October 26, 2008

Mengenali Pendadakan Stratejik berdasarkan Paradigma Realis

Paradigma realisme diantaranya diusung oleh Hobbes dan Machiavelli. Hobbes berasumsi bahwa individu-individu dalam suatu negara membutuhkan peran negara sebagai seorang monster atau makhluk jahat atau leviathan untuk menghindari terjadinya pertikaian antar individu yang pada akhirnya akan menjadi anarki. Menurut realisme sendiri pada dasarnya manusia adalah makhluk yang jahat sehingga kondisi damai sekalipun bagi realisme bisa merupakan sebuah ancaman. Sedangkan menurut Machiavelli negara mempunyai hak untuk melakukan akumulasi power dalam berbagai bentuk (militer) karena pertikaian antar individu ini biasa mengarah pada penggunaan power. Power style inilah yang akan menguatkan peran negara. Power menjadi sesuatu yang menentukan sekaligus menjadi sesuatu yang diperebutkan.

Menurut konsepsi dasarnya, paradigma realisme terbagi dalam Individu (Realisme Klasik) dan Sistem ( Neo-Realisme dan Realisme Struktural).

Individu - Realisme Klasik

Menurut realisme klasik, sebagai individu hakekat dasar manusia adalah struggle atau survive ditengah ancaman dan manusia harus meyakinkan dirinya aman. Sehingga dalam hal ini ada suatu kebutuhan dari manusia untuk tetap survive. Dengan demikian apabila diimplementasikan ke sebuah negara maka negara bisa melakukan segala sesuatu dengan dalih untuk melindungi negaranya. Realisme klasik mempunyai asumsi bahwa dalam lingkungan internasional tidak ada yang memiliki kekuatan hegemoni, tidak ada satu-satunya kekuatan hegemoni yang paling kuat yang dapat mengatur seluruh manusia di dunia. Sedangkan tiap negara akan selalu berusaha memaksimalkan kepentingannya masing-masing untuk tetap survive dan menjamin eksistensinya di dunia. State memandang negara lainnya sebagai musuh potensial yang menjadi ancaman sehingga mengakibatkan dilema keamanan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri. Hal yang dilakukan negara dalam situasi ketidakpastian dan kerentanan dunia tanpa kekuatan hegemoni terkuat adalah dengan memelihara balance of power.

Dengan demikian paradigma ini lebih mengutamakan karakter individu yaitu state dengan meyakini bahwa state merupakan aktor penting dalam hubungan internasional, di mana negara-negara akan saling memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan hubungan antarnegara yang terjadi merupakan bentuk struggle for power. Dan strategi yang digunakan untuk mencegah pendadakan strategis adalah defensif.

Sistem – Neo-Realisme dan Realisme Struktural

Menurut konsep ini sistem internasional lah yang mempengaruhi power bukannya negara. Segala sesuatu yang terjadi ditentukan oleh sistem. State sendiri merupakan bagian dari sistem ini. Secara keseluruhan sistem internasional terdiri dari aktor yaitu great power yang bersifat konstan, interaksi yaitu kondisi dunia yang anarkis dan struktur berupa distribusi kekuatan atau polaritas.

Sistem akan cenderung stabil apabila polaritas sistemnya kecil dan sistem dwipolar adalah salah satunya. Negara hegemonik yang ada dalam sistem dwipolar ini akan menstabilkan sistem dengan bersifat ofensif. Sehingga untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam sistem, kita hanya perlu memperhatikan aktor-aktor utama saja yaitu negara hegemonik itu sendiri apabila terjadi perang antar negara kecil sistem akan tetap dianggap stabil karena adanya hegemonic stability. Polaritas dwipolar ini pernah memunculkan teori long peace selama masa cold war dari tahun 1945-1989 dengan 2 aktor utamanya Amerika Serikat dan Uni Sovyet.

Dalam hegemonic stability theory oleh Paul Kennedy, umur negara hegemonik yang menguasai sistem makin lama makin pendek. Sebuah negara hegemonik yang masih mengalami masa pertumbuhan akan cenderung ofensif tapi disaat negara hegemonik sudah dalam batas pertumbuhan alias mentok dia akan menjadi defensif. Disaat negara hegemonik mulai melemah akan terjadi masa transisi negara hegemonik yang menyebabkan sistem menjadi tidak stabil. Tetapi kemungkinan akan muncul aktor baru yang berekspansi.

Dengan asumsi senjata ofensif bisa dibedakan dengan senjata defensif maka sebuah negara akan menggelar kekuatannya dalam rangka keamanan negara melalui manuever yang bersifat defensif, attrition dan firepower yang bersifar ofensif. Demikian pula dengan kasus military build-up, sebuah negara bisa bersifat ofensif atau defensif tergantung dari karakter sistem pertahanan yang mereka bangun. Apabila manfaat lebih besar dari biaya ekspansi maka ofensif yang dipilih, sebaliknya jika biaya ekspansi lebih besar dari manfaatnya maka defensif yang dipilih. Konsepsi dasar realisme berupa sistem yang cenderung ofensif merupakan paradigma Neo-Realisme sedangkan yang bersifat defensif merupakan paradigma Realisme Struktural.

Mengenai pendadakan stratejik, secara tradisional pertahanan nasional melihat strategic surprise sebagai sebuah realisasi ancaman berupa serangan dari negara lain menggunakan kekuatan militer. Tetapi seiring dengan globalisasi dan perkembangan teknologi, strategic surprise bagi sebuah negara juga berubah. Pendadakan stratejik bisa juga terjadi di bidang ekonomi. Amerika mengalaminya pada saat The Great Depression 1929 dan sekarang. Sedangkan Indonesia shock dengan krisis moneter 1997 dan sekarang terancam gelombang tsunami krisis finansial global. Pendadakan stratejik sendiri berarti sebuah tindakan atau perbuatan besar yang mengejutkan yang dapat mempengaruhi keseimbangan kondisi sebuah negara dan berdampak pada hasil pertempuran kedua belah pihak.

Menurut saya Realisme Struktural menjadi paradigma yang paling bisa mengenali sumber-sumber pendadakan stratejik di Indonesia, dengan alasan:

Pertama. Karakteristik dari kegiatan militer di Indonesia adalah defensif. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa Indonesia memiliki struktur negara yang lemah atau weak state akibat krisis moneter 1997 dan besarnya gelombang konflik di Indonesia. Militer Indonesia pun tidak bisa mengembangkan dan memodernisasi angkatan bersenjatanya untuk bersaing dengan kemampuan militer negara-negara lainnya. seperti Singapura atau Malaysia misalnya. Indonesia menjadi amat sangat rentan terhadap serangan dari negara lain.

Kedua. Ofensif lebih mungkin terjadi apabila ketika kemungkinan untuk melakukannya sangat mudah dilakukan. Namun ketika defensif lebih mudah dilakukan dibanding ofensif, keamanan akan muncul dimana-mana, dorongan untuk bertindak ekspansif pun berkurang dan sikap saling pengertian antar negara dalam sebuah sistem internasional akan berkembang. Dan jika defensif memiliki keuntungan dan negara-negara mampu membedakan antara senjata untuk bertahan dan menyerang, pada akhirnya negara-negara dapat memperoleh alat-alat untuk mempertahankan dirinya tanpa mengancam negara lain. Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi efek dari sistem yang anarki.

Ketiga. Di era globalisasi dan kondisi dunia yang penuh ketidakpastian seperti saat ini, sudah seharusnya sebuah negara tidak berkonsentrasi pada karakteristik-karakteristik dalam negerinya. Lebih baik berkonsentrasi pada karakteristik hubungan antar negara yang antagonistik karena pengaruh struktur sistem internasional. yang anarkis.

Untuk menemukan sumber-sumber pendadakan stratejik, Indonesia harus mengamati hirarki dan distribusi kekuatan dunia yang terbagi dalam balancing dan bandwagoning. Dengan melakukan balancing atau bandwagoning ke negara lain akan merangsang terjadinya stabilitas sistem yang berdampak eliminasi kemungkinan terjadinya pendadakan stratejik ke Indonesia.

Dengan memperhatikan perkembangan negara hegemonik dalam tataran sistem internasional maka dinamika suatu sistem internasional dapat diketahui. Sehingga saat terjadi masa transisi negara hegemonik, Indonesia sudah mengantisipasi peristiwa atau kondisi tidak stabil yang mengancam dan segera memutuskan mengenai tindakan apa yang harus dilakukan terhadap aktor baru untuk dapat menstabilkan sistem.

Dalam menghadapi ancaman pendadakan stratejik yang bersifat ofensif, tidak harus dihadapi dengan ofensif juga mengingat kondisi bawaan Indonesia sebagai weak state. Langkah-langkah diplomasi di PBB atau organisasi internasional lainnya dapat dilakukan disamping langkah militer untuk meningkatkan sistem pertahanan. Tapi peningkatan ativitas gelar kekuatan dan military build up negara tetangga tidak bisa langsung divonis sebagai sebuah ancaman pendadakan strategis dengan asumsi jenis senjata ofensif bisa dibedakan dari senjata defensif. Harus dilihat terlebih dahulu karakteristik dari gelar kekuatan dan military build up serta hirarki dan distribusi kekuatan dari negara yang bersangkutan.

No comments: