October 29, 2009

The Criminologist was asking us...

Dalam sistem politik yang sehat kecil kemungkinan terdapat gerakan teror. Masalahnya, walau Indonesia mengaku telah cukup sehat sistem politiknya, masih ada saja gerakan teror bahkan dalam bentuk yang amat ekstrim. Bagaimana menjelaskannya?

Pertama, adalah mencari definisi sistem politik yang sehat. Indonesia mengaku telah cukup sehat sistem politiknya, cukup sehat menurut siapa? Menurut Mancur Olson, sistem dua partai akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efisien dan berhasil daripada sistem multi partai. Sedangkan kondisi di parlemen Indonesia justru diwakili oleh sembilan partai politik. Berdasarkan pendapat Olson, sistem politik di Indonesia tidak bisa dikatakan cukup sehat.
Arend Lijphart dalam Democracy in Plural Societies berpendapat bahwa apapun sistem partai yang digunakan akan dapat stabil seandainya negara tersebut berkarakter homogen dan memiliki sedikit ketegangan sosial. Indonesia tidak memiliki karakter yang disebut Lijphart. Berdasarkan pendapat Lijphart, sistem partai di Indonesia akan sangat sulit untuk stabil karena karakteristik kondisi negara.

Kedua, mengacu pada hasil penelitian James A. Piazza sebagaimana tertuang dalam Rooted in Poverty?: Terrorism, Poor Economic Development, and Social Cleavages, negara berpopulasi besar dengan sistem politik multi partai rentan terhadap kemunculan terorisme. Demikian juga dengan perpaduan antara jumlah populasi besar dan keanekaragaman etnik dan agama, berdasarkan hasil penelitian membuat negara tersebut rentan terhadap aksi terorisme. Dan sayangnya, Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki dua kombinasi dari tiga variabel penelitian tersebut. Jumlah populasi yang sangat besar (terbanyak keempat di dunia), banyaknya jumlah partai yang mengikuti pemilihan umum (menghasilkan sembilan partai di parlemen) dan keanekaragaman etnik dan agama (didominasi etnik dan agama tertentu).

Ketiga, jika kita bandingkan jumlah kasus pengeboman di Indonesia antara masa Orde Baru dan Reformasi (sebelum dan sesudah Mei 1998), maka hipotesis Piazza seakan mendapatkan kebenaran yaitu bahwa negara berpopulasi besar dengan sistem politik multi partai rentan terhadap kemunculan terorisme. Pada masa Orde Baru, Indonesia hanya mengenal tiga partai politik dalam pemilihan umum (Golkar saya anggap sebagai sebuah partai politik). Sebaliknya pada masa Reformasi, jumlah partai politik yang mengikuti pemilihan umum justru berkembang hingga lima belas kali lipat. Dampaknya jumlah partai politik yang duduk di parlemen juga semakin banyak. Beberapa kajian penelitian membuktikan hubungan antara sistem multi partai dan adanya peluang untuk melakukan sebuah ketidakpatuhan politik dan ekstrimisme politik. Penelitian Robert W. Jackman dan Karin Volpert pada kasus 103 pemilihan umum di 16 negara menemukan fakta bahwa sistem multi partai membantu perkembangan partai politik ekstrim

Apabila mengacu pada hipotesis Piazza dan beberapa penelitian, maka bertambahnya jumlah partai politik di Indonesia adalah penyebab dari munculnya terorisme dengan sejumlah aksi teror bom. Tetapi apakah benar itu yang terjadi di Indonesia?
Perkembangan pemilihan umum di Indonesia dari tahun ke tahun justru tidak membantu perkembangan partai politik ekstrim di Indonesia. Jika partai politik berpaham agama bisa kita sebut sebagai partai politik ekstrim, keterwakilan mereka di DPR justru semakin berkurang dari periode ke periode. Bahkan beberapa mengubah platform keagamaan mereka menjadi nasionalis demi status permanen di kursi DPR. Di Aceh, meskipun tidak lepas dari perjanjian Helsinki, partai politik akhirnya yang menjadi penyaluran mantan anggota GAM untuk lepas dari aksi kekerasan.

Keempat, saya mengelaborasi hipotesis James A. Piazza dan Arend Lijphart dengan hipotesis Jurgen Habermas untuk lebih tepat menjawab pertanyaan diatas.
Menurut Habermas dalam Merekonstruki Terorisme, penyebab penyakit komunikasi yang ditimbulkan oleh globalisasi bukan bersifat kultural melainkan ekonomis. Hal ini terjadi karena banyak negara berkembang mempersepsikan politik luar negeri Barat sebagai garis depan imperialisme dan sifat konsumerisme Barat dianggap banyak merugikan mereka. Kondisi ini membangkitkan reaksi spiritual yang dilihat sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari sikap bungkam mulut dan penurut.
Jadi jika dihubungkan dengan kondisi di Indonesia dimana sering terjadi terorisme dengan aksi teror bom bermotif religius, maka menurut saya reaksi spiritual dipilih sebagai satu-satunya jalan karena mereka tidak melihat sistem multi partai yang ada sekarang dapat menyalurkan aspirasi mereka untuk menentang kondisi yang mereka anggap sebagai sebuah imperialisme Barat. Bagi kelompok ini mungkin saja sistem politik di Indonesia tidak cukup sehat karena tidak efisien dan tidak berhasil mengaspirasi keinginan mereka. Populasi besar dengan keanekaragaman etnik dan agama yang didominasi oleh etnik dan agama tertentu semakin menyuburkan kondisi ini karena pihak yang berbeda bisa dianggap sebagai perwakilan bentuk imperialisme Barat versi Habermas.


Kekuatan negara liberal adalah juga kelemahannya terkait dengan aktivitas terorisme. Apa maksudnya?

Pertama, pengertian dan paham negara liberal merujuk pada kebebasan warganegara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Perwujudan liberal sebagai sebuah demokrasi dalam negara harus mengutamakan kebebasan warganegara. Secara teori, demokrasi liberal merupakan sebuah konsep politik yang diusung John Locke dengan prinsip dasar dimana setiap individu memiliki hak untuk bebas, merdeka dan berkuasa.

Kedua, menurut Jurgen Habermas dalam Between Fact and Norms: Contribution to A Discourse Theory of Law and Democracy, demokrasi liberal mempunyai dua kelemahan bagi sebuah negara modern yang majemuk yaitu demokrasi liberal di satu sisi telah mengurangi kebebasan individu dari kelompoknya dan di sisi lain menciptakan individu-individu egoistis.

Ketiga, kebebasan dalam negara liberal justru menjadi sumber konflik karena mengandaikan setiap individu mempunyai kebebasan mutlak yaitu hak untuk bebas, merdeka dan berkuasa. Karena hak tersebut dilandasi oleh egoistis maka setiap individu menjadi ingin dihargai pendapatnya dan ingin menjadi dominan yang mengakibatkan lahirnya konflik.

Keempat, keputusan untuk melakukan teror dalam negara liberal dapat dibenarkan sebagai kebebasan untuk bertindak dan memilih sikap dan keputusan untuk taat pada alasan yang dia pegang. Kebebasan yang diatur oleh negara tersebut menjadi disalahgunakan dan keputusan negara untuk menyerahkan semua hukum pasar pada kebebasan justru pada akhirnya menjadi senjata makan tuan. Timothy McVeigh pun melakukan pengeboman di Oklahoma dengan dasar keyakinan militan yang dia anut. Sebagaimana dimuat di Kompas tanggal 13 Agustus 2009, laporan the Southern Proverty Law Center tanggal 11 Agustus 2009 menyebutkan bangkitnya kekuatan militan sayap kanan di Amerika Serikat yang mulai meluas ke sejumlah daerah di Amerika Serikat. Laporan tersebut menyebut krisis finansial, ketidakpuasan kebijakan ekonomi, rasisme dan sistem pemerintah liberal sebagai beberapa faktor penyebab.

Jean Paul Sartre dan Frantz Fanon bahkan memaklumi dilakukannya kekerasan dalam sebuah demokrasi liberal dengan menilai kekerasan sebagai bentuk liberative dan cathartic (meluapkan perasaan). Menurut mereka dalam kondisi tertentu kekerasan sepenuhnya dituntut, dan kadang merupakan cara efektif yang unik, untuk mencapai tujuan politik meskipun dalam kerangka demokrasi liberal.
Hal yang sama juga dikemukakan Ted Honderich dalam Violence for Equality yang mengatakan bahwa kekerasan sebagai cara untuk mengurangi penderitaan dan strategi bertahan hidup adalah ilegal, sah dan dapat diterima dalam sebuah demokrasi liberal seperti yang dilakukan oleh IRA, PLO dan ANC.

Kelima, dengan demikian kekuatan negara liberal yang sekaligus menjadi kelemahan terkait dengan aktivitas terorisme terletak pada sifat dasar dari negara liberal itu sendiri itu yaitu kebebasan. Untuk mengatasi kelemahan yang pasti muncul ini diperlukan pondasi dasar ketiga dari negara liberal yaitu The Role of Force untuk menegakan hukum. Sebuah kekuatan penegakan hukum oleh negara terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh warganegara sebagai wujud yang diyakini sebagai bentuk kemerdekaan berpikir dan bertindak dalam sebuah negara liberal.

No comments: