June 05, 2009

Indonesian Airlines in Pricing Rivalry


LATAR BELAKANG
Undang-undang Nomer 15 Tahun 1992 menjadi turning point dalam perkembangan bisnis penerbangan di Indonesia, khususnya kategori penerbangan niaga berjadual. Berkat undang-undang tentang penerbangan ini, jumlah perusahaan jasa penerbangan semakin meningkat di Indonesia. Sebelum berlakunya undang-undang ini, persaingan perusahaan jasa penerbangan di Indonesia untuk kategori penerbangan niaga berjadual hanya diisi oleh Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, Bouraq Airlines dan Mandala Airlines. Berdasarkan data pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Udara Departemen Perhubungan (Dephub), industri jasa penerbangan di Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan mencapai puncaknya pada tahun 2001. Saat itu jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadual mencapai 19 buah perusahaan. Sedangkan saat ini berdasarkan data Ditjen Perhubungan Udara Dephub, jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadual tercatat sebanyak 13 buah perusahaan. Beberapa perusahaan penerbangan bertumbangan sebagai hasil ketatnya tingkat persaingan harga antar operator transportasi udara, krisis moneter yang melanda Indonesia dan dampak peristiwa 9/11 di Amerika Serikat.
Adanya perang tarif pada industri penerbangan ini antara lain disebabkan karena adanya kebijakan dari Menteri Perhubungan (Menhub) pada tanggal 1 Februari 2002 melalui Keputusan Menhub Nomer KM.8/2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan Nomer KM.9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Adapun keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas yang harus dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan tarif. Sedangkan penentuan tarif batas bawah diserahkan kepada setiap perusahaan penerbangan dengan syarat biaya operasional terutama biaya perawatan tidak dapat diturunkan untuk alasan keselamatan penerbangan. Penentuan tarif batas bawah ini dikenal dengan tarif referensi. Kebijakan inilah yang langsung menciptakan "perang terbuka" dalam menetapkan tarif angkutan udara serendah mungkin. Sebelum adanya dua surat keputusan tersebut, pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh asosiasi maskapai penerbangan nasional INACA (Indonesian National Air Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs dolar AS, yaitu 11 sen per seat per kilometer.

LOW COST CARRIER DAN LOW FARE CARRIER
Di dunia penerbangan internasional pada tahun 1990an muncul sebuah konsep baru mengenai model penerbangan yang unik dengan strategi penurunan biaya operasional. Konsep tersebut muncul sebagai lawan dari full service carrier (FSC) yang diadopsi maskapai penerbangan untuk kenyamanan para penumpangnya. Konsep ini dikenal sebagai low cost carrier (LFC) yang sering juga disebut dengan budget airlines atau no frills flight atau juga discounter carrier. Dengan melakukan efisiensi biaya di semua lini, sebuah maskapai penerbangan melakukan hal-hal diluar kebiasaan maskapai pada umumnya. Kalau perusahaan penerbangan pada umumnya melakukan penambahan layanan yang memiliki value added maka LCC justru melakukan eliminasi layanan maskapai tradisional yaitu dengan pengurangan catering, peniadaan koran atau majalah, penghapusan in flight entertainment atau minimasi reservasi dengan bantuan teknologi informasi sehingga layanan nampak sederhana dan cepat.
Pelayanan yang minimalis ini berakibat pada penurunan biaya, namun faktor safety tetap dijaga untuk menjamin keselamatan penumpang sampai ke tujuan. LCC adalah redefinisi bisnis penerbangan yang menyediakan harga tiket yang terjangkau serta layanan terbang yang minimalis. Intinya produk yang ditawarkan senantiasa berprinsip low cost untuk menekan dan mereduksi biaya operasional sehingga bisa menjaring segmen pasar bawah yang lebih luas. LCC juga menerapkan outsourcing dan karyawan kontrak terhadap SDM non vital termasuk pekerjaan ground handling pesawat di bandara.
Konsep LCC dirintis oleh maskapai Southwest di Amerika Serikat. Efisiensi yang mereka lakukan meliputi harga yang murah, teknologi, struktur biaya, rute hingga berbagai peralatan operasional yang digunakan. Keberhasilan Southwest kemudian banyak ditiru maskapai penerbangan lainnya di dunia seperti Ryanair, Shuttle, MetroJet, Delta Express, Continental Lite dan lain-lain. Mereka sebagian besar anak perusahaan dari maskapai yang lebih besar. Langkah LCC kemudian juga ditiru di Asia dengan munculnya AirAsia dengan CEO-nya Tony Fernandes dan Virgin Blue di Australia. Kemudian di Indonesia, Rusdi Kirana lewat Lion Air dan anak perusahaannya Wings Airlines juga pernah mengklaim perusahaannya sebagai maskapai penerbangan LCC.
Menurut Joko Sugiarsono, seorang pengamat dunia penerbangan nasional, di Indonesia belum ada maskapai penerbangan yang bisa disebut menerapkan pola bisnis LCC sejati karena biaya operasional beberapa maskapai nasional yang mengklaim sebagai LCC di Indonesia masih diatas rata-rata maskapai LCC pada umumnya, termasuk diantaranya Lion Air. Banyak analisis keuangan masih menyatakan bahwa cost per available seat miles dari beberapa maskapai yang dianggap LCC di Indonesia masih berada diatas ambang standard operating cost dari suatu LCC yang sejati. Namun karena price structure-nya sendiri sudah sesuai dengan konsep LCC, maka akan lebih tepat disebut sebagai low fare carrier (LFC) karena hanya menawarkan harga murah tetapi belum sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip LCC dimana struktur cost dan produktifitas maskapai masih tergolong mahal. Adanya konsep LFC tentu sangat menguntungkan konsumen transportasi di Indonesia karena mereka dihadapkan pilihan menggunakan transportasi udara yang berbiaya murah dan cepat. Seringkali harganya jauh lebih murah dari perjalanan darat dengan bus atau kereta api yang membutuhkan waktu lebih lama.

KARAKTER KONSUMEN
Konsep LFC yang digunakan banyak maskapai penerbangan Indonesia melalui penerapan tarif murah sejalan dengan hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh YLKI pada tahun 2003 terhadap rute penerbangan Jakarta-Medan, Jakarta-Batam, Jakarta-Yogyakarta dan Jakarta-Pekanbaru, alasan yang paling sering dipakai oleh responden untuk memilih salah satu operator angkutan udara adalah harga tiket yang murah. Alasan tersebut sangat masuk akal karena naluri konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk secara alamiah adalah berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin, hal ini sesuai dengan prinsip utility maximisation. Survey YLKI yang dilakukan terhadap 600 orang responden penumpang pesawat udara di bandar udara internasional Soekarno-Hatta menghasilkan komposisi utama alasan pemilihan maskapai penerbangan sebagai berikut: harga murah (28%), pelayanan baik (18%), tepat waktu (7%), keamanan/keselamatan (6,17%), jadual/jaringan banyak (6%) dan kenyamanan (5,67%).
Selanjutnya dari responden tersebut sebanyak 32,8% berpendapat bahwa persaingan harga tiket pesawat terbang seharusnya dibiarkan karena konsumen dapat diuntungkan dari adanya persaingan tersebut. Sebanyak 41,3% responden kurang setuju dengan alasan persaingan harga tiket antar maskapai penerbangan akan merugikan maskapai penerbangan lainnya. Dari data tersebut disimpulkan bahwa persaingan antara operator angkutan udara memberikan keuntungan kepada konsumen karena konsumen dapat memperoleh kemudahan dalam memilih operator angkutan udara yang memberikan penawaran harga tiket terendah. Meskipun demikian sebanyak 35,8% orang responden setuju apabila pemerintah tetap perlu untuk membuat aturan yang ketat tentang harga tiket pesawat terbang.

MARKET SHARE
Berdasarkan data Annual Report 2007 yang dikeluarkan INACA, terlihat bahwa industri penerbangan di Indonesia hanya didominasi oleh 9 maskapai penerbangan pada tahun 2007 dengan 3 diantaranya tidak bergabung dalam INACA yaitu Adam Air, Wings Airlines dan AirAsia. Dengan sudah tidak beroperasinya Adam Air menyusul tragedi jatuhnya pesawat mereka di perairan Sulawesi, praktis saat ini persaingan penerbangan di Indonesia diikuti oleh 8 pemain utama. Meskipun demikian masing-masing maskapai memiliki strategi yang akan membedakan jasa penerbangan yang mereka lakukan. Dalam pembahasan strategi yang digunakan perusahaan penerbangan, penulis akan fokus pada 3 maskapai yaitu Garuda Indonesia, AirAsia dan Lion Air.
Berdasarkan komposisi market share-nya, struktur pasar konsumen maskapai penerbangan berbentuk pasar oligopolistik. Pasar oligopolistik adalah suatu bentuk persaingan pasar yang didominasi oleh beberapa produsen atau penjual dalam satu wilayah area. Struktur pasar ini memiliki beberapa sifat yaitu harga produk yang dijual relatif sama, pembedaan produk yang unggul merupakan kunci sukses, sulit masuk ke pasar karena butuh sumber daya yang besar dan perubahan harga akan diikuti perusahaan lain.

KOMPOSISI HARGA TIKET PESAWAT
Sebelum membahas lebih lanjut persaingan harga tiket di industri penerbangan, dibawah ini adalah komponen-komponen yang ada dalam penentuan sebuah harga tiket pesawat, yaitu:
Pertama, tarif dasar, merupakan tarif promosi yang sering diiklankan oleh maskapai, umumnya tarif dasar ini berdasarkan tarif subclass atau bertingkat dari harga murah kemudian berjenjang ke harga yang lebih tinggi sesuai dengan tingkat layanan yang diberikan oleh maskapai. Semakin mahal harga tarif dasarnya, maka biasanya semakin bagus layanan dan value added services yang diperoleh calon penumpang
Kedua, komponen tarif pajak dari pemerintah untuk penerbangan domestik yang biasanya bernilai 10% dari tarif dasar.
Ketiga, tarif asuransi atau sering disebut IWJR.
Keempat, tarif fuel surcharge (FS), yaitu tarif tambahan yang dikenakan sesuai kebijakan masing-masing maskapai yang nilainya bisa berbeda antara rute yang satu dengan rute yang lain, di mana tarif FS dibuat akibat adanya seringnya terjadi perubahan terhadap harga fuel atau avtur, yang merupakan dampak tidak stabilnya harga minyak dunia pada saat ini.
Oleh karena itu, jika kita melihat banyak perusahaan penerbangan gencar mempromosikan harga tiket murah seperti banyak diiklankan di media massa, maka calon penumpang tidak akan membayar sesuai dengan yang diiklankan tersebut. Perusahaan penerbangan hanya mencantumkan tarif dasarnya saja dalam berpromosi, sehingga harga keseluruhan yang harus dibayar oleh calon penumpang bisa jauh lebih besar dari tarif yang dipromosikan karena harga tiket yang dipromosikan belum ditambah oleh komponen biaya lainnya seperti asuransi, pajak, dan komponen tarif FS. Tetapi ada juga perusahaan penerbangan yang tidak memasukkan tarif FS dalam komponen harga tiketnya seperti yang diterapkan oleh AirAsia.

PRICING RIVALRY
Berdasarkan penjelasan dynamics of pricing rivalry dalam buku Economics of Strategy karangan Besanko, Dranove, Shanley and Schaefer, dalam pasar oligopolistik keputusan harga biasanya berada di segelintir pemain, walaupun berada diantara banyak pemain. Dalam konsep cooperative pricing, sebagai price leaders, segelintir pemain ini bisa membuat skema sebagai berikut: perusahaan oligopoli berkonspirasi dan berkolaborasi untuk membuat harga monopoli dan mendapatkan keuntungan dari harga monopoli ini, pemain oligopoli akan berkompetisi dalam harga sehingga harga dan keuntungan menjadi sama dengan pasar kompetitif serta harga dan keuntungan oligopoli akan berada antara harga di pasar monopoli dan pasar kompetitif.
Mardiharto Tjokrowasito, seorang peneliti dari Bappenas, mengutip Koran Tempo tanggal 10 April 2002 untuk menggambarkan perang tarif penerbangan domestik di Indonesia, khususnya pada rute Jakarta-Surabaya yang merupakan salah satu jalur gemuk (golden route). Saat itu jalur penerbangan Jakarta-Surabaya dilayani oleh 6 perusahaan penerbangan, yaitu Garuda Indonesia, Mandala Airlines, Bouraq Airlines, Star Air, Kartika Airlines, dan Indonesian Airlines (IA). Adanya perang tarif tersebut terlihat antara IA, sebagai maskapai penerbangan baru pada masa itu dan Garuda sebagai maskapai penerbangan yang sudah lama beroperasi. IA adalah maskapai penerbangan baru mulai mulai beroperasi pada akhir Maret 2002. Pada jalur Jakarta-Surabaya, IA menetapkan tarif sebesar Rp 530 ribu. Garuda sebagai maskapai penerbangan terbesar tidak mau kalah dan menurunkan tarifnya dari Rp 600 ribu menjadi Rp 499 ribu. Merespon hal tersebut IA menurunkan harga tiketnya lagi dari Rp 530 ribu menjadi Rp 390 ribu, sementara itu maskapai penerbangan lain juga melakukan penyesuaian harga tiketnya seperti Kartika dan Pelita langsung mematok tarif Rp 336 ribu dan Rp 333 ribu. Menanggapi hal tersebut Garuda ternyata justru merevisi kembali harga tiket penerbangan rute Jakarta-Surabaya dari harga promosi yang sekarang yaitu Rp 499 ribu kembali pada harga yang biasa (published rate) yaitu Rp 650 ribu.
Cerita diatas menggambarkan ketatnya persaingan industri penerbangan domestik yang sudah menjurus pada hyper competition alias persaingan gila-gilaan. Hyper competition dengan model perang harga memang sudah tak bisa dihindari dalam penerbangan domestik sejak Menhub menetapkan batas atas dan tarif referensi pada tarif penerbangan. Murahnya harga tiket pesawat oleh maskapai penerbangan yang mengklaim dirinya sebagai penerbangan LCC mengakibatkan maskapai tradisional lain mau tidak mau harus menurunkan harga tiketnya, baik melalui sistem tarif promo atau penerapan tarif subclass berdasarkan jangka waktu pemesanan tiket. Tetapi tidak semua perusahaan penerbangan akhirnya larut dalam perang tarif, seperti Garuda Indonesia, karena adanya diferensiasi dalam produk mereka melalui kelebihan pelayanan dan brandvalue atau brand image yang dimiliki. Berikut ini akan diuraikan strategi yang digunakan 3 (tiga) perusahaan penerbangan, yaitu Garuda Indonesia, AirAsia dan Lion Air dalam menghadapi hyper competition.

Garuda Indonesia
Sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memudahkan pendirian sebuah maskapai penerbangan, banyak bermunculan maskapai penerbangan baru. Hal ini tentu menambah tingkat persaingan antar maskapai. Dampak persaingan ini adalah semakin murahnya harga tiket pesawat yang menguntungkan konsumen. Untuk menjawab tantangan itu Garuda Indonesia selaku maskapai yang sudah cukup berpengalaman di Indonesia ternyata mempunyai strategi untuk memenangkan persaingan. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem marketing yang terencana dan terpadu. Bentuk strategi marketing yang ditawarkan Garuda Indonesia adalah etravel. Garuda Indonesia berupaya mewujudkan kenyaman dan ketepatan bagi pelanggannya untuk melakukan perjalanannya. Selain itu untuk menjawab tantangan persaingan yang semakin tinggi Garuda meluncurkan layanan Citilink yang menawarkan penerbangan murah dengan mengedepankan ketepatan waktu.
Pada umumnya perusahaan penerbangan di Indonesia memandang krisis, dalam hal ini kecelakaan pesawat, sebagai sebuah ancaman (threat) sehingga ditangani dengan sikap defensif. Padahal jika jeli melihatnya, krisis bisa diubah menjadi sebuah peluang. Hal ini karena ketika krisis menimpa sebuah perusahaan tentunya mereka akan mendapatkan publikasi yang cukup besar. Kuncinya dalam hal ini adalah perusahan itu harus mampu mengontrol informasi. Bersikap defensif tidak akan menyelesaikan krisis, hal ini justru kan merusak brand image perusahaan tersebut. Dalam dunia pemasaran, brand image adalah kumpulan asosiasi merek yang saling berkaitan. Bila image merek terganggu karena terjadinya suatu krisis yang tidak dapat ditangani dengan baik, maka harus ada perbaikan dalam asosiasi dari merek tersebut. Dalam sebuah perusahaan penciptaan dan perbaikan brand image biasanya menjadi tanggung jawab public relations.
Sebagai sebuah perusahaan penerbangan yang mempunyai pengalaman yang cukup lama di Indonesia, Garuda telah mempunyai metode penanganan krisis (kecelakaan pesawat) yang baku dan terlatih. Dalam kecelakaan GA-200 di Yogyakarta pada bulan Maret 2007, Garuda Indonesia telah melakukan tindakan tepat yaitu menangani krisis dengan mengunakan pendekatan komunikasi dan sepenuh hati menunjukan rasa tanggung jawabnya. Informasi mengenai kecelakaan mudah diakses dan korban beserta keluarganya tidak terlantar. Uang simpati berupa uang asuransi, uang simpati dan biaya pengganti bagasi dibayarkan kepada seluruh penumpang dalam waktu kurang dari 1 bulan.
Bentuk tanggung jawab tersebut diperkuat dengan sikap Presiden Direktur Garuda Indonesia Emirsya Satar yang bersikap kooperatif dengan wartawan dan langsung terjun ke lokasi kejadian sesaat setelah accident GA-200 terjadi. Emirsyah Satar tidak segan untuk meminta maaf dan menyampaikan rasa simpati kepada semua pihak. Hal ini membedakan Garuda Indonesia dengan maskapai penerbangan domestik lain dalam hal penanganan kasus kecelakaan. Umumnya maskapai penerbangan domestik lain lebih bersikap defensif dan terkesan tidak siap jika sebuah kecelakaan menimpa armadanya.
Garuda Indonesia tidak larut dalam perang harga karena mereka kembali ke positioning perusahaan FSC yang berorientasi pada jasa (service orientation) setelah sebelumnya sempat berorientasi pada pasar (market orientation). Hal ini dilakukan karena customer satisfaction konsumen terhadap pelayanan Garuda masih cukup menggembirakan. Garuda Indonesia juga menetapkan dirinya bermain pada pasar premium yaitu menyasar konsumen penerbangan kelas menengah ke atas. Sedangkan pasar menengah ke bawah diserahkan ke Citilink dengan manajemen terpisah. Akibatnya secara tactical decision, market share pasar konsumen penerbangan Garuda semakin tergerus dari tahun ke tahun. Tetapi secara strategic decision, keputusan tersebut justru menguatkan segmen Garuda di pasar premium dan bahkan mereka menjadi monopoli di pasar tersebut. Dalam aspek profit taking, kinerja perusahaan juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

AirAsia
Meniru konsep LCC yang dianut Southwest di Amerika Serikat dan Ryanair di Inggris, Tony Fernandes mendirikan perusahaan penerbangan AirAsia di Malaysia. Segera setelah strategi dan cara yang ditempuh berhasil, AirAsia pun melebarkan sayapnya ke Indonesia, Singapura dan Thailand. Tony Fernandes berkali-kali menyatakan bahwa AirAsia memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan maskapai penerbangan besar di Malaysia, Indonesia atau Thailand karena mereka fokus pada kelas konsumen yang sensitif terhadap harga dan mereka yang sebelumnya tidak pernah membayangkan bisa naik pesawat terbang.
Untuk memastikan rendahnya harga jual tiket AirAsia, Tony Fernandes melancarkan strategi penghematan di segala bidang sebagai nafas perusahaan. Beberapa diantaranya adalah dengan menghapuskan hidangan makanan dalam pesawat, satu rute penerbangan hanya memakan waktu 3 – 3,5 jam perjalanan sehingga untuk penerbangan pulang pergi AirAsia hanya menggunakan awak pesawat yang sama dan tidak ada gaji lembur maupun akomodasi, pesawat AirAsia lepas landas dan mendarat di landasan udara termurah, pelanggan disarankan untuk membeli tiket melalui internet sehingga menghemat sewa konter dan gaji petugas, pesawat AirAsia tidak menggunakan garbarata di bandara, AirAsia membeli bahan bakar pesawat dengan membayar di muka dan AirAsia menggunakan pesawat Airbus yang kapasitas seatsnya lebih banyak. Bahkan Tony Fernandes mengklaim kantornya adalah yang terkecil dan terhemat diantara seluruh airlines di dunia. Salah satu indikator dari keberhasilan strategi penghematan ini adalah tidak dimasukkannya tarif FS dalam komponen harga tiket penerbangan AirAsia. Pada masa tertentu dan untuk kuota jumlah kursi tertentu, AirAsia juga menerapkan strategi tarif promo dengan harga tiket dibawah harga normal untuk mengantisipasi kosongnya kursi pesawat.
Memasuki pasar penerbangan Indonesia, AirAsia harus siap menghadapi perang harga diantara maskapai. Konsep LCC yang diusung AirAsia harus menghadapi banyaknya maskapai penerbangan Indonesia yang mengklaim menggunakan konsep LCC walaupun pada kenyataannya lebih tepat disebut LFC. Strategi lain apa yang dilakukan AirAsia menghadapi perang harga yang sengit? Cabin AirAsia dan tray table dibuat tidak polos dengan ditempeli stiker sebuah merek produk yang tengah gencar membangun image sebagai produk global. Sementara cabin airlines lain diusahakan bersih dan elegan, cabin AirAsia justru menjadi sarana promosi dan sumber pemasukan. AirAsia juga memperhatikan fast turn-around sebagai salah satu key perfomance indicator yaitu menghitung selisih menit kedatangan dan keberangkatan disuatu bandara. Menurut mereka pesawat akan bernilai ekonomis ketika ia terbang di udara. Sedangkan di terminal, di darat, pesawat justru tak perlu berlama-lama.
Untuk menambah turnover, AirAsia menjual makanan dan minuman selama penerbangan termasuki mie instan. Menariknya, AirAsia juga berjualan merchandise seperti topi, t-shirt, baby jumper, magic bag atau mini airplane berlogo Air Asia. Pramugari Air Asia pun dituntut tak berjarak dengan penumpang. Mereka akan dengan ramah, tanpa segan, mengobrol dengan penumpang. Mereka tahu bahwa bahwa mengobrol adalah bagian dari customer intimacy strategy yang akan berdampak pada Rupiah Customer Spending selama penerbangan. Terakhir, AirAsia sangat mengutamakan faktor keselamatan pesawat-pesawatnya, tarif murah hanya menganggu kenyamanan penerbangan tetapi tidak untuk keselamatan penerbangan. Khusus untuk pasar Indonesia, AirAsia membeli 20 pesawat baru Airbus A320 pada tahun 2007.
Keseragaman penggunaan pesawat Airbus A320 bukannya tanpa tujuan. Dengan penerbangan seluruhnya menggunakan armada A320, AirAsia ingin memperoleh keuntungan dari penghematan biaya pemeliharaan pesawat. AirAsia tidak perlu menyediakan stok cadangan yang bermacam macam. Pembelian spare part pun bisa dilakukan sekaligus dalam jumlah besar karena armada yang digunakan sejenis sehingga biaya pembelian spare part dapat lebih ditekan. Dengan hanya menggunakan pesawat satu tipe, diharapkan bisa mempercepat waktu penyediaan (turnaround time) pesawat dan menyederhanakan pemeliharaan.
Sebagai totalitas penerapan LCC, AirAsia telah membangun bandara LCC di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) dan berencana membangun bandara sejenis di Bandara Sukarno-Hatta dan Thailand. Hal ini juga sejalan dengan ambisi AirAsia menjadi maskapai penerbangan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Bahkan AirAsia melakukan kerjasama dengan klub sepakbola terpopuler di dunia Manchester United untuk menancapkan imagenya. Selain di Asia Tenggara, AirAsia berencana berekspansi ke Australia, China, Korea Selatan, Jepang dan Timur Tengah. Tetapi status mereka sebagai maskapai asing dari Malaysia, agak membatasi sikap agresif mereka membuka rute penerbangan di Indonesia.
Dengan demikian, AirAsia sangat fokus menggarap segmen pasar menengah ke bawah dengan menegaskan status mereka sebagai perusahaan penerbangan LCC. Sebuah konsep yang mengandalkan rendahnya harga karena keunggulan di minimalisasi biaya operasional dan meninggalkan keunggulan kenyamanan dalam bertransportasi udara tanpa mengurangi tingkat keselamatan pesawat. Beberapa pernyataan yang dikeluarkan Tony Fernandes untuk menegaskan keberadaan AirAsia sebagai maskapai LCC disertai langkah-langkah strategis untuk mendukung klaim tersebut, membuat AirAsia mempunyai positioning yang jelas di mata calon konsumen penerbangan Indonesia. AirAsia identik dengan tarif murah tanpa mengurangi keselamatan penerbangan. Sebuah hal menguntungkan dari hasil strategic decision manajemen. Meskipun jika ditinjau dari tactical decision, penerapan harga murah justru memicu reaksi agresif dari para pesaingnya dengan melakukan cara yang sama.

Lion Air
Pada awal berdirinya Lion Air langsung menerapkan strategi LFC (diklaim sebagai LCC) yang mengandalkan tarif murah pada tiap rute pesawatnya. Strategi ini berhasil, Lion Air sukses bertahan dan bahkan saat ini menjadi maskapai penerbangan terbesar kedua di Indonesia berdasarkan data INACA. Keberhasilan ini juga didukung oleh banyaknya jumlah pesawat yang melayani banyak rute penerbangan di Indonesia. Berdasarkan data INACA Lion Air merupakan maskapai nasional dengan jumlah pesawat yang dimiliki terbanyak kedua setelah Garuda Indonesia. Secara head to head, Lion Air berhadapan langsung dengan AirAsia pada ceruk pasar yang sama, konsumen yang sensitif terhadap harga.
Lantas apa strategi yang dilakukan Lion Air menghadapi ketatnya perang harga di dunia penerbangan. Lion Air ternyata menjadi perusahaan penerbangan yang memberikan komisi paling besar ke travel agent. Jika maskapai penerbangan lain rata-rata hanya memberikan komisi sebesar 2-3 persen maka Lion Air berani memberikan komisi kepada travel agent hingga sebesar 5 persen. Dampaknya hampir semua travel selalu mengarahkan dan menawarkan Lion Air sebagai penerbangan utama. Salah satu kelebihan lain dari Lion Air, hingga tahun 2005 Lion Air menempati Terminal Dua Bandara Soekarno-Hatta. Hal ini memberikan para penumpang kemudahan penerbangan sambungan ke Indonesia atau dari Indonesia ke tujuan internasional lainnya, selain memberikan keuntungan lebih dari segi prestise karena mayoritas perusahaan penerbangan lokal atau penerbangan domestik hanya menempati Terminal Satu.
Sayang, sebagian besar pesawat yang digunakan oleh Lion Air adalah pesawat yang sudah cukup berumur dengan didominasi pesawat MD80 dan sebagian menyewa pesawat dari perusahaan lain yang biasanya sudah tua. Dengan menggunakan pesawat sewaan, keuntungannya maskapai tidak perlu mengeluarkan biaya modal yang besar pada tahap awal operasi. Meskipun biaya modal dapat ditekan, sebenarnya strategi ini menyebabkan biaya operasional membengkak. Selain biaya perawatan, biaya pemakaian bahan bakar akan meningkat dan menjadi sangat terasa pada kondisi saat ini. Biaya bunga yang cukup besar juga merupakan beban bagi maskapai penerbangan. Akibatnya, kecurigaan bahwa pesawat tidak mendapatkan perawatan yang semestinya, timbul di masyarakat pengguna jasa. Padahal, dalam rangka menekan biaya operasional, keselamatan penerbangan juga dapat ditingkatkan dengan mengganti pesawat lama dengan pesawat baru. Lion Air juga termasuk dalam deretan maskapai penerbangan nasional yang beberapa kali mengalami kecelakaan.
Tetapi pada tahun 2007 Lion Air mengubah paradigma biaya operasionalnya. Maskapai penerbangan nasional terbesar kedua ini mendatangkan 60 pesawat Boeing 737-900ER yang peluncuran perdananya dilakukan di pabrik Boeing, Seattle, Amerika Serikat pada tahun 2006 dengan nilai transaksi pembelian pesawat sebesar USD 3,9 miliar. Kehadiran pesawat baru dan seragam ini diharapkan memangkas biaya operasional dari biaya perawatan. Biaya perawatan pesawat merupakan salah satu pos biaya yang cukup besar dalam operasional penerbangan, mencapai 12-20 persen. Dengan penghematan biaya perawatan tersebut, biaya operasional juga akan turun secara cukup signifikan. Penggunaan pesawat yang lebih muda akan meningkatkan keselamatan penerbangan karena kondisinya relatif lebih baik.
Pembelian pesawat-pesawat baru ini justru digunakan Lion Air untuk mulai meninggalkan konsep LFC dengan tarif murahnya dan hal tersebut dinyatakan langsung oleh Rusdi Kirana sebagai CEO Lion Air setelah memberi keterangan tentang Rapat Umum Anggota INACA Tahun 2007. Menurut Rusdi Kirana, tarif murah lambat laun akan ditinggalkan penumpang. Pengguna jasa penerbangan lebih memilih kenyamanan dan keamanan. Untuk itu, Lion Air memilih berinvestasi dengan mendatangkan pesawat baru dan memperbaiki peningkatan sistem teknologi informasi yang memudahkan penumpang, seperti mobile checking, Lion Passport, drive thru check in, Lion Credit Card dan internet booking. Kursi pesawat juga dibedakan menjadi kelas bisnis dan kelas ekonomi.
Rusdi Kirana juga menyatakan perubahan konsep penerbangan Lion Air dari konsep penerbangan murah ke layanan penuh (full service atau FSC) seiring dengan kedatangan pesawat baru Boeing 737-900ER. Layanan penuh yang diberikan Lion Air antara lain seperti pemberian makanan dan minuman ringan di pesawat. Meskipun demikian Lion Air tetap menyasar pasar menengah ke bawah dengan mengenakan tarif penerbangan yang masih bisa dijangkau segmen tersebut dengan sistem tarif subclass pada kelas ekonomi. Penentuan harga tiket pesawat didasarkan pada jangka waktu pemesanan tiket oleh calon penumpang. Semakin lama calon penumpang memesan tiket dari hari keberangkatan, maka harga tiket pesawat yang didapat akan semakin murah.
Langkah berikutnya Lion Air melakukan ekspansi ke negeri jiran Malaysia dengan menggandeng mitra lokal di Langkawi, Kedah. Langkah Lion Air ini tentu saja menjadi tantangan bagi AirAsia yang berambisi menjadi maskapai penerbangan terbesar di Asia Tenggara dengan konsep LCC-nya. Langkah Lion Air membeli puluhan pesawat baru dan sedikit menaikkan tarif penerbangannya mungkin secara tactical decision tidak menguntungkan perusahaan, tetapi secara strategic decision menguntungkan perusahaan karena akan memangkas besarnya biaya operasional dari biaya perawatan dan munculnya image penerbangan yang mengutamakan keselamatan serta perusahaan penerbangan full service (FSC) tetapi bertarif murah.

KONKLUSI
Meskipun bersaing dalam pasar penerbangan domestik, baik Garuda Indonesia, AirAsia dan Lion Air memiliki strategi berbeda menyikapi perang harga yang terjadi dalam bisnis penerbangan Indonesia. Garuda Indonesia memposisikan dirinya sebagai penerbangan FSC pada pangsa pasar menengah ke atas dengan sangat mengutamakan sisi pelayanan atau kenyamanan penerbangan. AirAsia dan Lion Air bermain pada pasar yang sama yaitu menengah ke bawah. Perbedaannya AirAsia sangat mencitrakan dirinya sebagai perusahaan LCC dengan keunggulan di sisi keselamatan dan ketepatan waktu. Sedangkan Lion Air mulai meninggalkan konsep LFC dan beralih ke penerbangan FSC dengan mempertahankan klasifikasi harga terjangkau pada tarif penerbangannya melalui sistem tarif subclass untuk kursi ekonomi. Sehingga dari sisi penentuan harga atau tarif penerbangan, tidak terdapat cooperative pricing diantara ketiga maskapai tersebut.
Tetapi secara garis besar, ada 4 (empat) hal yang bisa menjadi nilai pembanding dari ketiga maskapai tersebut, yaitu harga tiket, kecepatan, kenyamanan dan keselamatan. Garuda Indonesia sebagai maskapai FSC di kelas premium mempunyai nilai tinggi di kenyamanan penerbangan, nilai menengah di kecepatan waktu dan keselamatan penerbangan dan nilai rendah di harga tiket pesawat. AirAsia sebagai maskapai LCC mempunyai nilai tinggi di harga tiket pesawat, kecepatan waktu dan keselamatan penerbangan serta nilai rendah di kenyamanan penerbangan. Lion Air sebagai maskapai LFC yang berubah ke FSC di kelas menengah ke bawah, mempunyai nilai menengah di harga tiket pesawat dan kenyamanan penerbangan serta nilai rendah di kecepatan waktu dan keselamatan penerbangan.

No comments: