October 26, 2008

Deception ala Suami Pintar

Deception paling fenomenal yang aku ketahui tentu saja peristiwa pendaratan Normandia saat Word War II atau lebih dikenal dengan sebutan D-Day. Pasukan Sekutu berhasil mengalihkan perhatian Jerman dari Normandia dengan membuat pergerakan tipuan di Southern England sehingga Jerman menafsirkan Sekutu akan menyerang Pas de Calais bukannya Normandia. Dunia mungkin lebih mengenal Jenderal Eisenhower sebagai tokoh sentral kemenangan Sekutu atas Jerman dengan Jenderal Rundstedt atau Erwin Rommelnya. Padahal otak dibalik kemenangan Sekutu adalah Kolonel John Henry Bevan yang memimpin organisasi London Controlling Section atau LCS. Organisasi ini sendiri dibentuk untuk merancang deception operation terhadap Jerman dan gerakan tipuan untuk membentuk opini penyerangan Pas de Calais adalah salah satu dari beberapa operasi pengelabuan yang mereka rancang.

Deception sendiri bisa juga dipakai di kehidupan kita sehari-hari. Istilah simpelnya bohong berlapis-lapis.. kue lapis kali ya.. Contoh sederhananya seperti ini, seorang Suami ingin sekali pergi ke sebuah Club untuk berpesta, tetapi karakter Istri yang alim tidak memungkinkan bagi dia untuk pergi ke Club dengan sepengetahuan Istri, lantas apa yang akan dilakukan si Suami? Langkah sederhananya tentu saja Suami akan langsung pergi ke Club untuk berpesta tanpa sepengetahuan istrinya dan akan berbohong mengapa sampai larut malam dia belum pulang. Skenario selanjutnya si Istri yang alim ini akan cek dan ricek apa yang dikatakan sang Suami, bener nggak nih apa yang dikatakan suamiku? Dan akhirnya kebohongan Suami pun terbongkar.

Jika Suami lebih pintar, kebohongan pergi ke Club ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dengan rutin berkata bohong untuk mengubah arah pemikiran Istri. Contoh simpelnya, saat ada meeting di kantor sampai larut malam, si Suami justru menginformasikan ke Istri kalau dirinya akan pergi ke Club. Sang Istri tentu akan mengecek keberadaan Suami di Club dan akhirnya diketahui sang Suami tidak pergi ke Club melainkan rapat di kantor. Kebohongan berkata pergi Club ini berkali-kali dilakukan Suami jika ada kepentingan perusahaan yang memaksanya bekerja lembur di kantor. Dan berkali-kali itu pula si Istri menemui kenyataan kalau Suami lembur di kantor. Akhirnya secara psikologis tertanamlah di pikiran Istri jika pergi ke Club itu artinya sang Suami lembur di kantor dan tidak ada lagi keinginan dari Istri yang alim ini untuk melakukan pengecekan. Hal seperti ini biasanya memerlukan kesabaran, tapi kesabaran seperti inilah yang harus dihadapi Sekutu untuk mengelabui Jerman menjelang pendaratan Normandia.

Pada saat yang tepat, Suami kembali berkata dia akan pergi ke Club dan kali ini dia benar-benar mengatakan yang sesungguhnya, mengatakan hal yang benar-benar akan dia lakukan. Sang Istri pun akan tetap tenang berada di rumah menikmati sinetron kesayangannya tanpa pemikiran prasangka dan curiga terhadap istri.

Aku tidak tahu apakah hal ini termasuk jenis reverse psychology karena aku bukan lulusan psikologi. Tapi sepertinya sama, agar pemikiran Istri seperti yang dia inginkan, sang Suami dengan reputasi bohongnya akan berkata jujur agar Istri berasumsi Suami kembali berkata bohong (padahal Suami memang benar-benar berkata jujur).

Apa yang dialami Hitler dan si Istri sebenarnya hampir sama. Dalam berbagai pertempuran menghadapi pasukan Sekutu (sebelum D-Day), Jerman selalu melihat pola yang sama dari pasukan Sekutu yaitu adanya peningkatan aktivitas/gerakan pasukan Sekutu di dekat wilayah akan terjadinya pertempuran. Hasilnya Jerman berhasil mengalahkan pasukan Sekutu dalam pertempuran di Dieppe dan Somme. Secara psikologis peningkatan aktivitas pasukan Sekutu di wilayah Inggris Tenggara pun akhirnya diartikan sebagai rencana penyerangan pasukan Sekutu ke wilayah Pas de Calais yang dikuasai Jerman. Padahal dalam kenyataannya pendaratan besar-besaran sedang dipersiapkan kearah Normandia.

Operasi Psikologis

Studi Kasus

Pasar Modal yang berkembang di dunia sejak abad ke-19 (Pasar Modal di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1912) sampai dengan saat ini masih rentan terhadap prilaku para investornya (panic selling) yang mudah panik terhadap isu-isu negatif yang sengaja dihembuskan. Mekanisme short selling yang dilegalkan dalam peraturan Pasar Modal semakin menambah besarnya kemungkinan masuknya berita-berita yang direkayasa. Dari 2 peristiwa besar, Great Depression tahun 1928 dan sekarang Krisis Finansial Global menghasilkan keputusan untuk melarang (sementara) transaksi short selling.

Pengambilalihan perusahaan melalui isu-isu yang sengaja dihembuskan pernah terjadi di Inggris di abad ke-19. Saat itu dihembuskan kabar bahwa Napoleon mengalami kemenangan di Rusia dan akan segera menguasai Inggris. Dampaknya banyak investor yang menjual sahamnya saat itu karena kondisi harga saham beberapa perusahaan Inggris yang semakin jatuh. Mereka tidak mau rugi terlalu besar. Situasi ini dimanfaatkan kelompok tertentu. Mereka memborong semua saham perusahaan Inggris yang dijual investor dengan harga rendah. Dalam sekejap kepemilikan di tiap perusahaan Inggris mayoritas sudah dikuasai oleh kelompok tertentu yang disponsori keluarga Rotschild. Akhirnya saat diketahui Napoleon mengalami kekalahan besar di Rusia, harga-harga saham perusahaan Inggris pun kembali meroket karena keyakinan investor terhadap keamanan Inggris.

Obyek Isu

Memanfaatkan kekuatan Perancis dibawah Napoleon Bonaparte yang saat itu ingin menguasai seluruh Eropa

Tujuan

Mengambil alih kepemilikan perusahaan-perusahaan besar di Inggris

Sasaran enstom

Karakter panic selling dari investor pasar modal menghadapi isu-isu negatif

Pilihan operasi

Covert action karena masyarakat tidak mengetahui jelas siapa sebenarnya yang menghembuskan kabar kemenangan Napoleon tersebut.

Instrumen/agen

Instrumen yang digunakan bisa menggunakan orang-orang yang disusupkan ke Pasar Modal untuk menyebarkan kabar bohong atau bisa juga penyesatan kabar melalui media seperti radio atau koran untuk kondisi pada saat itu.

Sarana/teknik operasi psikologis

Teknik yang digunakan dengan cara menyebarkan isu-isu yang mengabarkan kemenangan Napoleon di Rusia dan rencana Perancis untuk segara menyerang Inggris.


Akuntabilitas dan Efektifitas dalam Aktivitas Intelijen Negara

Akuntabilitas pada hakekatnya menggambarkan hubungan antara lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Di Indonesia, lembaga eksekutif adalah Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan lembaga legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Hubungan ini menggambarkan kemampuan dari eksekutif untuk memberikan penjelasan dan jawaban kepada parlemen sebagai akhir dari pelaksanaan tugasnya. Dengan kata lain eksekutif harus memberikan pertanggungjawaban atas segala pelaksanaan tugasnya kepada legislatif sebagai perwakilan rakyat. Parlemen akan menilai pertanggungjawaban eksekutif terutama untuk mengetahui apakah pelaksanaan tugas eksekutif beserta hasilnya tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat. Sehingga dalam ini kasus intelijen, lembaga intelijen sebagai bagian dari lembaga eksekutif juga harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya termasuk dalam hal penggunaan kewenangannya atau aspek finansial kepada lembaga legislatif.

Efektif berarti tepat sasaran. Efektifitas aktivitas artinya bagaimana sebuah pelaksanaan tugas dapat dapat mencapai hasil yang diinginkan dengan menggunakan langkah-langkah yang tepat. Sehingga apabila dikaitkan dengan aktivitas intelijen negara maka efektifitas dimaksudkan bagaimana aktifitas lembaga intelijen negara dilakukan dengan langkah-langkah yang tepat sehingga kegiatan yang dijalankan mampu mengenai sasaran/target/tujuan yang diharapkan. Secara khusus target yang ingin dicapai lembaga intelijen negara yaitu mencegah pendadakan strategik dan menyiapkan informasi yang terkini dan akurat bagi policy maker dan secara umum tujuan yang diharapkan oleh rakyat yang terwakili dalam lembaga legislatif yaitu melindungi keamanan nasional.

Baik akuntabilitas dan efektifitas, dua-duanya harus diutamakan karena saling berkaitan. Akuntabilitas membutuhkan efektifitas untuk mengukur keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan dan ketepatan pilihan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Apakah intelijen negara telah melakukan tugas dengan benar (doing the right things) menjadi kebutuhan bagi sebuah akuntabilitas. Lewat akuntabilitas ini, lembaga legislatif bisa menilai apakah ada kooptasi intelijen oleh kepala negara dan pelanggaran prinsip demokrasi dan hak azasi manusia yang bisa membuyarkan tujuan intelijen untuk mencegah pendadakan statejik dan memberikan informasi akurat tercepat.

Sebaliknya efektifitas membutuhkan akuntabilitas untuk mendapatkan legitimasi rakyat mengenai kompetensi pelaksanaan tugasnya. Penilaian bahwa aktifitas intelijen negara sudah berjalan efektif dapat berasal dari Presiden sebagai usernya. Tetapi posisi lembaga intelijen berada dalam lembaga eksekutif yang merupakan pelaksana pemerintahan dalam negara. Dibutuhkan second opinion yang lebih kuat dan memegang kepentingan tertinggi dari rakyat. Efektifitas membutuhkan akuntabilitas untuk mendapatkan pengakuan dari rakyat bahwa lembaga intelijen negara telah melaksanakan tugas dengan benar.

Dunia sekarang masuk dalam era globalisasi dan kestabilan kondisi keamanan dan ekonomi menjadi hal yang diprioritaskan negara. Dunia secara keseluruhan tidak berada dalam kondisi perang. Dunia tidak lagi berada dalam kondisi perang dingin. Non state actor yang muncul dalam wujud teroris digambarkan sebagai musuh bersama negara-negara dunia. Sehingga dalam kondisi yang bisa dikatakan damai dengan tidak adanya kekuatan luar yang saling memaksakan pengaruh dan kepentingannya dalam intelijen negara, kegiatan intelijen negara diharapkan masih dalam kerangka aturan yang berlaku untuk mewujudkan kepentingan nasional kita, dibandingkan dalam situasi dunia saat penuh ketegangan. Benturan persoalan kerahasiaan antara demokrasi dan intelijen juga bisa lebih jauh berkurang karena aktivitas intelijen modern seharusnya terbagi dalam perbandingan 95 : 4 : 1. Dimana 95% aktivitas intelijen berkaitan dengan open source, 4% berkaitan dengan semi tertutup dan hanya 1% yang benar-benar tertutup. Sehingga dalam intelijen negara kita, intelligence estimates seharusnya lebih dikembangkan dari basic intelligence dan open source intelligence lebih diutamakan dibanding counter-intelligence atau covert action.

Mengenali Pendadakan Stratejik berdasarkan Paradigma Realis

Paradigma realisme diantaranya diusung oleh Hobbes dan Machiavelli. Hobbes berasumsi bahwa individu-individu dalam suatu negara membutuhkan peran negara sebagai seorang monster atau makhluk jahat atau leviathan untuk menghindari terjadinya pertikaian antar individu yang pada akhirnya akan menjadi anarki. Menurut realisme sendiri pada dasarnya manusia adalah makhluk yang jahat sehingga kondisi damai sekalipun bagi realisme bisa merupakan sebuah ancaman. Sedangkan menurut Machiavelli negara mempunyai hak untuk melakukan akumulasi power dalam berbagai bentuk (militer) karena pertikaian antar individu ini biasa mengarah pada penggunaan power. Power style inilah yang akan menguatkan peran negara. Power menjadi sesuatu yang menentukan sekaligus menjadi sesuatu yang diperebutkan.

Menurut konsepsi dasarnya, paradigma realisme terbagi dalam Individu (Realisme Klasik) dan Sistem ( Neo-Realisme dan Realisme Struktural).

Individu - Realisme Klasik

Menurut realisme klasik, sebagai individu hakekat dasar manusia adalah struggle atau survive ditengah ancaman dan manusia harus meyakinkan dirinya aman. Sehingga dalam hal ini ada suatu kebutuhan dari manusia untuk tetap survive. Dengan demikian apabila diimplementasikan ke sebuah negara maka negara bisa melakukan segala sesuatu dengan dalih untuk melindungi negaranya. Realisme klasik mempunyai asumsi bahwa dalam lingkungan internasional tidak ada yang memiliki kekuatan hegemoni, tidak ada satu-satunya kekuatan hegemoni yang paling kuat yang dapat mengatur seluruh manusia di dunia. Sedangkan tiap negara akan selalu berusaha memaksimalkan kepentingannya masing-masing untuk tetap survive dan menjamin eksistensinya di dunia. State memandang negara lainnya sebagai musuh potensial yang menjadi ancaman sehingga mengakibatkan dilema keamanan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri. Hal yang dilakukan negara dalam situasi ketidakpastian dan kerentanan dunia tanpa kekuatan hegemoni terkuat adalah dengan memelihara balance of power.

Dengan demikian paradigma ini lebih mengutamakan karakter individu yaitu state dengan meyakini bahwa state merupakan aktor penting dalam hubungan internasional, di mana negara-negara akan saling memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan hubungan antarnegara yang terjadi merupakan bentuk struggle for power. Dan strategi yang digunakan untuk mencegah pendadakan strategis adalah defensif.

Sistem – Neo-Realisme dan Realisme Struktural

Menurut konsep ini sistem internasional lah yang mempengaruhi power bukannya negara. Segala sesuatu yang terjadi ditentukan oleh sistem. State sendiri merupakan bagian dari sistem ini. Secara keseluruhan sistem internasional terdiri dari aktor yaitu great power yang bersifat konstan, interaksi yaitu kondisi dunia yang anarkis dan struktur berupa distribusi kekuatan atau polaritas.

Sistem akan cenderung stabil apabila polaritas sistemnya kecil dan sistem dwipolar adalah salah satunya. Negara hegemonik yang ada dalam sistem dwipolar ini akan menstabilkan sistem dengan bersifat ofensif. Sehingga untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam sistem, kita hanya perlu memperhatikan aktor-aktor utama saja yaitu negara hegemonik itu sendiri apabila terjadi perang antar negara kecil sistem akan tetap dianggap stabil karena adanya hegemonic stability. Polaritas dwipolar ini pernah memunculkan teori long peace selama masa cold war dari tahun 1945-1989 dengan 2 aktor utamanya Amerika Serikat dan Uni Sovyet.

Dalam hegemonic stability theory oleh Paul Kennedy, umur negara hegemonik yang menguasai sistem makin lama makin pendek. Sebuah negara hegemonik yang masih mengalami masa pertumbuhan akan cenderung ofensif tapi disaat negara hegemonik sudah dalam batas pertumbuhan alias mentok dia akan menjadi defensif. Disaat negara hegemonik mulai melemah akan terjadi masa transisi negara hegemonik yang menyebabkan sistem menjadi tidak stabil. Tetapi kemungkinan akan muncul aktor baru yang berekspansi.

Dengan asumsi senjata ofensif bisa dibedakan dengan senjata defensif maka sebuah negara akan menggelar kekuatannya dalam rangka keamanan negara melalui manuever yang bersifat defensif, attrition dan firepower yang bersifar ofensif. Demikian pula dengan kasus military build-up, sebuah negara bisa bersifat ofensif atau defensif tergantung dari karakter sistem pertahanan yang mereka bangun. Apabila manfaat lebih besar dari biaya ekspansi maka ofensif yang dipilih, sebaliknya jika biaya ekspansi lebih besar dari manfaatnya maka defensif yang dipilih. Konsepsi dasar realisme berupa sistem yang cenderung ofensif merupakan paradigma Neo-Realisme sedangkan yang bersifat defensif merupakan paradigma Realisme Struktural.

Mengenai pendadakan stratejik, secara tradisional pertahanan nasional melihat strategic surprise sebagai sebuah realisasi ancaman berupa serangan dari negara lain menggunakan kekuatan militer. Tetapi seiring dengan globalisasi dan perkembangan teknologi, strategic surprise bagi sebuah negara juga berubah. Pendadakan stratejik bisa juga terjadi di bidang ekonomi. Amerika mengalaminya pada saat The Great Depression 1929 dan sekarang. Sedangkan Indonesia shock dengan krisis moneter 1997 dan sekarang terancam gelombang tsunami krisis finansial global. Pendadakan stratejik sendiri berarti sebuah tindakan atau perbuatan besar yang mengejutkan yang dapat mempengaruhi keseimbangan kondisi sebuah negara dan berdampak pada hasil pertempuran kedua belah pihak.

Menurut saya Realisme Struktural menjadi paradigma yang paling bisa mengenali sumber-sumber pendadakan stratejik di Indonesia, dengan alasan:

Pertama. Karakteristik dari kegiatan militer di Indonesia adalah defensif. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa Indonesia memiliki struktur negara yang lemah atau weak state akibat krisis moneter 1997 dan besarnya gelombang konflik di Indonesia. Militer Indonesia pun tidak bisa mengembangkan dan memodernisasi angkatan bersenjatanya untuk bersaing dengan kemampuan militer negara-negara lainnya. seperti Singapura atau Malaysia misalnya. Indonesia menjadi amat sangat rentan terhadap serangan dari negara lain.

Kedua. Ofensif lebih mungkin terjadi apabila ketika kemungkinan untuk melakukannya sangat mudah dilakukan. Namun ketika defensif lebih mudah dilakukan dibanding ofensif, keamanan akan muncul dimana-mana, dorongan untuk bertindak ekspansif pun berkurang dan sikap saling pengertian antar negara dalam sebuah sistem internasional akan berkembang. Dan jika defensif memiliki keuntungan dan negara-negara mampu membedakan antara senjata untuk bertahan dan menyerang, pada akhirnya negara-negara dapat memperoleh alat-alat untuk mempertahankan dirinya tanpa mengancam negara lain. Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi efek dari sistem yang anarki.

Ketiga. Di era globalisasi dan kondisi dunia yang penuh ketidakpastian seperti saat ini, sudah seharusnya sebuah negara tidak berkonsentrasi pada karakteristik-karakteristik dalam negerinya. Lebih baik berkonsentrasi pada karakteristik hubungan antar negara yang antagonistik karena pengaruh struktur sistem internasional. yang anarkis.

Untuk menemukan sumber-sumber pendadakan stratejik, Indonesia harus mengamati hirarki dan distribusi kekuatan dunia yang terbagi dalam balancing dan bandwagoning. Dengan melakukan balancing atau bandwagoning ke negara lain akan merangsang terjadinya stabilitas sistem yang berdampak eliminasi kemungkinan terjadinya pendadakan stratejik ke Indonesia.

Dengan memperhatikan perkembangan negara hegemonik dalam tataran sistem internasional maka dinamika suatu sistem internasional dapat diketahui. Sehingga saat terjadi masa transisi negara hegemonik, Indonesia sudah mengantisipasi peristiwa atau kondisi tidak stabil yang mengancam dan segera memutuskan mengenai tindakan apa yang harus dilakukan terhadap aktor baru untuk dapat menstabilkan sistem.

Dalam menghadapi ancaman pendadakan stratejik yang bersifat ofensif, tidak harus dihadapi dengan ofensif juga mengingat kondisi bawaan Indonesia sebagai weak state. Langkah-langkah diplomasi di PBB atau organisasi internasional lainnya dapat dilakukan disamping langkah militer untuk meningkatkan sistem pertahanan. Tapi peningkatan ativitas gelar kekuatan dan military build up negara tetangga tidak bisa langsung divonis sebagai sebuah ancaman pendadakan strategis dengan asumsi jenis senjata ofensif bisa dibedakan dari senjata defensif. Harus dilihat terlebih dahulu karakteristik dari gelar kekuatan dan military build up serta hirarki dan distribusi kekuatan dari negara yang bersangkutan.

Pemerintahan Berlegitimasi bagi Hubungan Intelijen dan Negara

Indonesia memiliki struktur negara yang lemah (weak state) dan dalam sebuah weak state, kebijakan politik yang diambil terkondisikan oleh adanya krisis legitimasi sebuah kondisi yang menimpa lembaga intelijen negara. Hal ini dikarenakan selama ini intelijen Indonesia gagal keluar dari paradigma operasi militer dan terkooptasi secara sistematik sehingga keluar dari kerangka keamanan nasional dan masuk dalam pertarungan elit politik. Dalam sebuah negara demokratis, akuntabilitas dan transparansi diperlukan parlemen (sebagai representasi rakyat hasil pemilu) sebagai quality of control terhadap hasil aktivitas intelijen berupa informasi terkini dan akurat untuk mencegah pendadakan strategik. Akuntabilitas dan transparasi dibutuhkan untuk menilai ketepatan cara atau langkah yang diambil lembaga intelijen untuk mencapai tujuannya. Intelijen sebagai alat yang digunakan oleh pemerintah dan pemerintahnya itu sendiri, legitimasinya akan ditentukan dalam proses penilaian akuntabilitas dan transparansi. Aktivitas intelijen yang mendapat dukungan politis akan menjadikan pemerintahan berlegitimasi.

Terciptanya suatu pengawasan politik demokratik yang efektif untuk dinas-dinas intelijen dapat mendukung terciptanya interaksi Intelijen Keamanan dalam hubungan Intelijen dan negara di Indonesia. Interaksi ini sangat dibutuhkan saat negara terpaksa menggelar operasi intelijen untuk menghadapi ancaman internal yang umumnya berbentuk kejahatan teroganisir, konflik komunal, terorisme dan/atau separatisme. Dan situasi inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Sebuah situasi yang memposisikan Indonesia sebagai sebuah weak state.

Dengan demikian sebuah pemerintahan berlegitimasi menjadi syarat mutlak hubungan intelijen dan negara dalam sebuah negara demokratis. Bukan sebuah legitimasi oleh kekuatan otoriter tetapi sebuah legitimasi dari rakyat terhadap pemerintahan berdasarkan hasil pemilihan umum. Pemerintah yang berlegitimasi juga akan mengurangi memonopoli negara terhadap seluruh informasi strategis yang ada dan tidak lagi menggunakan seluruh aspek kehidupan, politik, ekonomi dan sosial budaya dari rakyatnya.

October 17, 2008

Corat Coret Realisme

Realisme :

- Rosseau, Machiavelli, Michael Doyle

- sesuatu yang harus dimiliki untuk menguasai sesuatu

- manusia pada dasarnya makhluk yang jahat

- akumulasi power dalam berbagai bentuk

- orang yang kuat dalam 24 jam pasti memiliki titik lemah

- negara menciptakan monster untuk melindungi semua orang


Realisme mencegah pendadakan strategis di power, state dan keamanan.


Konsepsi Dasar Realisme

Power style akan menguatkan peran negara. Hard power jadi dominan berlawanan dengan soft power. Sehingga pada dasarnya Realisme = Power (untuk menentukan dan untuk diperebutkan).


Realisme dibagi menjadi :

1. Individu – Defensif ( Realisme Klasik )

- sebagai individu hakekat dasar manusia adalah struggle / survive di tengah ancaman

- sebagai individu manusia harus meyakinkan dirinya aman

- kebutuhan untuk survive

- strateginya defensif untuk mencegah hal-hal pendadakan

2. Sistem – Ofensif (Neo-Realisme) dan Defensif (Realisme Struktural)

- sistem internasional lah yang mempengaruhi power

- segala sesuatu ditentukan oleh sistem

- sistem terdiri dari aktor (great power bersifat konstan), interaksi (anarki) dan struktur (distribusi kekuatan / polaritas)

Neo-Realisme ( ofensif ) :

- sistem akan stabil apabila polaritas kecil, sistem dwipolar cenderung untuk ofensif

- untuk mengetahui dinamika pasar kita hanya memperhatikan aktor-aktor utama

- negara-negara yang sejajar akan saling bertarung satu sama lain

- great power yang akan menstabilkan sistem sehingga bersifat ofensif

Realisme Struktural ( defensif ) :

- teori long peace selama cold war (1945-1989) karena polaritas dwipolar

- yang dilihat hanya great power jadi meskipun ada perang antar negara kecil sistem akan tetap dianggap stabil

- hegemonic stability theory (Paul Kennedy), umur negara hegemonic yang menguasai sistem makin lama makin pendek (misal: Mesir, Persia, Austria, Hungaria) karena mereka mempunyai batas pertumbuhan

- negara hegemonic akan menggunakan strategi defensif saat mencapai batas pertumbuhan

Variasi Realisme :

1. Power

a. Realisme KlasikBalance of Power

- Balance of power antar negara

- negara-negara menjadi penting

- pembagian kuantitatif, misal dalam kekuatan pesawat, kekuatan kapal

- proyeksi kekuatan, mau diapakan kekuatan yang dimiliki (way of war military culture)

b. Neo-StrukturalisStabilitas Sistem

- untuk melihat stabilitas sistem kita harus melihat hirarki dan distribusi kekuatan yang menurut Stephen Waltz dibagi menjadi balancing dan bandwagoning. Dalam kasus balancing, beberapa negara kecil akan bersatu untuk mengimbangi kekuatan negara besar. Sedangkan dalam bandwagoning, negara kecil justru akan mendekati dan bergabung dengan besar dan hal ini sering terjadi di politik

- Megawati menggunakan balancing karena Indonesia mendekati Cina dan Brasil, tetapi SBY tidak jelas karena selain mendekati Cina dan Brasil, Indonesia juga mendekati Amerika

2. Negara

a. Realisme KlasikMandala Negara

- Teori mandala atau kautiliya

- Misal kasus hubungan negara B-A-C, negara A akan melihat negara B dan C sebagai lawan karena posisinya yang dekat, negara C akan melihat negara A sebagai lawan dan negara B sebagai kawan karena negara B merupakan lawan negara A

- misal dalam bidang ekonomi ada persaingan bisnis, maka perusahaan yang memiliki target customer berhimpitan akan saling menganggap musuh satu sama lain

- dipengaruhi oleh geo stratejik dan pola musuh teman (ennity dan arnity yang dipengaruhi peran sejarah)

b. Neo-StrukturalisNegara Hegemonik

- Negara hegemonik ofensif bila masih terus tumbuh dan defensif jika masuk batas pertumbuhan atau mentok

- Amerika kemungkinan akan defensif bila melihat defisit neraca Amerika yang berpengaruh pada anggaran pertahanan

- Transisi negara hegemonik mengakibatkan sistem tidak stabil, akan ada ekspansi kekuatan baru dan dicari siapa aktor yang akan berekspansi

- Jika CIA bisa memprediksi keruntuhan kekuatan Uni Soviet maka transisi hegemonik dapat berjalan mulus

- Paska 9/11 ada non state character yaitu Al Qaeda, sedangkan paska Cold War memang pecah tapi karakternya tetap state.

3. Keamanan

a. Realisme KlasikDilema Keamanan

- ada dilema keamanan

- dalam kasus hubungan negara B-A-C, upaya negara A untuk mengamankan diri dengan meningkatkan kekuatan akan dianggap ancaman oleh B dan C

- misal dalam bidang ekonomi, XL yang bertambah kuat, bagi Telkomsel merupakan ancaman

- perlombaan senjata, Malaysia membeli Indonesia terancam, Indonesia membeli Malaysia terancam, menciptakan siklus arm race yang bisa mengakibatkan perang

- Untuk mencegah perlombaan senjata harus ada treaty atau pengaturan

- Hemisphere -> “Monroe Doctrin”

b. Neo-StrukturalisOfensif-Defensif

- Dengan menggelar kekuatan meliputi manuever (defensif movement), attrition dan firepower (ofensif), dengan asumsi senjata ofensif bisa dibedakan dari senjata defensif

- Dalam kasus military build up, negara Singapura berkarakter ofensif sedangkan Indonesia berkarakter defensif dengan sistem pertahanan rudal, teknologi roket (Indonesia sama dengan Malaysia menerapkan sistem control of air yang berkarakter defensif)

- Ofensif tidak harus dihadapi dengan ofensif. Ofensif lebih tepat dihadapi dengan defensif.

- Military culture Indonesia mengandalkan PBB, diplomasi dan militer berjalan bersama, contoh saat konfrontasi Malaysia berhenti karena ASEAN

- Singapura mempunyai strategi “2 weeks war”, angkatan perangnya dirancang menghadapi serbuan Indonesia/China dan 2 minggu adalah waktu yang digunakan untuk dapat mengundang PBB masuk ke Singapura

October 15, 2008

Strategi Perusahaan Nasional

GUDANG GARAM = Pria sejati

PT Gudang Garam Tbk dengan tagline “Finest Clove Cigarettes” ingin membuktikan kepada konsumen dan khalayak umum bahwa mereka menguasai panga pasar rokok terbesar di Indonesia karena mereka memproduksi rokok kretek dengan campuran tembakau dan cengkeh bermutu tinggi yang kekuatan dan kemantapan rasa dan aromanya sangat khas dan cocok dengan keinginan para pria.

Market utama yang dituju rokok Gudang Garam adalah para pria dengan definisi pria sejati, berkepribadian kuat, modern dan yang terpenting mengerti arti kenikmatan rokok sesungguhnya. Sehingga dalam iklan-iklannya Gudang Garam kerap memunculkan sosok pria macho yang suka berpetualang dengan dibumbuhi keywords.. “Pria Punya Selera” atau “Selera Pemberani”.

Untuk memperkuat brandvaluenya di mata masyarakat dan menancapkan imagenya, Gudang Garam banyak mensponsori beberapa kegiatan di olahraga otomotif seperti rally mobil, motocross, offroad; olahraga tinju; siaran langsung sepakbola di TV atau festival musik rock.

Dengan citarasa dan aroma rokok yang khas serta image yang melekat kuat di masyarakat, tidak mengherankan apabila Gudang Garam memiliki banyak konsumen loyal di Indonesia.


NYONYA MENEER = Pewaris tradisi jamu jawa asli

PT Nyonya Meneer punya motto Tradisi terbaik untuk kesehatan dan kecantikan”. Dengan motto ini Nyonya Meneer ingin menegaskan kepada masyarakat bahwa sebagai jamu tradisional, jamu produksi mereka telah diakui sangat lama sejak tahun 1919. Merekalah sang pewaris nenek moyang dalam menjaga tradisi kesehatan dan kecantikan. Hal ini didukung dengan konsistensi logo yang sangat lama, dilihat dari konsistensi gambar potret Nyonya Meneer, tulisan tahun dan keyword “Jamu Jawa Asli” di sebagian besar produk, board toko jamu atau reklame.

Image jamu Nyonya Meneer di masyarakat sangat melekat sebagai jamu yang sudah lama ada di Indonesia dan masih bertahan sampai dengan sekarang. Akibatnya jamu Nyonya Meneer lebih diasosiasikan kepada konsumen yang mempunyai tradisi minum jamu sudah lama atau cenderung ke konsumen strata orang tua. Dan dalam hal beriklan di TV misalnya, Nyonya Meneer lebih memilih acara yang banyak ditonton orang dewasa seperti dialog politik dan ekonomi. Amurat, produk yang sekarang sedang diandalkan PT Nyonya Meneer juga menyeser segmen orang tua, dengan bintang iklan Tukul Arwana untuk menarik perhatian. Tetapi sebagaimana halnya Gudang Garam, jamu Nyonya Meneer juga mempunyai banyak konsumen loyal di Indonesia.


MUSTIKA RATU = Puteri Keraton

PT Mustika Ratu punya tagline “Dari balik dinding kraton mencuat ke mancanegara”. Modal utama dari tagline ini, Pertama dari keberadaan Mooryati Soedibyo, Presiden Direktur, yang merupakan anggota keluarga Keraton Kasunanan Surakarta. Dengan tagline ini Mustika Ratu mengklaim bahwa semua produk mereka terbuat dari bahan alami dan diramu sesuai resep leluhur yang diwariskan turun temurun di lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat, atau dengan kata lain seperti yang selama ini digunakan oleh puteri keraton. Kedua, Mustika Ratu memegang lisensi penyelenggaraan kontes Putri Indonesia dan kedatangan Miss Universe ke Indonesia. Hal kedua inilah yang meningkatkan brandvalue termasuk image Mustika Ratu karena produk-produknya tidak hanya digunakan oleh ratu kecantikan di Indonesia tetapi juga oleh ratu sejagat. Secara tidak langsung produk-produk Mustika Ratu menjadi lebih gampang dikomunikasikan, tidak hanya di Indonesia tetapi sampai ke mancanegara.

Selain memiliki banyak varian produk, Mustika Ratu juga mempunyai market remaja dan wanita dewasa sehingga dalam iklan mereka menggunakan tema keywords yang berbeda. Untuk wanita dewasa, iklan Mustika Ratu ingin menyampaikan pentingnya kecantikan tidak hanya dari luar tetapi juga dari dalam. Sedangkan untuk remaja, iklan Mustika Ratu ingin menyampaikan pentingnya produk mereka dalam urusan cinta.


MASPION = Nasionalisme

Kata Maspion bisa merupakan singkatan dari kalimat Mengajak anda selalu percaya industri olahan Indonesia atau Master of Champion menurut versi Alim Markus, Presiden Direktur Maspion.. PT Maspion sendiri punya tagline “Indonesia’s Achievement”. Semangat nasionalisme yang ingin disasar oleh Maspion. Mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih mencintai produk-produk buatan bangsa sendiri. Apalagi Alim Markus dan Maspionnya mempunyai misi bersaing dan mengalahkan produk-produk impor. Sehingga sangat wajar apabila dalam iklannya Maspion memilih keywords “Cintailah produk-produk dalam Indonesia”. Iklan ini bahkan dibintangi langsung oleh Alim Markus. Dengan logat khas Tionghoa, keyword dan iklan ini menjadi gampang diingat, dan pesannya pun mengena di masyarakat.


Scenario Planning: Mapping The Paths to The Desired Future

Metode Future Mapping menciptakan beberapa model ketidakpastian yang dapat membuat kita bereksperimen dan belajar bagaimana mendapatkan keuntungan besar dari sebuah pengawasan terhadap masa depan yang kita harapkan pada sebuah organisasi. Model ini dibentuk pertama kali dengan mengumpulkan bukti yang layak dari suatu peristiwa dan kemudian membuat hipotesis yang terpercaya sebagai pernyataan akhir. Kemudian kita melengkapi model dengan menciptakan sebuah logika ketidakpastian dengan mempelajari bagaimana bukti tersebut mempengaruhi hipotesis. Pemahaman terhadap ketidakpastian yang kita kembangkan dengan membuat beberapa model dapat mempersiapkan kita untuk mengelola peluang dan risiko yang dihadapi organisasi di masa depan.

Scenario planning dilakukan untuk mendukung manajemen saat ini untuk merealisasikan strategi mereka dan keputusan yang berhubungan dengan investasi mereka perlu untuk diuji kelayakannya dalam berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Tetapi proses Future Mapping yang dibahas disini mempunyai sebuah tujuan yang lebih besar yaitu menggunakan skenario untuk mengembangkan seluruh konsep strategi yang baru, yang akan mempersiapkan organisasi untuk menghadapi masa depan dengan keyakinan yang bisa dipertanggungjawabkan. Skenario juga menyiapkan suatu wilayah uji coba risiko untuk mengenalkan perusahaan pada beberapa potensi dari bermacam-macam strategi yang diinginkan. Scenario planning memberi pemimpin sebuah kesempatan untuk kembali menilai kekuatan dari strategi organisasi saat ini dibanding saat organisasi dibentuk. Apakah strategi tersebut masih layak untuk semua kondisi atau strategi tersebut hanya mendukung organisasi pada kondisi-kondisi tertentu saja?

Jika kegiatan usahanya bertahan cukup lama, banyak organisasi yang biasanya mempunyai satu atau dua peluang untuk menciptakan kembali masa depannya. Mereka dapat memilih dalam beberapa bisnis dibanding yang lainnya, untuk menjadi pelopor dalam teknologi, mempunyai kegiatan di beberapa negara dan memperkerjakan orang-orang istimewa. Pemimpin dapat menggunakan scenario planning untuk mempersatukan kelompok dalam satu arahan dan untuk memperkuat kerangka logika untuk mengukur: Siapa kita? Apa yang kita lakukan? Untuk siapa kita melakukannya? dan Mengapa? Proses ini juga dapat mengarahkan tujuan organisasi ke dalam suatu pertanyaan: Apakah apa yang kita lakukan hari ini adalah apa yang kita ingin lakukan besok? Apakah pilihan bagi kita?

Proses Future Mapping dalam sebuah workshop yang bertujuan untuk memahami pilihan strategi yang akan dimasukkan sebagai bagian dari pengembangan jalur informasi (infohighway), dilakukan dalam 4 primary exercises, yaitu:

1. The Conventional Wisdom Exercise

Menentukan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi di masa depan berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa silam.

2. Scenario Defense Exercise

Masing-masing tim dalam workshop melakukan presentasi untuk menyampaikan visi beserta alasan mereka tentang masa depan dari infohighway. Proses ini akan merumuskan skenario yang terbagi dalam 5 tipe: simplicity, fragmentation, network affinity, content-driven dan doing business electronically.

3. The Common and Critical Event Exercise

Mengidentifikasi rangkaian peristiwa yang akan dikembangkan secara berbeda ke semua kelompok skenario. Peristiwa yang dianggap positif dalam skenario yang satu bisa dianggap negatif di skenario yang lain.

4. A Composite Exercise

Mengkombinasikan kelima tipe skenario dalam sebuah evolutionary sequence dengan cara mengklasifikasikan mereka dalam urutan peringkat berdasarkan 2 kriteria :

- Attainability, diasumsikan kita bertanggungjawab mengimplementasikan strategi perusahaan, disusun dari yang termudah sampai ke yang tersulit.

- Desirability, diasumsikan kita tidak bertanggungjawab mengimplementasikan strategi perusahaan, disusun dari yang paling menarik sampai ke yang paling sedikit menarik.


Hal yang penting bagi kita untuk sependapat mengenai manfaat dari scenario planning dan definisi dari keberhasilan outcome-nya. Memilih ruang lingkup yang tepat untuk langkah-langkah yang akan dilakukan dalam scenario planning adalah dengan cara menjawab beberapa pertanyaan kunci:

- Sebenarnya topik apa yang paling tepat bagi perusahaan untuk pahami?

- Apakah usaha skenario diarahkan untuk mempelajari dan mengajarkan pengalaman atau sebuah proses pembuatan keputusan strategik?

- Siapa yang menjadi target audiens skenario? (leadership team, managers, planners)

- Tipe informasi seperti apa yang seharusnya ada dalam skenario? (global atau regional information? significant regulatory issues? the different classes of technology?)

- Apakah ada planning system yang diharapkan dapat mendukung skenario? (financial plan, budget atau plan based on traditional competitive strategy techniques?)


Pada akhirnya proses scenario planning bertujuan:

to engage stakeholders in a creative journey-the exploration of how their organization could grow and evolve if the pulled and pushed it toward the particular future they desire”.

October 10, 2008

1839-1841: Kegagalan Inggris di Afghanistan

THE MIRRORED ENEMY

Pada bulan Juni 1838, Lord Auckland, Gubernur Jenderal Inggris di India mengadakan pertemuan dengan para petingginya untuk membicarakan rencana invansi ke Afghanistan. Auckland dan beberapa menteri Inggris lainnya semakin memperhatikan berkembangnya pengaruh Rusia di wilayah tersebut. Rusia telah membuat persekutuan dengan Persia, dan sekarang mereka mencoba melakukan hal yang sama dengan Afghanistan, dan jika mereka berhasil, posisi Inggris di India akan terancam dan rentan terhadap serangan mendadak oleh Rusia. Daripada mencoba melakukan hal seperti yang dilakukan Rusia dan menegosiasikan persekutuan dengan pemimpin Afghan, Dost Mohamed, Auckland justru mengajukan ide yang menurut dia adalah sebuah solusi yang paling meyakinkan yaitu menyerang Afghanistan dan memunculkan pemimpin baru- Shah Soojah, mantan pemimpin Afghan yang digulingkan dari kekuasaan 25 tahun lalu- yang kemudian akan merasa berhutang budi kepada Inggris.

Seseorang yang mendengarkan Auckland saat itu adalah William Macnaghten, 45 tahun, seorang chief secretary pemerintah Inggris di Calcutta. Macnaghten berpikir bahwa invansi adalah sebuah ide yang cemerlang: Afghanistan yang bersahabat akan mengamankan kepentingan Inggris di wilayah tersebut dan membantu penyebaran pengaruh Inggris. Tentara Inggris tidak akan menemui kesulitan mempengaruhi orang-orang Afghan; mereka akan memperkenalkan diri mereka sebagai liberator, membebaskan Afghanistan dari tirani Rusia dan membawa ke negara tersebut sebuah dukungan dan pengaruh civilizing of England. Segera setelah Shah Soojah berkuasa, tentara akan meninggalkan Afghan, agar pengaruh Inggris yang sedemikian besar terhadap shah, tidak terlihat di mata masyarakat Afghan. Ketika Macnaghten mendapat kesempatan untuk memberikan pendapatnya mengenai rencana invansi, dukungannya terhadap rencana tersebut sangat besar dan antusias sehingga Lord Auckland tidak hanya memutuskan untuk meneruskan rencana invansi, dia juga memberi Macnaghten sebuah jabatan di Kabul, ibukota Afghan, pejabat tertinggi pada perwakilan Inggris di Afghanistan.

Dengan menemui sedikit kesulitan, pada bulan Agustus 1839 tentara Inggris berhasil memasuki Kabul. Dost Mohamed diasingkan ke pegunungan dan shah dibawa masuk ke kota. Bagi penduduk lokal, hal ini menjadi pemandangan aneh. Shah Soojah yang sebagian besar tidak mengingatnya, kelihatan tua dan tunduk disamping Macnaghten, yang memasuki Kabul dengan mengenakan seragam berwarna cerah dengan topi yang dihiasi bulu burung unta. Mengapa orang-orang ini datang? Apa yang mereka lakukan disini?

Dengan kembalinya shah menduduki kekuasaan, Macnaghten harus menilai kembali situasi yang ada. Laporan yang datang menginformasikannya bahwa Dost Mohamed sedang menyusun kekuatan di pegunungan utara. Sementara itu, di selatan, saat tentara Inggris memasuki wilayah Afghan, mereka menghina beberapa kepala suku setempat dengan merampas tanah-tanah mereka untuk mendapatkan makanan. Para kepala suku ini kemudian justru menimbulkan kesulitan. Juga menjadi jelas bahwa ternyata shah dengan status mantan pemimpin Afghan ternyata tidak populer di masyarakat, sedemikian tidak populernya sampai Macnaghten tidak dapat meninggalkannya dan kepentingan Inggris lainnya di negara Afghanistan menjadi tidak terlindungi. Dengan agak sungkan Macnaghten terpaksa meminta sebagian besar tentara Inggris untuk tetap berada di Afghanistan sampai situasi stabil.

Waktu berjalan dan akhirnya Macnaghten memutuskan untuk mengijinkan petugas dan tentara untuk mendatangkan keluarga mereka sehingga kehidupan tidak akan begitu kejam bagi mereka yang terlalu lama bertugas menduduki Afghanistan. Segera setelah itu, para istri dan anak-anak mereka datang ke Afghanistan beserta orang Indian yang menjadi pelayan mereka. Tetapi saat Macnaghten membayangkan bahwa kedatangan keluarga tentara akan berdampak humanizing dan civilizing, bagi orang Afghan justru merupakan sebuah tanda bahaya. Apakah Inggris berencana untuk menduduki selamanya? Di setiap tempat orang-orang lokal melihat perilaku orang-orang dari perwakilan kepentingan Inggris, mereka berbicara keras di jalan, minum anggur, nonton bioskop dan menunggang kuda, kegemaran aneh yang didatangkan dan diperkenalkan ke negara tersebut. Dan kemudian banyak keluarga tentara Inggris yang didatangkan ke Afghanistan. Kebencian akan segala sesuatu yang berbau Inggris pun mulai tumbuh.

Sebenarnya sudah ada yang memperingatkan Macnaghten tentang hal ini, tetapi Macnaghten selalu memberikan jawaban yang sama: segala sesuatu akan dilupakan dan dimaafkan saat tentara Inggris nanti meninggalkan Afghanistan. Orang-orang Afghan itu seperti anak kecil, orang-orang yang emosional; sekali mereka merasakan keuntungan dari English civilization, mereka akan sangat berterima kasih. Tetapi ada satu hal yang mengkhawatirkan sang utusan: pemerintah Inggris tidak gembira dengan meningkatnya biaya pendudukan. Macnaghten harus melakukan sesuatu untuk memangkas biaya dan dia tahu darimana harus mulai.

Sebagian besar dari pegunungan yang merupakan jalur utama perdagangan dijaga oleh suku Ghilzye selama bertahun-tahun, melebihi masa kekuasaan dari setiap pemimpin Afghanistan. Mereka dibayar untuk menjaga agar jalur tersebut tetap terbuka. Macnaghten memutuskan untuk memotong separo pembayaran ini. Suku Ghilzye merespon dengan memblokade jalur dan semua suku di negara tersebut bersimpati dengan pemberontakan suku Ghilzye. Macnaghten mencoba untuk meredam pemberontakan ini tetapi dia tidak melakukannya dengan serius dan petugas yang memberitahunya untuk merespon lebih kuat justru ditegur karena bereaksi berlebihan. Tentara Inggris sudah dipastikan harus tetap tinggal.

Situasi semakin memburuk. Bulan Oktober 1841 terjadi penyerangan dan pembunuhan terhadap rumah seorang pegawai Inggris. Di Kabul, para pemimpin lokal mulai berkomplot untuk mengusir pemimpin mereka yang pro Inggris. Shah Soojah panik. Selama beberapa bulan dia memohon Macnaghten untuk membiarkannya menangkap dan membunuhnya pesaingnya, sebuah cara tradisional pemimpin Afghan untuk mengamankan posisinya. Macnaghten memberitahu shah bahwa sebuah negara yang beradab tidak menggunakan pembunuhan untuk menyelesaikan masalah politik. Shah memahami bahwa orang Afghan menghargai kekuatan dan kekusaan, bukan nilai-nilai peradaban; bagi orang Afghan kegagalan shah menangani musuh-musuhnya menjadikan dirinya kelihatan lemah dan tidak memiliki kekuasaan dan membuat dirinya terkepung oleh musuh. Tetapi Macnaghten tidak akan mendengarkannya.

Pemberontakan telah menyebar dan sekarang Macnaghten harus menghadapi kenyataan bahwa dia tidak memiliki kekuasaan untuk menumpas pemberontakan. Tetapi mengapa dia harus panik? Orang-orang Afghan dan para pemimpinnya adalah orang-orang polos; dia akan mendapatkan kembali kepercayaan. Macnaghten kemudian merundingkan sebuah perjanjian dimana pasukan Inggris termasuk warganegara Inggris akan meninggalkan Afghanistan, dan dilain pihak orang-orang Afghan akan mendukung mundurnya Inggris dengan makanan. Secara diam-diam, Macnaghten memberitahu beberapa pemimpin penting Afghan bahwa dia akan menjadikan salah satu dari mereka menjadi perdana menteri dan memberinya uang sebagai pertukaran untuk menghentikan pemberontakan dan mengijinkan Inggris untuk tetap tinggal.

Pemimpin suku Ghilzyes kawasan timur, Akbar Khan, merespon penawaran tersebut, dan pada tanggal 23 Desember 1841, Macnaghten keluar untuk sebuah pertemuan rahasia dengan Akbar Khan untuk melakukan perundingan. Setelah saling bertukar salam Akbar bertanya pada Macnaghten apakah dia ingin tetap melaksanakan pengkhianatan seperti yang direncanakan. Macnaghten dengan gembira menjawab “ya”. Tanpa penjelasan apapun, Akbar mengisyaratkan orang-orangnya untuk menangkap Macnaghten dan memasukkannya ke dalam penjara-dia tidak berminat untuk mengkhianati pemimpin suku lainnya. Dengan kemarahan orang Afghan yang telah terbentuk bertahun-tahun, Macnaghten pun harus menerima nasib yang sangat mengenaskan. Badan dan kepalanya diarak di sepanjang jalanan kota Kabul dan kemudian tubuhnya digantung di pasar.

Segala sesuatu segera berubah. Pasukan Inggris yang masih tersisa dipaksa untuk segera mundur dari Afghanistan, meskipun saat itu sedang musim dingin. Karena yakin Inggris tidak akan pernah mundur jika tidak dipaksa, orang-orang Afghan pun menyerang mereka tanpa ampun. Banyak orang-orang sipil dan tentara Inggris yang tewas di salju.

Pada tanggal 13 Januari 1842, pasukan Inggris di benteng Jalalabad melihat seekor kuda berusaha memasuki gerbang dengan penunggangnya yang sedang sekarat. Dia adalah Dr. William Brydon, satu-satunya orang yang selamat dari kegagalan invasi Inggris di Afghanistan.


October 08, 2008

Ramalan Nouriel Roubini

Dr. Doom

By STEPHEN MIHM
Stephen Mihm, an assistant professor of economic history at the University of Georgia, is the author of “A Nation of Counterfeiters: Capitalists, Con Men and the Making of the United States.” His last feature article for the magazine was about North Korean counterfeiting.

Published: August 15, 2008, The New York Times

On Sept. 7, 2006, Nouriel Roubini, an economics professor at New York University, stood before an audience of economists at the International Monetary Fund and announced that a crisis was brewing. In the coming months and years, he warned, the United States was likely to face a once-in-a-lifetime housing bust, an oil shock, sharply declining consumer confidence and, ultimately, a deep recession. He laid out a bleak sequence of events: homeowners defaulting on mortgages, trillions of dollars of mortgage-backed securities unraveling worldwide and the global financial system shuddering to a halt. These developments, he went on, could cripple or destroy hedge funds, investment banks and other major financial institutions like Fannie Mae and Freddie Mac.

The audience seemed skeptical, even dismissive. As Roubini stepped down from the lectern after his talk, the moderator of the event quipped, “I think perhaps we will need a stiff drink after that.” People laughed — and not without reason. At the time, unemployment and inflation remained low, and the economy, while weak, was still growing, despite rising oil prices and a softening housing market. And then there was the espouser of doom himself: Roubini was known to be a perpetual pessimist, what economists call a “permabear.” When the economist Anirvan Banerji delivered his response to Roubini’s talk, he noted that Roubini’s predictions did not make use of mathematical models and dismissed his hunches as those of a career naysayer.

But Roubini was soon vindicated. In the year that followed, subprime lenders began entering bankruptcy, hedge funds began going under and the stock market plunged. There was declining employment, a deteriorating dollar, ever-increasing evidence of a huge housing bust and a growing air of panic in financial markets as the credit crisis deepened. By late summer, the Federal Reserve was rushing to the rescue, making the first of many unorthodox interventions in the economy, including cutting the lending rate by 50 basis points and buying up tens of billions of dollars in mortgage-backed securities. When Roubini returned to the I.M.F. last September, he delivered a second talk, predicting a growing crisis of solvency that would infect every sector of the financial system. This time, no one laughed. “He sounded like a madman in 2006,” recalls the I.M.F. economist Prakash Loungani, who invited Roubini on both occasions. “He was a prophet when he returned in 2007.”

Over the past year, whenever optimists have declared the worst of the economic crisis behind us, Roubini has countered with steadfast pessimism. In February, when the conventional wisdom held that the venerable investment firms of Wall Street would weather the crisis, Roubini warned that one or more of them would go “belly up” — and six weeks later, Bear Stearns collapsed. Following the Fed’s further extraordinary actions in the spring — including making lines of credit available to selected investment banks and brokerage houses — many economists made note of the ensuing economic rally and proclaimed the credit crisis over and a recession averted. Roubini, who dismissed the rally as nothing more than a “delusional complacency” encouraged by a “bunch of self-serving spinmasters,” stuck to his script of “nightmare” events: waves of corporate bankrupticies, collapses in markets like commercial real estate and municipal bonds and, most alarming, the possible bankruptcy of a large regional or national bank that would trigger a panic by depositors. Not all of these developments have come to pass (and perhaps never will), but the demise last month of the California bank IndyMac — one of the largest such failures in U.S. history — drew only more attention to Roubini’s seeming prescience.

As a result, Roubini, a respected but formerly obscure academic, has become a major figure in the public debate about the economy: the seer who saw it coming. He has been summoned to speak before Congress, the Council on Foreign Relations and the World Economic Forum at Davos. He is now a sought-after adviser, spending much of his time shuttling between meetings with central bank governors and finance ministers in Europe and Asia. Though he continues to issue colorful doomsday prophecies of a decidedly nonmainstream sort — especially on his popular and polemical blog, where he offers visions of “equity market slaughter” and the “Coming Systemic Bust of the U.S. Banking System” — the mainstream economic establishment appears to be moving closer, however fitfully, to his way of seeing things. “I have in the last few months become more pessimistic than the consensus,” the former Treasury secretary Lawrence Summers told me earlier this year. “Certainly, Nouriel’s writings have been a contributor to that.”

On a cold and dreary day last winter, I met Roubini over lunch in the TriBeCa neighborhood of New York City. “I’m not a pessimist by nature,” he insisted. “I’m not someone who sees things in a bleak way.” Just looking at him, I found the assertion hard to credit. With a dour manner and an aura of gloom about him, Roubini gives the impression of being permanently pained, as if the burden of what he knows is almost too much for him to bear. He rarely smiles, and when he does, his face, topped by an unruly mop of brown hair, contorts into something more closely resembling a grimace.

When I pressed him on his claim that he wasn’t pessimistic, he paused for a moment and then relented a little. “I have more concerns about potential risks and vulnerabilities than most people,” he said, with glum understatement. But these concerns, he argued, make him more of a realist than a pessimist and put him in the role of the cleareyed outsider — unsettling complacency and puncturing pieties.

Roubini, who is 50, has been an outsider his entire life. He was born in Istanbul, the child of Iranian Jews, and his family moved to Tehran when he was 2, then to Tel Aviv and finally to Italy, where he grew up and attended college. He moved to the United States to pursue his doctorate in international economics at Harvard. Along the way he became fluent in Farsi, Hebrew, Italian and English. His accent, an inimitable polyglot growl, radiates a weariness that comes with being what he calls a “global nomad.”

As a graduate student at Harvard, Roubini was an unusual talent, according to his adviser, the Columbia economist Jeffrey Sachs. He was as comfortable in the world of arcane mathematics as he was studying political and economic institutions. “It’s a mix of skills that rarely comes packaged in one person,” Sachs told me. After completing his Ph.D. in 1988, Roubini joined the economics department at Yale, where he first met and began sharing ideas with Robert Shiller, the economist now known for his prescient warnings about the 1990s tech bubble.

The ’90s were an eventful time for an international economist like Roubini. Throughout the decade, one emerging economy after another was beset by crisis, beginning with Mexico’s in 1994. Panics swept Asia, including Thailand, Indonesia and Korea, in 1997 and 1998. The economies of Brazil and Russia imploded in 1998. Argentina’s followed in 2000. Roubini began studying these countries and soon identified what he saw as their common weaknesses. On the eve of the crises that befell them, he noticed, most had huge current-account deficits (meaning, basically, that they spent far more than they made), and they typically financed these deficits by borrowing from abroad in ways that exposed them to the national equivalent of bank runs. Most of these countries also had poorly regulated banking systems plagued by excessive borrowing and reckless lending. Corporate governance was often weak, with cronyism in abundance.

Roubini’s work was distinguished not only by his conclusions but also by his approach. By making extensive use of transnational comparisons and historical analogies, he was employing a subjective, nontechnical framework, the sort embraced by popular economists like the Times Op-Ed columnist Paul Krugman and Joseph Stiglitz in order to reach a nonacademic audience. Roubini takes pains to note that he remains a rigorous scholarly economist — “When I weigh evidence,” he told me, “I’m drawing on 20 years of accumulated experience using models” — but his approach is not the contemporary scholarly ideal in which an economist builds a model in order to constrain his subjective impressions and abide by a discrete set of data. As Shiller told me, “Nouriel has a different way of seeing things than most economists: he gets into everything.”

Roubini likens his style to that of a policy maker like Alan Greenspan, the former Fed chairman who was said (perhaps apocryphally) to pore over vast quantities of technical economic data while sitting in the bathtub, looking to sniff out where the economy was headed. Roubini also cites, as a more ideologically congenial example, the sweeping, cosmopolitan approach of the legendary economist John Maynard Keynes, whom Roubini, with only slight exaggeration, calls “the most brilliant economist who never wrote down an equation.” The book that Roubini ultimately wrote (with the economist Brad Setser) on the emerging market crises, “Bailouts or Bail-Ins?” contains not a single equation in its 400-plus pages.

After analyzing the markets that collapsed in the ’90s, Roubini set out to determine which country’s economy would be the next to succumb to the same pressures. His surprising answer: the United States’. “The United States,” Roubini remembers thinking, “looked like the biggest emerging market of all.” Of course, the United States wasn’t an emerging market; it was (and still is) the largest economy in the world. But Roubini was unnerved by what he saw in the U.S. economy, in particular its 2004 current-account deficit of $600 billion. He began writing extensively about the dangers of that deficit and then branched out, researching the various effects of the credit boom — including the biggest housing bubble in the nation’s history — that began after the Federal Reserve cut rates to close to zero in 2003. Roubini became convinced that the housing bubble was going to pop.

By late 2004 he had started to write about a “nightmare hard landing scenario for the United States.” He predicted that foreign investors would stop financing the fiscal and current-account deficit and abandon the dollar, wreaking havoc on the economy. He said that these problems, which he called the “twin financial train wrecks,” might manifest themselves in 2005 or, at the latest, 2006. “You have been warned here first,” he wrote ominously on his blog. But by the end of 2006, the train wrecks hadn’t occurred.

Recessions are signal events in any modern economy. And yet remarkably, the profession of economics is quite bad at predicting them. A recent study looked at “consensus forecasts” (the predictions of large groups of economists) that were made in advance of 60 different national recessions that hit around the world in the ’90s: in 97 percent of the cases, the study found, the economists failed to predict the coming contraction a year in advance. On those rare occasions when economists did successfully predict recessions, they significantly underestimated the severity of the downturns. Worse, many of the economists failed to anticipate recessions that occurred as soon as two months later.

The dismal science, it seems, is an optimistic profession. Many economists, Roubini among them, argue that some of the optimism is built into the very machinery, the mathematics, of modern economic theory. Econometric models typically rely on the assumption that the near future is likely to be similar to the recent past, and thus it is rare that the models anticipate breaks in the economy. And if the models can’t foresee a relatively minor break like a recession, they have even more trouble modeling and predicting a major rupture like a full-blown financial crisis. Only a handful of 20th-century economists have even bothered to study financial panics. (The most notable example is probably the late economist Hyman Minksy, of whom Roubini is an avid reader.) “These are things most economists barely understand,” Roubini told me. “We’re in uncharted territory where standard economic theory isn’t helpful.”

True though this may be, Roubini’s critics do not agree that his approach is any more accurate. Anirvan Banerji, the economist who challenged Roubini’s first I.M.F. talk, points out that Roubini has been peddling pessimism for years; Banerji contends that Roubini’s apparent foresight is nothing more than an unhappy coincidence of events. “Even a stopped clock is right twice a day,” he told me. “The justification for his bearish call has evolved over the years,” Banerji went on, ticking off the different reasons that Roubini has used to justify his predictions of recessions and crises: rising trade deficits, exploding current-account deficits, Hurricane Katrina, soaring oil prices. All of Roubini’s predictions, Banerji observed, have been based on analogies with past experience. “This forecasting by analogy is a tempting thing to do,” he said. “But you have to pick the right analogy. The danger of this more subjective approach is that instead of letting the objective facts shape your views, you will choose the facts that confirm your existing views.”

Kenneth Rogoff, an economist at Harvard who has known Roubini for decades, told me that he sees great value in Roubini’s willingness to entertain possible situations that are far outside the consensus view of most economists. “If you’re sitting around at the European Central Bank,” he said, “and you’re asking what’s the worst thing that could happen, the first thing people will say is, ‘Let’s see what Nouriel says.’ ” But Rogoff cautioned against equating that skill with forecasting. Roubini, in other words, might be the kind of economist you want to consult about the possibility of the collapse of the municipal-bond market, but he is not necessarily the kind you ask to predict, say, the rise in global demand for paper clips.

His defenders contend that Roubini is not unduly pessimistic. Jeffrey Sachs, his former adviser, told me that “if the underlying conditions call for optimism, Nouriel would be optimistic.” And to be sure, Roubini is capable of being optimistic — or at least of steering clear of absolute worst-case prognostications. He agrees, for example, with the conventional economic wisdom that oil will drop below $100 a barrel in the coming months as global demand weakens. “I’m not comfortable saying that we’re going to end up in the Great Depression,” he told me. “I’m a reasonable person.”

What economic developments does Roubini see on the horizon? And what does he think we should do about them? The first step, he told me in a recent conversation, is to acknowledge the extent of the problem. “We are in a recession, and denying it is nonsense,” he said. When Jim Nussle, the White House budget director, announced last month that the nation had “avoided a recession,” Roubini was incredulous. For months, he has been predicting that the United States will suffer through an 18-month recession that will eventually rank as the “worst since the Great Depression.” Though he is confident that the economy will enter a technical recovery toward the end of next year, he says that job losses, corporate bankruptcies and other drags on growth will continue to take a toll for years.

Roubini has counseled various policy makers, including Federal Reserve governors and senior Treasury Department officials, to mount an aggressive response to the crisis. He applauded when the Federal Reserve cut interest rates to 2 percent from 5.25 percent beginning last summer. He also supported the Fed’s willingness to engineer a takeover of Bear Stearns. Roubini argues that the Fed’s actions averted catastrophe, though he says he believes that future bailouts should focus on mortgage owners, not investors. Accordingly, he sees the choice facing the United States as stark but simple: either the government backs up a trillion-plus dollars’ worth of high-risk mortgages (in exchange for the lenders’ agreement to reduce monthly mortgage payments), or the banks and other institutions holding those mortgages — or the complex securities derived from them — go under. “You either nationalize the banks or you nationalize the mortgages,” he said. “Otherwise, they’re all toast.”

For months Roubini has been arguing that the true cost of the housing crisis will not be a mere $300 billion — the amount allowed for by the housing legislation sponsored by Representative Barney Frank and Senator Christopher Dodd — but something between a trillion and a trillion and a half dollars. But most important, in Roubini’s opinion, is to realize that the problem is deeper than the housing crisis. “Reckless people have deluded themselves that this was a subprime crisis,” he told me. “But we have problems with credit-card debt, student-loan debt, auto loans, commercial real estate loans, home-equity loans, corporate debt and loans that financed leveraged buyouts.” All of these forms of debt, he argues, suffer from some or all of the same traits that first surfaced in the housing market: shoddy underwriting, securitization, negligence on the part of the credit-rating agencies and lax government oversight. “We have a subprime financial system,” he said, “not a subprime mortgage market.”

Roubini argues that most of the losses from this bad debt have yet to be written off, and the toll from bad commercial real estate loans alone may help send hundreds of local banks into the arms of the Federal Deposit Insurance Corporation. “A good third of the regional banks won’t make it,” he predicted. In turn, these bailouts will add hundreds of billions of dollars to an already gargantuan federal debt, and someone, somewhere, is going to have to finance that debt, along with all the other debt accumulated by consumers and corporations. “Our biggest financiers are China, Russia and the gulf states,” Roubini noted. “These are rivals, not allies.”

The United States, Roubini went on, will likely muddle through the crisis but will emerge from it a different nation, with a different place in the world. “Once you run current-account deficits, you depend on the kindness of strangers,” he said, pausing to let out a resigned sigh. “This might be the beginning of the end of the American empire.”