September 26, 2008

Singapore: The Great Lion

Pada awal lahirnya sebuah negara baru bernama Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi konsentrasinya pada awal-awal berdirinya Singapura.

Pertama, tentu adalah pengakuan internasional atas lahirnya negara baru itu.

Dan hal Kedua terbesar yang menjadi perhatian Lee Kuan Yew adalah masalah keamanan dan pertahanan.

Pada awalnya, Singapura hanya memiliki 2 batalion pasukan, itupun berada dalam komando seorang brigadir dari Malaysia, Brigadir Syed Mohammed bin Syed Alsagoff yang menurut Lee seorang Arab Muslim dengan kumis yang siap setiap saat mengambil alih negara Singapura.

Ia harus menyiapkan angkatan bersenjata dan sistem pertahanan dalam waktu dekat, untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal, terutama beberapa pihak di Malaysia yang tak setuju dengan kemerdekaan Singapura. Kelompok yang satu ini, dipercaya akan mengganggu proses kemerdekaan Singapura, oleh Lee Kuan Yew.

Untuk mengatasi masalah pertahanannya, pada awalnya Singapura meminta bantuan dan menghubungi Mesir dan India untuk menyiapkan angkatan bersenjata. Alasan Lee Kuan Yew meminta bantuan ke Mesir, salah satunya adalah pertimbangan Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia dan masyarakat Muslim di wilayah Singapura kemungkinan akan mendukung, sehingga kemungkinan terjadi kerusuhan yang tidak terkendali untuk menolak kemerdekaan Singapura akan sangat kecil.

Dari Mesir, Lee Kuan Yew mendapat jawaban, bahwa Presiden Gamal Abdul Nasser menerima dan mengakui kemerdekaan negara Singapura, tapi tidak memberikan jawaban pasti atas permintaan bantuan militer. Hal itu memicu kekecewaan Lee Kuan Yew.

Kekecewaan Lee Kuan Yew ini, dimanfaatkan oleh Israel untuk mendekati Singapura. Melalui Mordechai Kidron, duta besar Israel di Bangkok, Israel mendekati Lee Kuan Yew dan menawarkan jasa untuk menyiapkan pasukan bersenjata.

Lee Kuan Yew yang masih diliputi kekecewaan atas penolakan Mesir, langsung menerima dan memproses proposal Israel untuk menyiapkan militer Singapura, dan memerintahkan Goh Keng Swee untuk menghubungi Mordechai Kidron di Bangkok.

Dan hanya dalam beberapa hari, Kidron telah terbang ke Singapura untuk menyiapkan keperluannya bersama Hezi Carmel salah satu pejabat Mossad.

Bertahun-tahun kemudian Hezi Carmel dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa Goh Keng Swee berujar kepadanya hanya Israel lah yang bisa membantu Singapura. Israel adalah negara kecil yang dikepung oleh negara-negara Muslim di Timur Tengah, tapi memiliki kekuatan militer yang kecil tapi kuat dan dinamik.

Bersama Keng Swee, Kidron dan Hezi menghadap Lee Kuan Yew.

Perlu digarisbawahi disini, bahwa proposal Israel yang sebenarnya telah diajukan sejak tahun 1960 (sebelum kemerdekaan Singapura), adalah sebuah hasil dari kajian mendalam tentang masa depan Singapura dan percaturan politik di Asia Tenggara.

Bukan Singapura yang aktif untuk meminta Israel masuk, tapi Israel lah yang pertama kali menawarkan diri agar bisa terlibat secara aktif di wilayah Asia Tenggara.

Tentu saja ini bukan semata-mata kebetulan, tapi berdasarkan perencanaan yang matang dari gerakan Zionisme internasional. Menempatkan diri bersama Singapura, sama artinya menjadi satelit Israel dan kekuatan Yahudi di Asia Tenggara.

Nopember 1965, tim kecil dari Israel yang dikomandani Kolonel Jak Ellazari tiba di Singapura (kelak setelah pensiun dari Angkatan Bersenjata Israel, Ellazari menjadi salah satu konsultan senior untuk masalah-masalah pertahanan dan keamanan bagi Singapura).

Dan disusul oleh tim yang lebih besar lagi pada bulan Desember 1965. Mereka menggunakan kata sandi The Mexicans untuk membantu Singapura. Kedatangan tim The Mexicans ini sebisa mungkin dirahasiakan dari sorotan publik, karena Singapura dikelilingi negara Muslim besar, Indonesia dan Malaysia, serta wilayah Thailand Selatan yang didominasi kaum Muslim. Lee Kuan Yew juga tidak ingin menimbulkan perdebatan di antara penduduk Singapura yang Muslim.

Singkat cerita, proses bantuan milier Israel ke Singapura pun dimulai. Tokoh-tokoh penting Israel yang turut berperan dalam pembangunan militer Singapura adalah Yitzhak Rabin (kepala staff pemerintahan Israel saat itu), Ezer Weizmann dan Rehavam Ze’evi.

Ze’evi sendiri yang menjadi pimpinan proyek, berjanji akan membangun kekuatan militer Singapura menjadi kekuatan militer yang belum pernah ada di wilayah Asia Tenggara.

Pada tanggal 24 Desember 1965, enam orang perwira Israel tiba di Singapura. Mereka mengemban dua tugas yang berbeda. Tim pertama bertugas untuk membangun dan menset up kementerian pertahanan Singapura. Dan tim kedua bertugas untuk menyiapkan pasukan bersenjata. Persiapan pasukan bersenjata ini pada mulanya merekrut 40 sampai 50 orang yang telah memiliki pengalaman di bidang militer untuk ditraining lebih lanjut.

Tapi kini,

kekuatan yang berasal dari 40 – 50 orang yang dibangun oleh Israel itu telah menjelma menjadi kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara, bahkan mengalahkan Indonesia.

Anggaran militer Singapura itu 4,4 milyar dolar Amerika. Jauh sekali dibanding dengan Indonesia. Mereka juga punya industri militernya sendiri. Jadi tidak melulu bergantung pada negara-negara asing produsen senjata.

Sama persis dengan Israel. Israel, meski dia juga bergantung pada negara produsen senjata dari Barat, tapi mereka juga membangun persenjataan mereka sendiri. Singapura sudah bisa membuat sendiri dari senjata ringan, mesin hingga artileri.

Angkatan bersenjata Singapura, keseluruhan berjumlah 60.500 pasukan. Jauh di bawah Indonesia. Tapi Singapura punya program wajib militer untuk seluruh penduduk dewasa yang setiap saat semua warga negara Singapura bisa dimobilisasi dan dipersenjatai.

Jadi setiap penduduk dewasa Singapura itu sudah ada registrasi militernya, kepangkatannya. Ketika terjadi ancaman atau serangan, maka mereka per daerah atau per wilayah sudah bisa langsung melapor dan bergabung pada markas-markas yang sudah dtentukan. Orang-orang sipil itu tahu pangkat mereka apa, berapa anak buahnya dan tugasnya apa.

Ini benar-benar seperti konsep Israel, bahwa semua penduduk dewasa adalah tentara. Sipil yang militer. Bukan militer yang membangun supremasi di atas sipil.

Angkatan Darat Singapura punya 50.000 pasukan, tidak terlalu banyak. Angkatan Laut 4.500 dan Angkatan Udara 6.000. Tapi yang menarik adalah, Singapura itu punya Forces Abroad, pasukan-pasukan yang ditempatkan di luar negeri. Bukan pasukan untuk misi internasional, tapi pasukan Singapura sendiri, kebanyakan adalah Angkatan Udara.

Singapura menempatkan pasukannya di Prancis, Australia, Brunei, Afrika Selatan, Taiwan, Thailand dan Amerika. Itu semua terdiri dari pesawat tempur, pesawat pengintai tanpa awak sampai pesawat pengisi bahan bakar di udara yang kebanyakan parkir di Amerika.

Indonesia?

Jauh sekali. Jadi andai saja Indonesia mengebom Singapura, mereka bisa membalas lebih kuat lagi dari yang bisa dilakukan Indonesia. Jika sekarang kita terbang dengan pesawat komersial dari Jakarta ke Singapura, butuh waktu 1,5 jam. Tapi kalau untuk melakukan serangan pre-emptif strike, Singapura hanya butuh waktu kurang dalam 30 menit.

Selain kekuatan militer darat dan udara, Israel juga merancang strategi combating water bagi Singapura. Pada awalnya, mereka membuat sebuah sampan yang mampu mengangkut 10 sampai 15 anggota pasukan untuk patroli laut bahkan ke rawa-rawa. Kekuatan tempur yang dibangun oleh Israel memang disiapkan untuk menghadapi negara-negara maritim seperti Indonesia dan Malaysia.

Pada peringatan kemerdekaan Singapura, 9 Agustus 1969, dalam parade militer para undangan dikejutkan dengan pameran kekuatan Singapura. Termasuk Menteri Pertahanan Malaysia yang diundang untuk menyaksikan 30 tank buatan Israel merayap di jalanan. “Sungguh momen yang dramatis,” ujar Lee Kuan Yew mengenang saat itu.

Kondisi yang berlainan terjadi di Indonesia. Sebaliknya, dari tahun ke tahun, Indonesia yang menjadi negara besar tetangga Singapura, kini tak menentu nasib strategi pertahanan dan militernya. Kondisi inilah yang membuat bargaining position Singapura pada Indonesia meningkat, bahkan terkesan arogan. Indonesia saat ini berada pada masa transisi yang membuat posisinya lemah.

Ketika Soeharto berkuasa dengan sistem junta militernya, tidak ada perhatian secara khusus untuk membangun militer Indonesia sevcara profesional. Seperti kebanyakan rezim pemerintah junta militer, konsentrasi mereka terpecah-pecah untuk memata-matai rakyatnya sendiri, mengontrol kekuatan politik lawan di dalam negeri dan itu berakibat tidak terbangunnya militer Indonesia yang profesional. Sekarang ini baru kita melihat hasil ketidak profesionalan itu. Padahal dulu, Indonesia menurut Ken Conboy dalam bukunya berjudul Kopassus, bisa disebut sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara.

Sebagai perbandingan, pada sidang parlemen Singapura tahun 1999 terkuak sebuah informasi, bahwa negara itu menghabiskan sekitar 7,27 milyar dolar Amerika setahun, atau sekitar 25% dari anggaran belanja negara untuk alokasi pertahanan. Dan pada tahun 2000, menurut laporan Asian Defense Journal, tak kurang Singapura memiliki 4 pesawat F-16B, 10 pesawat F-16D fighters, 36 pesawat F-5C fighters dan 8 pesawat F-5T fighters. Sedangkan di Indonesia, kini hanya memiliki 6 pesawat F-16, itu pun tak semuanya bisa dan layak terbang karena terus menerus melakukan kanibalisasi untuk perbaikannya.

Pada pemerintahan Megawati, terjadi pembelian pesawat tempur Sukhoi, tapi itu pun tak sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Pesawat Sukhoi itu dirancang untuk perang di udara dan melawan tank tempur yang di Indonesia sama sekali tidak dibutuhkan.

Bahkan saking unggulnya kekuatan Singapura yang dibangun Israel ini, sampai-sampai Lee Kuan Yew membanggakan militernya jauh lebih efektif dari militer Amerika. Soal keamanan, menurut Lee Kuan Yew, Israel jauh lebih efektif dan hebat dibanding Amerika dengan membandingkan hasil kerja Israel di Singapura dengan hasil kerja Amerika di Vietnam.

Kerjasama Israel dan Singapura selanjutnya tidak hanya dalam bidang militer dan pertahanan, tapi juga ekonomi dan politik. Dan tentu saja pada tataran ekonomi dan politik, kekuatan Israel di Singapura telah pula merangsek negara-negara Muslim seperti Malaysia, Brunei dan Indonesia. Termasuk pembelian Indosat dan beberapa bank besar di Indonesia oleh Singapura. Secara seloroh, usaha aneksasi tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai provinsi ke sekian dari Israel Raya.

Apalagi sejak Singapura menandatangani kesepakatan satelit mata-mata dengan Israel pada tahun 2000. Bisa jadi, tak sejengkal pun wilayah, khususnya area-area Muslim di Asia Tenggara lolos dari perhatian Israel. Tahun 2000, Israel dan Singapura, dengan difasilitasi Amerika, menandatangani kontrak kerja sama dalam bidang satelit mata-mata senilai 1 milyar dolar Amerika dan tentu saja untuk urusan keamanan.

Akankah Singapura dengan Israel di belakangnya akan menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei yang notabene bisa disebut representasi negara Muslim? Jika kelak terbukti Singapura adalah ancaman, sesungguhnya tak mengherankan, sebab kini banyak signal dan indikasi yang menyebutkan. Terlebih ketika isu terorisme dan larinya para koruptor menghantam Indonesia, Singapura menjadi corong paling dekat yang menyakitkan warga Indonesia.

No comments: