November 13, 2009

Pendanaan Terorisme

Combating Terrorism Financing atau perang melawan pendanaan terorisme tidak dimulai karena adanya peristiwa 9/11. Usaha ini telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Amerika Serikat dan Inggris. AS semakin serius dalam usahanya mencegah pendanaan teroris melalui the USA’s Antiterrorism and Effective Death Penalty Act (AEDPA) of 1996. Undang-undang ini mampu mengkriminalkan warganegara AS yang terbukti menyediakan dana atau dukungan material terhadap kelompok yang oleh Sekretariat Negara AS dianggap sebagai Organisasi Teroris Internasional. Bahkan UU ini juga mengatur pembekuan aset organisasi teroris dan penolakan visa kepada anggota atau pemimpin organisasi teroris. Embrio AEDPA of 1996 berawal dari Money Laundering Control Act 1986 yang merupakan undang-undang pertama di dunia yang menentukan money laundering sebagai kejahatan. UU tersebut melarang setiap orang untuk melakukan transaksi keuangan yang melibatkan hasil yang diperoleh dari specified unlawful activity.

Pentingnya perang melawan pendanaan teroris ini berdasarkan kenyataan bahwa pendanaan terorisme mendukung usaha perekrutan dan pemberian motivasi melalui insetif keuangan serta mampu menjaga kekuatan moral dan motivasi dengan keberhasilan perencanaan dan pelaksanaan aksi terornya. Teroris juga masih memerlukan infrastruktur sistem keuangan untuk memobilisasi dan menyalurkan dananya. Tetapi yang membuat pendanaan terorisme menjadi sangat berbahaya dibandingkan bentuk kriminal lainnya dikarenakan strategi mereka dalam menggunakan organisasi amal atau nirlaba sebagai sumber pendanaan dan kemampuannya menginfiltrasi sistem keuangan negara-negara miskin dan berkembang. Selain itu sumber dana terorisme yang dapat pula berasal dari sumber yang halal atau legal mempersulit penelusuran dan pembuktian aliran dana terorisme dibandingkan dengan money laundering yang sumber dananya hanya dari hasil tindak pidana. Pemalsuan identitas dengan semakin menjamurnya e-business dan kemudahan transaksi keuangan via internet di era globalisasi semakin memperumit aliran dana teroris.

Dari masa ke masa proses aliran pendanaan terorisme menunjukkan karakteristik yang berbeda. Pada tahun 1970an, sumber terpenting dari pendanaan terorisme justru berasal dari badan intelijen sebuah negara. Teroris digunakan oleh badan intelijen tersebut sebagai sebuah senjata militer unkonvensional untuk menghadapi musuh dalam mencapai tujuan stratejik mereka. Misalnya beberapa organisasi dari Palestina yang dianggap sebagai teroris oleh beberapa pihak diindikasikan mendapat bantuan dana yang sebagian besar berasal dari badan intelijen negara-negara di Asia Barat dan Afrika Utara. Beberapa organisasi Palestina yang dianggap sebagai teroris ini memutar dana yang mereka peroleh dari beberapa badan intelijen dan negara-negara yang bersimpati dengan mendirikan perusahaan bisnis. Laba yang mereka dapatkan dari perusahaan bisnis ini digunakan mereka sebagai tambahan sumber pendapatan bagi pendanaan aksi terorisme.

The Palestine Liberation Organization atau PLO yang pernah dianggap sebagai lambang perjuangan rakyat Palestina menghadapi zionisme Israel memiliki karakteristik aliran pendanaan yang hampir sama sebagaimana tersebut diatas. Sebelum Irak menginvansi Kuwait, yang didukung Yassir Arafat, PLO mendapat limpahan dana dari negara-negara Arab yang kaya minyak termasuk bagian penerimaan pajak yang dipungut negara-negara Arab tersebut terhadap orang-orang Palestina yang bekerja di wilayah mereka. Dana yang melimpah tersebut digunakan untuk dua kepentingan. Pertama, kepentingan pembangunan di wilayah teritori Palestina yang meliputi bantuan terhadap rumah sakit, universitas, pusat komunitas, surat kabar dan bantuan bulanan kepada ribuan keluarga Palestina. Kedua, kepentingan berinvestasi di beberapa sektor usaha seperti farmasi, tekstil, real estate, pertanian dan duty free shop di beberapa negara Afrika dan Timur Tengah serta pabrik furniture, baju dan produksi barang dari kulit di beberapa negara. Meskipun demikian dana yang melimpah tersebut ternyata dikelola secara otoriter oleh Yassir Arafat dengan beberapa akun bank rahasia. Tetapi pasca dukungan Arafat terhadap invasi Irak ke Kuwait, anggaran dana PLO menyusut hingga hampir 50%. Peristiwa ini menjadi pukulan telak kedua bagi PLO setelah runtuhnya Uni Soviet yang mengakibatkan hilangnya bantuan finansial, teknik dan pendidikan dari negara komunis tersebut, terutama di bidang the arts of terrorism and espionage.

Pada tahun 1980an dan 1990an, badan amal kemanusiaan atau badan keagamaan mulai menjadi sumber penting pengumpulan dana untuk kepentingan aksi terorisme. Hal ini terjadi setelah pada masa tersebut terorisme yang termotivasi secara relijius menggantikan peran terorisme yang berlatar belakang ideologi dan etnik sebagai sumber kekerasan yang paling serius. Terorisme menggunakan badan amal dalam dua bentuk, pertama memang didirikan organisasi teroris sebagai organisasi terdepan untuk pendanaan terorisme dan kedua didirikan oleh pihak lain untuk kepentingan amal tetapi kemudian hasilnya dimanipulasi dan digunakan sendiri oleh organisasi teroris. Masih pada tahun 1980an, narkotika terutama heroin menjadi sumber utama pendanaan terorisme selama perang di Afghanistan dan memiliki peran yang lebih besar dibanding aliran dana dari badan intelijen. Heroin bahkan digunakan sebagai senjata bagi pejuang Mujahidin Afghanistan untuk melemahkan kemampuan bertempur pasukan Uni Soviet.

Sedangkan paska peristiwa 9/11 pada tahun 2001, pemerintah Inggris mengeluarkan tipologi pendanaan terorisme yang terdiri dari donasi dan kriminalitas. Donasi dan kriminalitas bisa diibaratkan sebagai sumber halal dan sumber tidak halal. Dalam hal donasi, terdapat bukti kuat bahwa donasi dalam jumlah besar telah diberikan oleh seseorang kaya raya di Timur Tengah kepada sebuah organisasi amal yang mempunyai hubungan dengan organisasi teroris. Pemberian donasi ini diibaratkan sebagai pembayaran untuk mencari perlindungan ala Mafia. Sedangkan kriminalitas dianggap sebagai sumber pendanaan yang lebih konsisten dengan beberapa jenis kegiatannya. Organisasi teroris sendiri akan memilih kegiatan kriminalitas yang berkarakter high return low risk. Kegiatan kriminalitas yang menjadi sumber utama bagi pendanaan terorisme meliputi pemerasan, penyelundupan, kegiatan amal terselubung (yang mulai marak digunakan sejak tahun 1980an), pencurian dan perampokan serta jaringan narkoba.

Lalu lintas perdagangan narkoba atau lebih dikenal dengan istilah drug trafficking menjadi salah satu faktor (selain kejahatan bidang keuangan atau financial fraud) dibentuknya Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-7 pada tahun 1989. FATF sebagai sebuah lembaga internasional khusus didirikan untuk memerangi pencucian uang yang oleh Billy Steel disebut sebagai ”the world’s third largest industry by value”. Standar kegiatan untuk memerangi money laundering diatur dalam 40 rekomendasi yang dikenal dengan istilah FATF 40. Sebagai reaksi langsung atas peristiwa 9/11, FATF mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi khusus untuk pendanaan terorisme dan melakukan revisi terhadap FATF 40 karena terdapat sedikit perbedaan antara karakteristik sumber keuangan teroris dengan kriminal lainnya. Tujuannya adalah untuk menghalangi akses bagi teroris dan pendukungnya untuk masuk ke dalam sistem keuangan internasional. Revisi terhadap FATF 40 dan penambahan rekomendasi khusus terhadap pendanaan terorisme (terakhir berjumlah 9 rekomendasi) kemudian dikenal dengan istilah FATF 40+9. Kepatuhan terhadap FATF 40+9 menjadi dasar bagi FATF untuk mengeluarkan daftar Non Cooperative Countries/Territories (NCCT), sebuah daftar hitam negeri/wilayah yang menjadi surga pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Salah satu poin penting dalam 9 Rekomendasi Khusus FATF adalah meminta semua negara untuk sesegera mungkin meratifikasi hasil the United Nations Convention on Suppression of Terrorist Financing 1999 (STF 1999) dan melaksanakan the United Nations Security Council Resolution 1373 (2001) atau UNSCR 1373. Semua negara terikat dengan persyaratan dan ketentuan dalam konvensi yang telah ditandatangani dan diratifikasinya. Artinya setiap negara diharuskan segera mengambil langkah-langkah legislatif dan eksekutif untuk mensahkan konvesi dan mengadopsi kebijakan serta mengambil tindakan untuk memastikan pelaksanaan yang efektif atas STF 1999 berdasarkan sistem hukum nasional masing-masing negara. Dalam prakteknya FATF maupun STF 1999 menghasilkan kegiatan di bank atau institusi keuangan berupa customer due diligence, pelatihan staf, pemantauan dan pelaporan transaksi-transaksi keuangan yang mencurigakan. Sama seperti rekomendasi khusus FATF, salah satu isi UNSCR 1373 juga menghimbau negara anggota PBB untuk meratifikasi STF 1999. Dengan demikian baik FATF 40+9 maupun UNSCR 1373 menghendaki semua negara di dunia untuk menjadi pihak yang menandatangani hasil konvensi STF.

Baik STF 1999, FATF 40+9 maupun UNSCR 1373 menghendaki adanya sebuah kerjasama multilateral atau tindakan bersama banyak negara dalam memerangi pendanaan terorisme. Australia menjadi motor kerjasama negara-negara di Asia Pasifik melalui The Annual Meeting of the Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG). Pertemuan tahunan ini untuk semakin memperkuat komitmen negara-negara anggota APG menerapkan standar sistem anti money laundering and combating the financing of terrorism (AML/CFT) sebagai pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi FATF termasuk masalah peningkatan transparansi. Pertemuan APG menyediakan technical assistance dan pelatihan untuk mempercepat proses implementasi standar sistem AML/CFT, termasuk membuat perjanjian dengan ASEAN untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan technical assistance dan pelatihan. Selain menjadi motor APG, Australia melalui The Australian Transaction Reports and Analysis Centre (AUSTRAC) juga mengadakan kerjasama bilateral dengan banyak negara di dunia seperti Philipina, Brazil, Mauritius, Perancis, Kanada, Panama, Kroasia termasuk Indonesia.

Dengan Philipina, AUSTRAC mengadakan kerjasama pertukaran informasi intelijen keuangan mengingat Philipina sudah memiliki unit intelijen keuangan yang efektif dan menjadi anggota dari the Egmont Group of Financial Intelligence Units, sebuah kelompok kerjasama intelijen di bidang keuangan. Sedangkan dengan Indonesia, AUSTRAC menandatangani MoU dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sebagai unit intelijen keuangan di Indonesia. Kerjasama pertukaran intelijen keuangan diharapkan mampu mencegah dan mendeteksi tidak hanya pendanaan terorisme tetapi juga kejahatan keuangan, pencucian uang dan kejahatan serius lainnya. Kerjasama pertukaran intelijen ini berdasarkan atas standar “the international best practice” yang dikembangkan oleh the Egmont Group of Financial Intelligence Units. Sejak tahun 2003 AUSTRAC menyediakan bantuan proyek pengembangan kapasitas kepada PPATK sebagai bagian dari paket dana bantuan sebesar 10 juta Dollar Amerika yang dipicu oleh peristiwa Bom Bali 2002.

Selain secara multilateral, anggota APG juga memerangi pendanaan terorisme secara unilateral melalui kebijakannya masing-masing sesuai STF 1999. Australia misalnya menerapkan standar baru yang mewajibkan dilakukan customer due diligence kepada institusi keuangan dan memperluas kewajiban anti pencucian uang kepada institusi bisnis non keuangan dan kaum profesional seperti agen real estate, dealer metal, akuntan, perusahaan jasa, profesional hukum atau notaris. Negara kanguru ini bahkan membentuk Special Intelligence Operation on Identity Fraud untuk mengatasi maraknya masalah pemalsuan identitas dalam transaksi keuangan. Sementara Singapura mengeluarkan sistem regulasi bagi organisasi nirlaba dan lembaga swadaya masyarakat (NGO). Organisasi nirlaba diklasifikasi menjadi organisasi sosial (societies) dan badan amal (charities). Keduanya wajib terdaftar di komisi masing-masing berdasarkan undang-undang. Membuat laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh kantor akuntan publik yang telah disetujui. Bahkan permohonan peningkatan dana untuk keperluan amal luar negeri harus mendapatkan ijin terlebih dahulu berdasarkan regulasi termasuk diaudit oleh auditor yang disetujui dan terdaftar di komisi. Sedangkan NGO juga diawasi agar aktivitas dan dana tidak digunakan untuk tujuan yang melanggar hukum.

Bagaimana dengan AS sebagai negara lokomotif dilaksanakannya STF 1999, FATF 40+9 maupun UNSCR 1373? Mereka ternyata baru menyadari pentingnya perbaikan sistem keuangan di seluruh bisnis sejak terjadinya peristiwa 9/11, meskipun serangan teroris itu sendiri justru menunjukkan kelenturan dan kekuatan pasar finansial AS menghadapi dampak serangan tersebut. Serangan 9/11 memang berdampak langsung menghancurkan properti, sistem komunikasi, sistem pembayaran, sistem perdagangan, industri asuransi dan menghambat perdagangan pasar modal serta menjatuhkan indeks harga saham. Tetapi kebijakan bank sentral The Fed yang mampu menenangkan dan menstabilisasi sektor keuangan dan perbankan Amerika, bantuan The SEC (bapepamnya AS) yang melenturkan ketentuan perdagangan lantai bursa dan stimulus fiskal yang dikeluarkan Departemen Keuangan untuk membantu industri yang terkena dampak 9/11, ternyata mampu mengembalikan kepercayaan investor sekaligus dengan cepat memulihkan kondisi pasar finansial yang drop pasca serangan 9/11. Waktu pemulihan pasar finansial AS bahkan tercepat di dunia dibandingkan negara-negara Eropa dan Asia yang tidak terkena dampak langsung 9/11. Selain itu saluran komunikasi yang selalu terbuka/transparansi dialog dari otoritas moneter dan finansial dan koordinasi antar otoritas baik dalam negeri maupun lintas negara, juga menjadi salah satu faktor penentu cepatnya proses pemulihan pasar finansial AS.
Seperti telah disinggung diatas, AS baru menyadari pentingnya perbaikan sistem keuangan di seluruh bisnis sejak terjadinya serangan 9/11. Pertama dengan menambah penilaian faktor serangan teroris ke dalam sistem operasi/manajemen keuangan berbasis risiko. Kedua dengan mengembangkan kerangka kerja sistem keuangan yang memadai untuk mencegah pendanaan teroris. Perspektif risiko terjadinya serangan teroris pada sistem keuangan menuntut pembuatan rencana kontigensi bisnis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari praktek bisnis yang baik di sektor keuangan. Sedangkan tujuan pencegahan pendanaan teroris menghasilkan rekomendasi khusus dan standar sistem AML/CFT yang dikoordinasi oleh FATF selain rekomendasi soal pencucian uang yang telah ditetapkan. Perang melawan pendanaan terorisme memunculkan kebutuhan pendekatan multidisiplin selain bersandar pada sumber intelijen, yaitu kerjasama intelijen dengan instansi penegak hukum, institusi keuangan atau supervisor pasar. Standar FATF juga menghendaki semua bank, perusahaan asuransi dan dealer sekuritas secara penuh terintegrasi, melakukan upgrade sistem dan diatur untuk kepentingan AML/CFT, tidak hanya AS tetapi juga di seluruh dunia agar kerangka kerja regulasi sistem keuangan menjadi efektif dalam pelaksanaannya.

Apakah Indonesia telah meratifikasi STF 1999, melaksanakan FATF 40+9 dan UNSCR 1373? Kewajiban dan rekomendasi dalam rangka perang melawan pendanaan teroris sebagian besar telah diakomodasi dalam perundang-undangan nasional yaitu UU Nomer 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Nomer 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Nomer 1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Bagaimana dengan pelaksanaannya? Indonesia pernah masuk dalam daftar NCCT (2nd report) yang dibuat FATF karena saat itu Indonesia dinilai tidak memiliki perundang-undangan yang memenuhi standar internasional dan FATF masih tidak puas dengan hasil kerja Indonesia. Kondisi ini menghasilkan UU Nomer 25/2003 sebagai perubahan atas UU Nomer 15/2002 yang menghasilkan lembaga PPATK serta aktif melakukan kerjasama dengan lembaga sejenis PPATK di luar negeri seperti AUSTRAC-nya Australia. Saat ini Indonesia tidak masuk dalam daftar NCCT terakhir. PPATK sendiri berdasarkan data per 31 Mei 2007 telah menerima 39 STR (suspicious transaction report) yang terkait dengan kegiatan terorisme dari PJK (penyedia jasa keuangan). Ke-39 STR disampaikan atas permintaan penyidik maupun atas inisiatif PJK sendiri. Berdasarkan penjelasan Wawan Purwanto kepada Media Indonesia terbitan 15 Nopember 2005, aliran dana teroris di Indonesia biasanya masuk melalui transfer tunai bank yang dilakukan perorangan dengan sistem cut out. Artinya orang tersebut hanya dipakai sekali dan langsung dilepas atau diputus hubungan setelah melaksanakan tugas. PPATK juga telah mengedarkan consolidated list sebagai pelaksanaan UNSCR 1373 yang dilakukan dengan membuat hyperlink pada situs PPATK.

Sejauh pengamatan penulis, sistem AML/CFT berkembang baik menghambat pendanaan teroris yang melalui sistem keuangan online karena adanya tekanan Amerika dan PBB kepada negara-negara di dunia untuk meratifikasi SFT 1999, kerjasama yang kuat antara Amerika dan Eropa dan dukungan penuh dari Saudi Arabia sebagai negara tempat awal berkembangnya al Qaeda. Meskipun beberapa negara Asia menurut Sutan R. Sjahdeini tidak melaksanakan sungguh-sungguh undang-undang anti pencucian uangnya, tapi faktanya daftar NCCT terakhir hanya menyebut Myanmar, Nauru dan Nigeria. Sayangnya bagi Indonesia sistem AML/CFT belum mampu mengatasi larinya dana hasil tax evasion dan kejahatan finansial termasuk korupsi ke negara lain karena adanya kepentingan pribadi beberapa negara.

No comments: