October 08, 2008

Teori Krisis Finansial Amerika

Meskipun boleh dikatakan semua orang sudah pernah mendengar tentang krisis Subprime Mortgage, kebanyakan orang hanya tahu bahwa “Amerika sedang krisis properti subprime” tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ditanyakan apakah mereka tahu “jalan cerita” sebenarnya dari krisis Subprime ini, kemungkinan banyak yang hanya bisa menggelengkan kepala.

Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Amerika, kita harus kembali ke tahun 2001. Pada saat itu, the Fed (Bank Sentral Amerika ) menurunkan suku bunga secara drastis, hingga ke 1%. Alasan utama dari the Fed untuk menurunkan suku bunga ini adalah untuk menggenjot kondisi perekonomian Amerika yg waktu itu dalam keadaaan resesi (pertumbuhan ekonominya minus). Dalam ekonomi, penurunan suku bunga, pada umumnya akan membantu pertumbuhan ekonomi. Mengapa begitu? Ini karena:

Minat menabung turun

Karena bunga tabungan turun, akibatnya minat orang untuk menabung menjadi rendah. Mereka akan berpikir “ah, menabung juga bunganya kecil, lebih baik uangnya saya pakai untuk yang lain (investasi atau juga konsumsi)“. Mengalirnya uang dari tabungan masyarakat ke investasi dan juga konsumsi akan mendorong belanja masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Minat untuk mengambil pinjaman/kredit bertambah

Turunnya suku bunga kredit/pinjaman membuat perusahaan maupun individu lebih banyak mengambil pinjaman/kredit dari bank. Perusahaan perusahaan akan bisa mengambil pinjaman dari bank untuk ekspansi usaha mereka, karena bunga pinjaman rendah sehingga tidak membebani operasi perusahaan. Orang-orang juga akan lebih berani mengambil dan memakai kredit konsumsi, spt misalnya kredit kendaraan bermotor dan bunga kartu kredit. Belanja masyarakat (dengan kredit konsumsi ini) ditambah dengan ekspansi oleh perusahaan akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kedua dampak yang disebutkan di atas terjadi juga dalam ekonomi Amerika. Tingkat suku bunga yang amat rendah saat itu (1% dan merupakan tingkat terendah sepanjang sejarah Amerika), menyebabkan tingkat bunga untuk Mortgage (kalau kita di Indonesia menyebutnya KPR), menjadi sangat rendah juga. Orang-orang menjadi tertarik untuk membeli rumah dengan KPR, baik untuk dipakai sendiri ataupun untuk investasi. Apalagi Mark Twain pernah bilang, "Buy land, they’re not making it anymore" atau dengan kata lain "beli properti itu tidak bakalan rugi" karena harga yang dipastikan terus naik dari tahun ke tahun.

Perusahaan pengembang properti pun bisa mendapatkan akses pinjaman murah dari bank untuk mengembangkan usahanya. Hal ini mempermudah mereka untuk berekspansi. Perlu kita ingat, dalam sektor properti, pembuatan produknya memerlukan waktu yang cukup lama, karena konstruksi memerlukan waktu yang relatif panjang. Akibatnya, minat masyarakat amerika untuk membeli rumah yang begitu tinggi (karena bunga KPR yang rendah), tidak bisa diserap sepenuhnya oleh perusahaan pengembang properti, sehingga harga properti naik. Kenaikan harga properti semakin meningkatkan minat masyarakat amerika untuk membeli properti, yang kemudian semakin meningkatkan harganya. Siklus ini pun berulang-ulang sehingga mendongkrak harga properti secara drastis.

Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Amerika adalah salah satu yang paling konsumtif di dunia ini. Sebagai contoh, tingkat tabungan mereka pada tahun 2005 adalah MINUS 0,5% dari pendapatan mereka. Artinya, konsumsi mereka malahan lebih besar daripada pendapatan mereka. Kenaikan harga properti yang terjadi pada masa ini lalu dimanfaatkan oleh masyarakat Amerika sebagai tambahan “income”. Bagaimana caranya?

Mereka melakukan sesuatu yang disebut “re-financing”. Dengan re-financing, meskipun sebenarnya rumah itu belum mereka jual (krn mereka berharap harganya masih akan terus naik), tetapi kenaikan harga ini sudah mereka “nikmati”, dengan cara mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yg sama. Uang ini mereka pakai, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi kembali di properti yang lain karena tergiur kenaikan harga properti yang drastis. Ujung-ujungnya ini membuat harga properti semakin ‘menggila’

Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang akan ikut memberikan “sumbangan” terhadap krisis Subprime Mortgage. Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Bagi institusi keuangan, mengucurkan KPR memang sangat menarik, karena jangka waktu pinjaman yang relatif panjang (bisa mendapat bunga untuk periode yang lebih lama), serta adanya jaminan berupa rumah. Tetapi seiring waktu, dalam prakteknya mulai timbul beberapa ekses buruk.

Dalam rangka menjaring customer yang lebih banyak dan keuntungan yang lebih tinggi, mereka mulai menerima prospek yang sebenarnya secara finansial kurang mampu, dan tidak layak untuk mengambil KPR (misalnya penghasilan kecil dan tidak tetap). Tetapi institusi keuangan pada saat itu tidak berkeberatan, karena mereka tetap mempunyai jaminan rumah, dan berasumsi pasar properti akan naik terus.

Perkembangan kedua yang terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yang disebut ARM (Adjustable Rate Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan mengembangkan ARM, yang pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya dalam 2-3 tahun pertama sangat murah, tetapi pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa.

Banyak konsumen sektor properti yang lalu tertarik untuk mengambil KPR jenis ARM ini karena tergiur bunga awal yang sangat rendah. Pertimbangan tambahan mereka adalah, sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi, dan properti itu sudah akan mereka jual ataupun mereka bisa melakukan “refinancing” lagi dengan mengandalkan kenaikan harga itu.

Perkembangan ketiga yang terjadi adalah adalah maraknya pasar CDO. Karena pasar KPR yg begitu aktif dan berkembang, institusi keuangan pun agak “kewalahan” untuk mengumpulkan dana yang bisa dipakai untuk memberikan KPR. Apa jalan keluarnya? Mereka pun mengembangkan produk yg namanya CDO (Collateralized Debt Obligation). Apa sih CDO ini? Secara sederhana, CDO adalah obligasi. Dasar dari penerbitan obligasi CDO ini adalah KPR yang telah dikucurkan oleh bank ataupun institusi keuangan lainnya. Bunga yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO adalah bunga yang mereka dapat dari kredit KPR yang telah mereka kucurkan.

Dana yang didapat oleh institusi keuangan dari hasil penjualan obligasi CDO ini, lalu mereka kucurkan lagi utk memberikan KPR, yang lalu mereka pakai untuk menerbitkan obligasi CDO lagi. Siklus ini kemudian juga terjadi berulang-ulang. Sampai titik ini, kita telah melihat latar belakang dari berbagai kejadian yang kemudian akan menimbulkan krisis di saat ini.

Tingkat inflasi yang tinggi merupakan momok bagi setiap negara sehingga setiap negara pasti berusaha untuk mengendalikan inflasinya. Pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara umum akan menimbulkan inflasi yang tinggi pula. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tingkat inflasi, tentunya suku bunga harus dinaikkan. Dalam kaitannya dengan mengontrol tingkat inflasi inilah, sekitar tahun 2004, pemerintah Amerika (dalam hal ini The Fed) pelan pelan mulai menaikkan tingkat suku bunga.

Seiring dengan dinaikkannya tingkat suku bunga oleh The Fed, perlahan-lahan tingkat suku bunga Mortgage/KPR mulai naik juga. Cicilan yang harus dibayar oleh para pengambil KPR pun mulai bergerak naik. Para pemilik rumah yang masih terikat KPR-nya mulai ‘kelimpungan’.

Bank-bank sebelumya telah mengejar customer dengan tidak selektif dan memberikan KPR kepada orang-orang yg sebenarnya secara finansial tidak layak untuk mengambil KPR. KPR yang dikucurkan kepada customer semacam inilah yang dikenal sebagai Subprime Mortgage (KPR Subprime). Kualitas dari kredit KPR yang diberikan kepada customer semacam ini sangat meragukan dan beresiko, karena kemampuan pengambil KPR itu untuk membayar cicilannya sangat lemah. Meskipun demikian, bank-bank mau mengambil resiko dan mengucurkan kredit kepada segmen market ini karena tingkat bunga yang bisa mereka kenakan lebih tinggi (untungnya lebih besar).

Dalam kondisi suku bunga KPR yang mulai naik, maka yang pertama tama ‘tumbang’ tentu saja adalah golongan ini. Orang-orang yang secara finansial tidak mampu mengambil KPR, begitu timbul “guncangan” pastinya langsung sulit/mustahil untuk membayar cicilan KPRnya. Lalu berikutnya apa yang terjadi? Rumah mereka kena sita dan dilelang ke pasar properti.

Di lain sisi, para pengembang properti yang terbuai oleh pertumbuhan pasar properti sudah terlanjur membangun properti dalam jumlah yang besar. Tingkat suku bunga yang mulai naik membuat calon pembeli mulai berkurang (karena untuk mengajukan KPR baru mulai mahal). Kombinasi dari properti baru yang belum terjual dan properti lama yang disita bank dan dilempar ke pasar, membuat pasar properti mulai ‘kembung’ karena banyaknya properti yang tidak terjual. Akibatnya harga properti pun pelan-pelan mulai turun.

Turunnya harga properti ini lalu membawa satu efek yang mengerikan. Orang-orang yang masih terikat KPR sekarang mengalami dilema. Di satu sisi, beban cicilan hutang mereka kepada bank semakin besar (karena bunga naik), di lain sisi rumah mereka nilainya makin turun. Akibatnya mulai banyak timbul kasus dimana hutang KPR seseorang kepada bank itu jumlahnya lebih besar daripada nilai rumahnya sekarang. Misalnya saja hutang KPR-nya masih senilai 600 juta, tetapi harga pasar rumahnya sekarang tinggal 400 juta akibat pasar properti yang hancur. Apa akibatnya? Mulai banyak orang-orang yang berpikir “mendingan gak usah bayar sama sekali deh, daripada saya bayar 600 juta buat rumah seharga 400 juta...”. Orang-orang ini pun tidak mempunyai ada insentif/motivasi untuk membayar cicilan KPR-nya, karena memang “secara ekonomi” tidak masuk akal jika kita membayar 600 juta untuk suatu barang harga 400 juta.

Apa yang terjadi kemudian? Orang-orang di atas tidak membayar KPR-nya, rumah disita oleh bank, dan lalu kembali dilemparkan kembali ke pasar. Timbul gelombang kedua banjir properti. Jumlah properti yang belum terjual semakin banyak, dan harga semakin turun. Kini calon pembeli properti pun mulai memilih untuk “wait & see”. Mereka berpikir “wah..harga properti turun terus, daripada saya beli nanti harganya turun, mendingan saya tunda dulu deh beli rumahnya. Apalagi sekarang KPR gak semurah dulu lagi, mending hati-hati“.

Di satu sisi, supply rumah yang dijual semakin banyak, sedangkan di sisi lain demand/pembeli semakin berkurang. Pasar properti pun semakin ‘megap megap’, penurunan harga semakin cepat. Siklus yg menyakitkan di atas pun berulang, semakin lama semakin cepat, persis seperti bola salju menggelinding turun gunung seperti yang sering kita lihat di kartun (snowball effect).

Dalam keadaan pasar properti yang sudah sempoyongan seperti ini, muncul lagi sebuah BOGEM yang memukul dengan keras. Apa itu? ARM (Adjustable Rate Mortgage) yang suku bunganya untuk 2-3 tahun pertama amat sangat rendah, tetapi setelah masa itu bunganya “rasanya nendang”?.

Pada akhir tahun 2005/awal tahun 2006, KPR ARM yang sudah diambil masyarakat Amerika pun mulailah “nendang”. (Perkiraannya, jumlah ARM yang akan “reset” suku bunganya dari bunga rendah ke bunga tinggi akan mencapai puncaknya pada tahun 2008-2009). Semakin berat lagi beban cicilan bunga, semakin banyak yang gak kuat bayar dan rumahnya kena sita, semakin parah lagi siklus di atas.

Begitu parahnya kondisi di atas dan begitu banyaknya rumah yang disita (foreclosed), sampai sampai di Amerika, pemandangan berupa rentetan rumah-rumah yang belum terjual seperti di samping ini bisa ditemukan di berbagai tempat.

Meletusnya bubble di sektor properti ini sendiri tidak berakhir di sini, melainkan menyebabkan pecahnya bubble lainnya, yaitu bubble derivatif yang kemudian menimbulkan Credit Crisis.

(Edison's Newspaper)

____________________________________

Conspiracy Theory, anyone?

Penggemar “dongeng” Freemasonry, termasuk aku, dipastikan memiliki banyak pertanyaan tentang sikap kelompok pemodal Yahudi internasional yang tidak bisa dipungkiri merupakan pemegang kendali perekonomian Amerika. Pasti ada alasan mengapa sampai saat ini kelompok tersebut bersikap “diam” dan membiarkan krisis itu terjadi. Apakah mereka akan tetap “diam” saat perekonomian Amerika mendekati jurang kehancuran. Dengan kekayaan tidak terbatas yang tersebar di seluruh penjuru dunia, kelompok ini pasti mampu mengangkat perekonomian Amerika seperti halnya saat mereka mampu menggoyang perekonomian Asia di tahun 1997. Dan lagi-lagi aku bertanya, apa sebenarnya yang menjadi alasan mereka membiarkan krisis finansial sekarang ini terjadi, apa yang sebenarnya kelompok ini tunggu sehingga mereka belum juga bertindak ekstrim untuk membangkitkan kembali perekonomian Amerika, dari hanya sekadar lobi basa-basi soal bailout USD 700 milyar yang jumlahnya belum sebanding dengan besarnya kredit macet subprime mortgage sekitar USD 2 trilyun. Think the unthinkable ! Seeing the invisible ! Apakah krisis finansial ini merupakan salah satu skenario kelompok ini meskipun harus mengorbankan beberapa perusahaan mereka, seperti Lehman Brothers misalnya. Coba cermati langkah-langkah The Fed (bank sentral yang bukan milik negara) dari tahun 2001 sampai dengan sekarang.

No comments: