September 26, 2008

Boedi Oetomo: Behind The Scene

Pada tahun 1976, sebuah laporan tentang sejarah kaum Masonik di Indonesia diterbitkan oleh Paul van der Veur. Laporan tersebut berjudul Freemasonry in Indonesia from Radermacher to Soekanto 1762-1962. Radermacher bisa dibilang adalah perintis Freemasonry untuk kawasan Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Dalam sejarah Hindia Belanda, Radermacher juga disebutkan sebagai Ketua Perhimpunan Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan atau Batavian Society of Arts and Sciences. Ini membuktikan bahwa ranah bermain Freemasonry atau Vrijmatselarij ada di wilayah intelektual, kesenian dan kebudayaan.

Sedangkan Soekanto yang disebut dalam laporan Paul van der Veur di atas adalah Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Ia adalah Suhu Agung terakhir dari gerakan Vrijmatselarij di Indonesia. Jabatan terakhirnya dalam pemerintahan Republik Indonesia adalah Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia atau sekarang dikenal dengan sebutan Kapolri. Namanya sekarang diabadikan oleh Polri sebagai nama rumah sakit polisi di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur.

Orang-orang pribumi sebelum Soekanto yang menduduki jabatan tinggi dari persaudaraan Freemasonry di Indonesia antara lain Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua Boedi Oetomo 1911-1914), Raden Adipati Tirto Koesoemo (Bupati Karanganyar yang juga Ketua Boedi Oetomo), Mas Boediardjo (Inspektur Pembantu Divisi Inlands Onderwijs atau Pendidikan Pribumi 1916-1922 sekaligus pengurus Boedi Oetomo), Pangeran Koesoemo Yoedho, putra Paku Alam V (Ketua Jawatan Kredit Pertanian), Dr. Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI) dan Achmad Subardjo (menteri kabinet pertama Soekarno).

Pendidikan yang disumbangkan oleh kaum Masonik turut berperan dalam melahirkan kaum elit modern di Indonesia. Sebabnya adalah, anggota Vrijmatselarij yang menjadi kepanjangan tangan Zionis, tidak saja memberikan pendidikan kepada kaum Indonesia yang miskin, tapi juga memberikan kesempatan kepada kaum muda Jawa yang berbakat untuk mengembangkan diri melalui pendidikan di Eropa.

Kerajaan Belanda sendiri mempunyai sikap yang cukup keras dengan nada bermusuhan pada Vrijmatselarij atau Freemasonry di Belanda. Kerajaan yang dekat dengan gereja dan para pemimpin Kristen ini, menyebut anggota Vrijmatselarij sebagai “makhluk-makhluk berbahaya bagi negara dan agama”

Kekhawatiran yang sama juga pernah melanda para pemimpin Katolik di Indonesia. Vikaris Apostolik Batavia, MGR. Willekens, pada tahun 1949 pernah sangat khawatir akan perkembangan Katolik di Indonesia berkaitan dengan kekuatan Vrijmatselarij ini. Ia sangat pesimis dengan masa depan Katolik yang menemukan dirinya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain seperti persaingan dengan Protestan, kekuatan Islam dan dengan Vrijmatselarij yang disebutnya saat itu sangat aktif.

Kerajaan Belanda sendiri sebenarnya telah berusaha menghalau dan membendung gerakan Vrijmatselarij di Indonesia, terutama karena desakan dari pihak gereja. Pada tahun 1810 misalnya, saat Herman Willem Daendles berkuasa, ia memerintahkan salah seorang perwiranya J.C Schulzte untuk merancang sebuah istana sekaligus gedung pertemuan yang besar di Lapangan Banteng Timur (sekarang gedung Departemen Keuangan). Daendles membangun gedung ini sebenarnya memiliki salah satu tujuan untuk memangkas pengaruh perkumpulan rahasia yang ada dan mulai membesar saat itu dalam pemerintahannya, yaitu Vrijmatselarij.

Hubungan antara pribumi, terutama kalangan keraton yang sangat renggang pada periode ini dengan Belanda, dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi anggota Vrijmatselarij. Terutama memanfaatkan Boedi Oetomo yang dijejali dengan doktrin Indonesia Baru yang mereka sampaikan. Antara Vrijmatselarij dan Boedi Oetomo terjalin hubungan yang sangat akrab. Ini kelak mempengaruhi sikap Boedi Oetomo, terutama dalam sikap keberagamaan mereka. Misalnya saja brosur terbitan Boedi Oetomo yang bernama Djawa Hisworo, yang selalu menyerukan caci maki kepada Rasulullah SAW dan ajaran Islam.

Jika kini Boedi Oetomo malah dikenal sebagai pencetus nasionalisme, sejujurnya, Boedi Oetomo sangat menentang nasionalisme. Boedi Oetomo malah tidak menghendaki nasionalisme dan menghadirkan gerakan kejawen yang anti gerakan Islam sebagai gantinya.

Bahkan pernah tercatat pula, mayoritas Boedi Oetomo menolak usulan KH Ahmad Dahlan yang meminta agar diadakan pengajian keislaman dalam tubuh Boedi Oetomo. Padahal kala itu, KH Ahmad Dahlan juga salah satu anggota Boedi Oetomo yang terbilang senior. Tapi syukurnya penolakan tersebut berbuah berkah. Karena dari penolakan itulah, KH Ahmad Dahlan memutuskan untuk menarik diri dari Boedi Oetomo dan pelan tapi pasti mulai merintis Muhammadiyah pada tahun 1912.

Tahun-tahun itu, terutama dengan motor Boedi Oetomo, memang muncul sentimen anti Islam dan menganggap Islam kontra atas perjuangan kebangsaan. Bahkan pada kongresnya di tahun 1925, Boedi Oetomo mengukuhkan kebudayaan Jawa sebagai dasar pendidikan. Hal serupa juga terjadi dalam Jong Java yang menolak memasukkan pelajaran Agama Islam sebagai salah satu kegiatan untuk anggota organisasi yang beragama Islam, pada kongresnya tahun 1924. Pertentangan suara setuju dan tidak setuju dalam Jong Java tentang kegiatan keislaman dalam kongres tersebut akhirnya melahirkan gerakan besar lainnya yaitu Jong Islamieten Bond atau Persatuan Pemuda Islam yang dimotori H. Agus Salim dan Sjamsuridjal.

Sikap-sikap seperti ini bukan semata-mata Boedi Oetomo membatasi diri dari sikap sekterian yang bersifat agama. Tapi sikap seperti ini terbentuk, besar kemungkinan karena persentuhan Boedi Oetomo dengan Vrijmatselarij yang memang memiliki doktrin anti agama dan sekuler dengan selubung pluralisme dan theosofi.

Annie Besant, pemimpin besar Theosofische Vereeniging adalah peletak dasar-dasar pluralisme di Indonesia melalui tulisannya berjudul Soal Doenia. Berikut ini adalah beberapa petikan tulisan tersebut:

Ada orang mengira bahwa nabi dari tanah Arab, Nabi Muhammad berlainan dari nabi dari agama-agama lainnya. Semua itu berlainan rupanya, dan orang menganggap apa yang menjadi kenyataan sendiri adalah lebih tinggi. Padahal semua agama itu menjadi sekawan dalam Rumah Bapak ini.

Meskipun agama bukan satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam perseteruan dan konflik sosial di masyarakat dan dalam ekskalasinya, sangat banyak memainkan peran.”

Pemikiran pluralisme sendiri, saat ini banyak diusung oleh beberapa tokoh intelektual di Indonesia, seperti mendiang Nurcholis Madjid, Ulil Abshar Abdalla dan Luthfi Syaukani. Pemikiran-pemikiran mereka bukan barang baru dan mereka juga bukan pionir dalam hal gagasan, karena pemikiran-pemikiran mereka hanya mengikuti pemikiran-pemikiran yang sudah mapan semacam Annie Besant yang juga merupakan anggota Freemasonry internasional.

Untuk membuktikan bahwa Boedi Oetomo memang organisasi binaan Freemasonry, adalah Kongres II organisasi ini. Kongres II Boedi Oetomo dilakukan di markas Vrijmatselarij. Tak hanya Kongges II Boedi Oetomo, Kongres Pemuda I pun diadakan di markas Vrijmatselarij dan atas inisiatif anggota Theosofische Vereeniging pada tahun 1926. Hal inilah yang diprotes besar-besaran oleh para pemuda yang tidak setuju.

Mereka kemudian memboikot, sampai dua tahun berikutnya para pemuda ini menggelar Kongres Pemuda II tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. ( Entah kebetulan atau tidak, Chairul Tanjung, bos Para Grup pemilik Trans TV adalah alumni SMA 1 Boedi Oetomo Jakarta dan saat ini aktif di Ikatan Alumni Boedoet.)

Maka tidak berlebihan jika disebutkan bahwa gerakan-gerakan awal di Indonesia, bahkan gerakan yang dianggap pemerintah sebagai pelopor kebangkitan Indonesia seperti Boedi Oetomo, sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh gerakan Zionisme internasional dengan kepanjangan tangannya berupa Vrijmatselarij yang di Indonesia sudah sangat menyebar.

No comments: