September 26, 2008

Operation Haik: Part Two

Tanggal 18 Mei 1958, pesawat B-26 dengan pilot Amerika Allen Pope terbang dari markas pemberontak untuk sebuah misi pengeboman. Pengarahan yang singkat dan jelas diberikan orang CIA yang bertanggung jawab atas misi ini:

“Informasi kita menyebutkan ada iring-iringan kapal pemerintah yang bergerak ke arah kepulauan Morotai di arah utara kepulauan Maluku.”

“Dimana iring-iringan itu sekarang?” tanya Pope.

“Mereka baru saja meninggalkan pulau Ambon. Kemungkinan posisi mereka masih ada di sekitar pelabuhan keberangkatan. Selamat terbang!”

Pesawat telah dilengkapi dengan bahan bakar penuh, bom dan machine gun. Pada saat mencapai perairan Ambon dan berhasil mengintai iring-iringan kapal Indonesia, keberadaan pesawat B-26 justru diketahui tentara Indonesia dan beberapa diantaranya mulai menembaki pesawatnya. Saat Pope akan membalas tembakan tersebut, serangan tembakan yang datang berikutnya justru bertambah banyak dan besar yang berasal dari semua jenis persenjataan. Akibatnya pesawat B-26 mulai mengalami getaran hebat dan Pope mulai kehilangan kontrol atas pesawat dan berusaha untuk kembali ke markas.

P-51 milik pasukan pemerintah hanya membutuhkan sekali tembakan untuk menjatuhkan pesawat B-26 ke laut. Pope dan operator radionya berhasil lompat dari B-26 sebelum pesawat tersebut hancur ke laut. Bagi Pope, CIA dan Presiden Eisenhower, kekhawatiran mereka baru saja dimulai.

Pope dan operator radionya akhirnya ditangkap oleh kapal Indonesia yang menyerang mereka. Ironisnya, dia juga melihat keberhasilan serangan pasukan pemerintah di Morotai, sebuah daerah yang seharusnya dia lindungi dalam misinya. Penangkapan Pope menjadi peristiwa yang sangat memalukan bagi Washington. Pemerintah Amerika sendiri secara resmi menyangkal keterlibatan mereka dalam mendukung gerakan pemberontak di Indonesia. Di Jakarta, Dubes Amerika untuk Indonesia mengatakan pilot warga negara Amerika yang tertangkap tersebut mungkin seorang serdadu sewaan yang membela pemberontak. CIA berharap Pope tidak membawa dokumen yang menidentifikasikan dirinya saat ditangkap. Sebagai seorang pilot senior yang pernah terlibat di Perang Korea dan operasi di Indochina, Pope diyakini CIA mampu mengatasi hal ini. Amerika seperti bermain api dalam hal ini, yang dapat menyulut Perang Dunia III seperti yang diperingatkan Sukarno.

Tetapi harapan itu sia-sia, karena saat penangkapan Pope, Indonesia menemukan kartu identitas US Air Force dan Civil Air Transport (CAT) dan juga kontraknya untuk Operasi Haik beserta 2 atau 3 dokumen lainnya yang tak kalah penting. Hubungan Pope dengan US Air Force dan lebih serius lagi dengan CAT membuat Indonesia meyakini adanya keterlibatan CIA. Prosedur CIA sendiri sangat tegas untuk tidak akan mengakui dokumen-dokumen yang dibawa oleh Pope. Karena status sebagai seorang pilot dengan misi dari pemerintah Amerika tidak dapat dijadikan sebagai subjek untuk negoisasi, Pope yang diperankan sebagai serdadu bayaran pun terancam dieksekusi.

Sukarno menuntut permintaan maaf Amerika. Dia pun memanfaatkan Pope untuk mempermainkan pemerintah Amerika yang masih tetap tertutup. Washington secara menyedihkan membiarkan dirinya dimanipulasi dan beberapa hari kemudian Operasi Haik secara tiba-tiba dihentikan. Amerika juga mencabut embargo yang pernah mereka jatuhkan ke Indonesia. Mulai bulan Agustus 1958, pemerintah Amerika mulai mengirimkan peratalatan perang senilai jutaan dolar ke pemerintah Indonesia. Peristiwa ini meruntuhkan semangat dan kepercayaan diri pemberontak di Indonesia.

Pope kemudian diadili di pengadilan militer Indonesia dan tetap berusaha menjadi seorang serdadu bayaran. Pope diadili dengan tuduhan melaksanakan 6 misi pengeboman untuk pemberontak, membunuh 23 orang Indonesia termasuk 6 orang sipil. Tetapi Pope membantah dan menyatakan hanya melaksanakan 1 misi pengeboman yaitu saat pesawatnya ditembak jatuh. Penerbangan yang lain menurut penjelasan Pope hanya merupakan misi pengintaian.

Pope tetap menyatakan tidak bersalah tetapi pengadilan militer memutuskan Pope bersalah dan dihukum mati. Meskipun Indonesia tidak pernah melaksanakan eksekusi hukuman mati tetapi baik Washington maupun markas CIA sangat perhatian dengan kemungkinan itu. Setelah Pope dipenjara, CIA menyiapkan sebuah tim yang dilatih di Philipina untuk melarikan Pope dengan menggunakan sistem Fulton, sebuah strategi penjemputan orang di darat menggunakan balon helium dan pesawat, yang diciptakan oleh Robert Fulton. Tapi strategi ini masih menjadi perdebatan di antara mereka karena risiko yang ada. Akhirnya operasi pembebasan Pope dari penjara tidak pernah direalisasikan setelah seorang pilot yang ahli dalam sistem Fulton terbunuh dalam sebuah operasi di Laos.

Akhirnya Pope dibebaskan pada tahun 1962 setelah Kennedy terpilih sebagai Presiden Amerika dan membawa hubungan baik antara Indonesia dan Amerika. Washington tetap melanjutkan untuk membayar permintaan maafnya dengan mengirimkan 37.000 ton beras dan 4 pesawat pengangkut Hercules C-130, yang pada masa itu merupakan pesawat transportasi paling modern yang dimiliki US Air Force.

Ray Cline, mantan kepala unit CIA di Taiwan dan salah satu orang yang bertanggung jawab atas Operasi Haik berkomentar soal ini, “Masalah dari operasi bawah tanah adalah apabila ditemukan informasi yang menguak adanya keterlibatan CIA, maka akan membuat pemerintah Amerika mengubah perilakunya dengan menghentikan seluruh operasi”.

No comments: