilan dari rencana ini tergantung dari asumsi bahwa rakyat Kuba akan mendukung serangan ini karena ingin dibebaskan dari rezim Castro. Hal yang ingin dicapai dalam Invasi Teluk Kuba ini adalah menggulingkan kepemimpinan Fidel Castro di Kuba sekaligus melaksanakan keputusan kebijakan pemerintah Kennedy untuk menyingkirkan para pelarian Kuba yang dianggap menyebabkan masalah sosial di AS.

HASIL DAN DAMPAK
Invasi Teluk Babi berakhir dengan kegagalan-kegagalan. Kegagalan pertama terjadi pada tanggal 15 April 1961, saat pesawat pengebom gagal mengebom dan menembaki landasan-landasan udara Kuba di San Antonio de Los Banos, Bandara Internasional Antonio Maceo dan landasan udara di Ciudad Libertad. Hal ini disebabkan Fidel Castro telah mengetahui rencana invasi ini dan segera menyingkirkan pesawat-pesawatnya sehingga tidak bisa dihancurkan. Pesawat pengebom hanya mendapatkan bandara yang kosong.
Kegagalan kedua terjadi saat sekitar 1.500 orang Kuba pengasingan yang telah dipersenjatai mendarat di Teluk Babi. Para imigran Kuba di AS tersebut langsung dihujani oleh tembakan-tembakan peluru. Akibatnya persenjataan mereka menjadi sangat minimum karena persediaan persejataan telah dihancurkan. Selain itu, Fidel Castro telah mengantisipasi serangan ini dengan menangkap sejumlah besar masyarakat Kuba yang anti Castro.
Perdana Menteri US Nikita Khruschev langsung menyerukan “penghentian agresi terhadap Republik Kuba” dan mengingatkan deklarasi pemerintahan Soviet yang memiliki hak-bila intervensi terhadap Kuba tidak segera dihentikan-untuk mengambil tindakan, bersama dengan negara-negara yang lain untuk membantu Republik Kuba.
Kegagalan Invasi Teluk Babi ini selain karena lemahnya proses pembuatan keputusan kebijakan Presiden John F. Kennedy sebagaimana telah diuraikan diatas, juga disebabkan manipulasi analisis tingkat keberhasilan Invasi Teluk Babi oleh CIA. Aturan keterlibatan dan partisipasi militer AS yang terus direvisi oleh Presiden Kennedy selama proses perencanaan invasi sebenarnya telah memunculkan keraguan dari orang-orang dalam CIA maupun pimpinan militer AS mengenai keberhasilan invasi. Tapi hal ini tidak disampaikan ke Kennedy. Informasi mengenai antusiasme besar rakyat Kuba terhadap Fidel Castro juga tidak disampaikan ke Presiden. Analisis mengenai dukungan rakyat Kuba terhadap invasi hanya diambil dari para pengungsi dan pembelot yang sudah pasti membenci Fidel Castro.
Invasi Teluk Babi akhirnya justru meningkatkan pamor Fidel Castro. Menambahkan sentimen nasionalistik terhadap dukungan bagi kebijakan ekonomi sosialisnya. Castro yang sebelum invasi itu terjadi, terancam merosot popularitasnya karena gagal memecahkan persoalan ekonomi. Kuba kini justru menjadi sosok pahlawan penyelamat bangsa. Fidel Castro, Che Guevara dan kaum barbudos-nya tidak hanya menjadi simbol perlawanan rakyat Kuba yang miskin, tetapi bagi seluruh Amerika Latin. Dianggap sebagai perwujudan David dari Karibia menghadapi raksasa Goliath dari Amerika Utara.
Sebaliknya. Invasi Teluk Babi justru menorehkan sejarah hitam dalam pemerintahan Kennedy. AS menuai banyak kritik dan kecaman dari dalam negeri atas kegagalan tersebut. Para sekutu Amerika marah. Soviet dan sekutunya mengancam. PBB mempertanyakan kebijakan Amerika. Meskipun Kennedy menyangkal peran mereka dalam Invasi Teluk Babi tetapi keterlibatan Amerika tidak lagi dapat ditutupi. Beberapa tokoh penting CIA yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap gagalnya perencanaan operasional, dipaksa mengundurkan diri.