June 04, 2009

Red Light Economy

Pendahuluan

Sritua Arief pernah mengangkat tema black economy di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Pembangunan dan Kebijaksanaan Ekonomi (Arief: 1993). Yang dimaksudkan dengan black economy di sini adalah bagian dari ekonomi bawah tanah (underground economy) yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi formal namun melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku (ilegal) dan kegiatan-kegiatan ekonomi informal yang disebabkan oleh berbagai hal tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional. Oleh karena ada aktivitas yang ilegal maka dikenal juga sebagai black economy. Di Indonesia pemungutan pajak tidak memandang apakah itu dari hasil usaha dan sumber yang halal atau haram. Sepanjang merupakan penghasilan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi yang menerimanya, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan yang bersangkutan, dari penghasilan itu wajib dipungut pajak. Dengan kata lain black economy sebetulnya mencakup aktivitas ekonomi yang dapat dikenakan pajak bila aktivitas-aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak. Oleh sebab itu diyakini bahwa semakin besar black economy maka semakin besar besar potensi pajak yang hilang.

Menurut Aloysius Gunadi Brata (2004), beberapa kegiatan yang dapat diklasifikasikan sebagai black economy yaitu ekspor ilegal (pasir laut, BBM, kayu, kekayaan laut, satwa langka), impor ilegal (elektronik), prostitusi dan perjudian. Sedangkan Teddy Sangudi (2007) menambahkan perdagangan narkoba, minuman keras dan korupsi dalam kegiatan yang dapat dianggap sebagai black economy. Paper ini akan fokus pada pembahasan kegiatan prostitusi sebagai salah satu black economy. Alasan kenapa penulis memilih tema prostitusi karena dibandingkan dengan kegiatan black economy lainnya, kegiatan prostitusi lebih banyak dan lebih terbuka diulas di beberapa sumber dan literatur, baik itu internet, buku, koran, majalah dan televisi. Penulis mencoba mengenalkan istilah red light economy sebagai bagian dari black economy untuk mendeskripsikan kegiatan prostitusi yang diam-diam disediakan oleh tempat hiburan atau tempat kesehatan yang usaha resminya mendapat ijin dari pemerintah.


Potensi Red Light Economy

Pada masa orde baru, beberapa pemerintah daerah (pemda) membuat atau memberikan tempat khusus untuk melokalisasi praktek prostitusi. Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di Bandung, Sunan Kuning di Semarang, Pasar Kembang di Jogjakarta, Selir di Solo atau Gang Dolly di Surabaya. Sebagai imbalannya, pemda-pemda tersebut memungut pajak daerah demi mengisi kas daerah untuk kepentingan pembangunan. Meskipun telah dilakukan lokalisasi, prostitusi tetap tumbuh subur di luar lokalisasi dengan praktek-praktek terselubung, seperti di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat misalnya. Pada era reformasi karena tuntutan dari masyarakat, beberapa tempat lokalisasi akhirnya harus ditutup, seperti Kramat Tunggak di Jakarta dan Saritem di Bandung.

Di salah satu episodenya, Andy F. Noya lewat acara Kick Andy di Metro TV mengundang Elizabeth Pisani, pengarang buku Kearifan Pelacur. Buku ini oleh Andy F. Noya dianggap layak diangkat di Kick Andy karena mengungkap secara gamblang industri seks di Asia terutama Indonesia. Elizabeth Pisani yang asal Inggris itu berpendapat jika kehidupan seks di Indonesia ini sudah merupakan sebuah industri besar. Sebelum Elizabeth Pisani, pada tahun 1993, Endang Sulistyaningsih dan Yudo Swasono melakukan penelitian industri seks di Indonesia untuk Universitas Mahidol di Bangkok dengan judul The Sex Industry: Prostitution and Development in Indonesia.

Hasil penelitian ini menjadi embrio terbitnya sebuah buku pada tahun 1997 berjudul Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya, ditulis oleh Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones. Buku tersebut mencoba menghitung nilai ekonomis industri seks komersial, yang ternyata jumlahnya tidak main-main. Diperkirakan terdapat 140.000 - 230.000 pelacur dari berbagai segmen dengan penghasilan per tahun berkisar antara 1,18 milyar dollar Amerika (dengan kurs valuta asing pada tahun 1997 menjadi sekitar Rp 2,95 trilyun) sampai 3,3 milyar dollar Amerika (dengan kurs valas pada tahun 1997 menjadi sekitar Rp 8,25 trilyun). Perkiraan ini belum termasuk perhitungan pendapatan dari aktivitas pelacuran laki-laki dan waria. (Hull, Sulistyaningsih, Jones: 1997). Apabila kita menghitung menggunakan kurs dollar Amerika saat ini yang sudah menembus Rp. 11.000,-, maka omzet dari bisnis seks berdasarkan hasil penelitian Sulistyaningsih, Hull dan Jones, saat ini minimal bisa mencapai Rp. 12 trilyun!


Deskripsi Masalah

Berdasarkan UU PPh 2008 (perubahan keempat atas UU Nomer 7 Tahun 1983), definisi penghasilan yang menjadi obyek PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan Subyek Pajak Dalam Negeri salah satunya adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Berdasarkan definisi tersebut diatas maka pengenaan pajak tidak memandang apakah penghasilan tersebut berasal dari sumber atau perbuatan yang halal/legal atau haram/ilegal.

Dalam perubahan keempat atas UU Nomer 7 Tahun 1983 tentang PPh, mengenai objek pajak diantaranya diatur penekanan terhadap penghasilan dari usaha syariah untuk mengatur pesatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia. Sedangkan untuk pengecualian objek pajak diantaranya diatur zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia. Perubahan keempat UU PPh tidak mengatur pengecualian objek pajak bagi penghasilan yang bersumber dari perbuatan yang haram atau ilegal. Apabila mengacu pada ketentuan UU PPh 2008, maka omzet dari bisnis seks sebesar Rp 12 trilyun bisa menghasilkan potensi pajak minimal sebesar Rp 600 milyar dengan asumsi penghitungan menggunakan tarif tunggal 5%. Tetapi dengan telah ditetapkannya UU Pornografi dan karakter masyarakat Indonesia yang agamis dan ketimuran, belum diketahui apakah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menghitung potensi pajak dari red light economy dan apabila menghitung apakah mereka menggali potensi pajak tersebut dan terealisasi dalam penerimaan pajak penghasilan selama ini.

Sedangkan di Australia sebagai pembanding, undang-undang perpajakan di negara tersebut yaitu The Income Tax Assessment Act 1936 tidak membedakan penghasilan yang berasal dari kegiatan ilegal dan legal. Selama jumlah pendapatan yang diterima masuk dalam kriteria penghasilan yang dikenakan pajak, maka pendapatan tersebut wajib dikenakan pajak melalui sistem PAYE (Pay As You Earn). Sebagai implementasi dari sikap ini, Australian Taxation Office (ATO) membentuk Special Audit Teams untuk melaksanakan Special Audit Program. Program audit ini khusus dibuat untuk mengaudit kegiatan yang dianggap sebagai black economy seperti perdagangan narkoba dan kegiatan prostitusi (Gallagher: 2003).

Penelitian terakhir yang menggambarkan potensi perputaran uang di dunia prostitusi Indonesia secara keseluruhan dilakukan oleh Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones pada tahun 1997. Sehingga untuk mengetahui berapa sebenarnya potensi pajak saat ini dari red light economy, yang menjadi pertimbangan kebijakan DJP, harus memerlukan penelitian lebih lanjut. Atas dasar hal tersebut, penulis hanya akan memberikan kerangka kebijakan publik yang dapat diambil DJP menyikapi fenomena red light economy.


Kerangka Kebijakan Publik

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi masalah publik. Sehingga seandainya DJP sebenarnya mengetahui keberadaan red light economy tetapi tidak membuat kebijakan terhadap hal tersebut, berarti DJP sudah mengambil sebuah kebijakan. Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Seandainya DJP membuat keputusan untuk tidak membuat program baru atau petunjuk pelaksanaan terhadap red light economy atau tetap pada status quo adalah sebuah kebijakan publik.

James E. Anderson (1979) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah, termasuk DJP. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah. Kebijakan publik dapat dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang politik, ekonomi, industri dan sebagainya.

Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai didalamnya (Dye: 1981). Harrold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek sosial yang ada dalam masyarakat (Dye: 1981). Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktek-praktek sosial yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktek-praktek yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Menurut David Easton sebagaimana dikutip Dye (1981), kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari input, konversi dan output. Dalam konteks ini lingkungan domestik menjadi variabel makro yang mempengaruhi kebijakan publik. Lingkungan domestik dapat memberikan input yang berupa dukungan dan tuntutan terhadap sebuah sistem politik. Kemudian para aktor dalam sistem politik akan memproses atau mengonversi input tersebut menjadi output yang berwujud peraturan dan kebijakan. Peraturan dan kebijakan tersebut akan diterima oleh masyarakat, selanjutnya masyarakat akan memberikan umpan balik dalam bentuk input baru kepada sistem politik tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan insetif, maka masyarakat akan mendukungnya, misalnya kenaikan tarif pajak, maka masyarakat akan melakukan tuntutan baru, berupa tuntutan penurunan pajak.


Memberi Kerangka Kebijakan DJP

Dalam memilih alternatif kebijakan publik ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan. Bardach sebagaimana dikutip oleh Patton dan Sawicki (1987) memberikan beberapa kriteria yaitu kelayakan teknis (technical feasibility), kelayakan politik (political viability) dan kemungkinan ekonomi dan finansial (economic and financial possibility). Kelayakan teknis mencakup efektifitas (efectiveness) dan kecukupan (adequacy). Efektifitas menyangkut apakah alternatif yang dipilih dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan kecukupan menyangkut seberapa jauh alternatif yang dipilih mampu memecahkan persoalan.

Kriteria political viability mencakup acceptability, appropriateness, responsiveness, legal dan equity. Tingkat penerimaan adalah apakah alternatif kebijakan yang bersangkutan dapat diterima oleh para aktor politik (pembuat keputusan) dan masyarakat (penerima kebijakan). Kepantasan mempersoalkan apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Daya tanggap menanyakan apakah kebijakan yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan legal adalah apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Sedangkan aspek keadilan menanyakan apakah kebijakan tersebut dapat mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.

Kriteria economic and financial possibility menyangkut economic effectiveness, profitability dan cost effeciency. Efektifitas ekonomi mempersoalkan apakah dengan menggunakan resources yang ada dapat diperoleh manfaat yang optimal. Keuntungan mempersoalkan perbandingan antara input dengan ouput kebijakan. Sedangkan efisiensi biaya mempersoalkan apakah tujuan dapat dicapai dengan dengan biaya yang minimal.

Dengan demikian pada tahap awal harus diketahui apa sebenarnya tujuan yang diharapkan dari kebijakan yang akan dilakukan DJP terhadap red light economy. Persoalan apa yang ingin dipecahkan oleh DJP. Fungsi pajak sebagai budgeter, maka diharapkan kebijakan ini akan memasukkan uang ke kas negara. Peran DJP murni sebagai revenue collection, maka kebijakan ini semata-mata hanya bertujuan untuk mengumpulkan penerimaan pajak dari kegiatan prostitusi dan bukan bermaksud untuk menyelidiki, menginvestigasi ataupun menindak aspek ilegalitas dari kegiatan prostitusi. DJP hanya berusaha untuk memenuhi dan melebihi target penerimaan pajak yang dibebankan kepada mereka. Pajak juga mempunyai fungsi regulator atau mengatur sehingga DJP dapat memberikan tarif pajak dan sanksi pidana lebih tinggi pada red light economy untuk menekan perkembangan kegiatan prostitusi. Sejarah membuktikan Al Capone ditangkap bukan karena tindak kejahatannya tetapi justru dikarenakan masalah tax evasion. Alternatif kebijakan yang akan dilakukan DJP harus mampu mencapai tujuan yang diinginkan dan bisa memecahkan persoalan yang dihadapi.

Yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah apakah kebijakan terhadap red light economy ini dapat diterima oleh para pimpinan DJP dan masyarakat penerima kebijakan baik itu pelaku kegiatan prostitusi maupun masyarakat pada umumnya. Mampukah para pimpinan DJP menerima beban moral hazard dalam kebijakan ini. Apakah kebijakan pajak terhadap dunia prostitusi ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur dan relijius. Penerimaan pajak digunakan pemerintah untuk membiayai pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat. Bagaimana reaksi masyarakat jika mengetahui uang yang digunakan untuk membangun jalan misalnya, ternyata berasal dari uang haram. Jika dikaitkan dengan kebutuhan, harus dipertimbangkan apakah masyarakat memang membutuhkan adanya kebijakan ini dan seandainya dilaksanakan kebijakan DJP terhadap red light economy tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Apakah kebijakan DJP untuk mengumpulkan penerimaan pajak dari kegiatan prostitusi berarti pemerintah telah melegalkan kegiatan prostitusi di Indonesia. Kebijakan ini juga mengejar para pelaku dunia prostitusi yang sebelumnya tidak pernah membayar pajak. Apakah ini berarti kebijakan terhadap red light economy mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.

Apabila kebijakan DJP terhadap red light economy harus dilaksanakan, harus dipertimbangkan kuantitas dan kualitas sumber daya yang ada. Teknik audit terhadap kegiatan prostitusi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan membutuhkan bantuan unit intelijen dan lembaga lainnya. Menurut Gallagher (2003) hal tersebut menjadi pertimbangan ATO (kantor pajak Australia) membentuk Special Audit Teams khusus untuk kegiatan yang masuk kategori black economy seperti kegiatan prostitusi dan perdagangan narkoba. Dengan struktur organisasi yang ada saat ini, DJP mengkaji apakah pelaksanaan kebijakan tersebut akan memperoleh manfaat optimal dan tujuan kebijakan dapat dicapai dengan biaya yang minimal. Bagaimana dengan perbandingan input dan output kebijakan? Input apa saja yang masuk dan mendasari kebijakan DJP dan apakah output kebijakan melebihi input yang masuk. Input bisa berasal dari dalam organisasi DJP atau dari pihak luar seperti DPR, media massa, masyarakat termasuk pengamat dan praktisi perpajakan.


Kesimpulan

Undang-undang perpajakan Indonesia tidak memandang taxable income dari hasil usaha dan sumber yang halal atau haram. Sepanjang merupakan penghasilan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi yang menerimanya, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan yang bersangkutan, maka penghasilan tersebut wajib dipungut pajak. Dengan demikian pelaku kegiatan prostitusi dan perputaran uang dalam merupakan subyek dan objek pajak.

Meskipun demikian sejauh ini belum diketahui kejelasan sikap DJP terhadap red light economy termasuk apakah mereka telah menghitung potensi pajak dari kegiatan prostitusi. Sedangkan institusi pajak dari beberapa negara termasuk Australia telah mengeluarkan kebijakan tegas terhadap penghasilan dari kegiatan ilegal termasuk prostitusi sebagai taxable income. Status quo kebijakan DJP terhadap red light economy adalah tidak mengeluarkan kebijakan khusus terhadap kegiatan prostitusi sebagaimana dilakukan beberapa negara lain.

Beberapa kriteria harus dipertimbangkan DJP sebelum mengeluarkan kebijakan terhadap red light economy yaitu kelayakan teknis, kelayakan politik dan kemungkinan ekonomi dan finansial. Apabila potensi pajak dari kegiatan prostitusi ternyata tidak signifikan dan kuatnya pengaruh nilai-nilai dan praktek-praktek yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagai bagian dari sebuah sistem politik, maka besar kemungkinan status quo adalah kebijakan publik yang dipilih oleh DJP.


No comments: