October 29, 2009

It's all about Battle for Devil's Excrement

Nukilan dari buku Di Bawah Bendera Asing karya M. Kholid Syeirazi yang menurut saya penting untuk disharing ke mereka yang belum membaca buku ini. It’s all about battle for devil’s excrement. Pablo Perez Alfonso, salah satu pendiri OPEC dari Venezuela, menyebut minyak dunia sebagai devil’s excrement atau kotoran iblis. Komoditas yang seolah ditakdirkan sebagai kutukan iblis yang memicu pertikaian bangsa-bangsa di dunia. Well, selamat menikmati tulisan dibawah ini.

Dalam pemikiran geopolitik klasik, politik internasional pada intinya adalah perjuangan untuk merebut dan menguasai pusat-pusat kekuasaan dunia. Salah satu pusat utama kekuasaaan dunia adalah energi yang menjadi sumber daya penggerak ekonomi politik peradaban manusia modern. Dengan kata lain, kompetisi geopolitik dunia memusat di jantung-jantung geografis yang menyimpan sumber energi, terutama migas. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman dan China bersaing untuk mendapatkan jaminan pasokan minyak dari negara-negara di kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia, pemilik cadangan migas terbesar di dunia. Kompetisi geopolitik ini bisa menjadi sumber konflik dan ketegangan baru di antara kekuatan besar dunia. Menurut Michael Klare, sumber konflik pasca Perang Dingin bukan peradaban sebagaimana dikemukakan Samuel Huntington, melainkan perebutan akses terhadap sumber daya alam seperti berlian, emas, tembaga, kayu, tanah, air, serta minyak dan gas bumi. Pada abad ke-20, minyak bumi bersama sumber-sumber daya mineral lain merupakan salah satu sumber konflik. Pada abad ke-21, menurut Klare, minyak bumi menjadi sumber konflik paling penting dibanding sumber-sumber daya lainnya.

Ketegangan-ketegangan global menyusul Peristiwa 11 September, seperti invasi Amerika Serikat terhadap Irak, adalah konfirmasi terhadap tesis Klare. Serangan militer AS terhadap Irak, sebagaimana diakui Larry Lindsey, salah satu ekonom penasihat ekonomi Presiden George W. Bush, adalah karena alasan minyak. Dari perspektif Gedung Putih, keberadaan rezim Saddam Husein dianggap mengancam jaminan keamanan pasokan minyak Teluk Persia ke Amerika Serikat. Karena itu, pergantian rezim di Irak mutlak dilakukan untuk menambah pasokan minyak dunia 3-5 juta barel per hari. Kontrol terhadap Irak, pemilik cadangan minyak terbesar ketiga di dunia, membuat AS memiliki posisi dominan di kawasan Teluk Persia dan menjadi landasan untuk menjamin kekuasaaannya di wilayah ini saat berhadapan dengan China, Rusia dan Uni Eropa. Untuk beberapa dekade ke depan, pertumbuhan ekonomi China, Uni Eropa dan Jepang sangat mengandalkan pasokan minyak bumi kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia. Di kawasan Laut Kaspia, Rusia sedang meluaskan pengaruh, begitu pula China dan AS.

Minyak bumi menjadi salah satu senjata penting dalam diplomasi politik dunia. China, kandidat raksasa ekonomi dunia yang membutuhkan jaminan suplai minyak dalam jumlah besar, kini terlibat persaingan dalam mendapatkan akses minyak. China bersaing dengan Jepang dalam proyek pipanisasi gas alam dari Siberia – daerah cadangan minyak bumi terbesar di Rusia. Yukos, perusahaan minyak bumi terbesar di Rusia, akan memasok 718 milyar ton minyak ke Chinese National Petroleum Company (CNPC) selama 25 tahun sejak 2005. Bersama Rusia, China mencoba merintangi sanksi yang dijatuhkan PBB terhadap Sudan menyusul tragedi kemanusiaan di Darfur pada tahun 2003. Diplomasi itu terkait dengan politik minyak. China telah memasang dan membangun pipa sepanjang 1.650 kilometer untuk menyalurkan minyak dari Sudan ke Laut Merah, agar lebih mudah diangkut ke kapal-kapal tanker minyak China. Lebih dari setengah ekspor minyak Sudan dibeli China, yang membayar dengan uang dan senjata.

China, bersama Rusia, sekali lagi mencoba merintangi sanksi yang dijatuhkan PBB kepada Iran karena program pengayaan uraniumnya. Walaupun akhirnya ikut meloloskan terbitnya Resolusi 1747 DK PBB yang memperluas sanksi terhadap Iran, China tetap melindungi negara itu karena telah mengikat kontrak pembelian minyak Iran senilai USD 100 milyar selama 25 tahun. China juga membantu Iran membangun proyek metro di Teheran, membangun jaringan tenaga listrik dan proyek kapal tanker gas alam serta jalan raya hingga ke Laut Kaspia.

Pada bulan Desember 2004, khawatir AS akan menghalangi akses ke Amerika Latin melalui Terusan Panama, China menyusun rencana pembangunan pipa untuk menyalurkan minyak Venezuela ke Samudera Pasifik tanpa harus melalui Terusan Panama. Bersama beberapa negara, China menghimpun dana bagi pembangunan pipa minyak Myanmar dan mengabaikan sanksi AS dan Eropa. Walaupun pemerintahan diktator militer Myanmar menahan peraih nobel Asung San Suu Skyi, negeri ini memiliki cadangan gas yang sangat dibutuhkan China. Bersaing dengan kartel-kartel raksasa minyak dunia seperti Chevron dan ExxonMobil (Amerika Serikat), Total (Perancis), Gazprom dan Lukoil (Rusia), China merancang jalur pipa sepanjang 1.000 km untuk mengalirkan minyak Kazakhstan, pemilik cadangan minyak terbesar di Asia Tengah (39,6 milyar barel), ke Propinsi Xinjian. China termasuk negara yang paling agresif dalam memburu minyak bumi. Sebagai net oil importer dengan tingkat impor minyak mencapai 3,7 juta barel per hari (bph), China tidak hanya menandatangani berbagai kontrak jangka panjang untuk mendapat pasokan migas dari negara-negara pemilik deposit terbesar. Perusahaan-perusahaan minyak negeri itu juga agresif mengakuisis saham perusahaan-perusahaan minyak di negeri lain.

Persaingan global karena motif minyak tampaknya akan mewarnai konstelasi politik dunia dalam beberapa dekade ke depan. AS, negara pecandu minyak (addicted to oil), akan menggunakan berbagai cara untuk mengamankan pasokan minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Ekonomi AS adalah ekonomi minyak. Hampir semua sektor ekonomi AS seperti transportasi, industri dan perdagangan tergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi. Karena itu, tanpa harga minyak murah, ekonomi AS hampir mustahil dapat bertahan. Begitu harga minyak dunia menjulang, ekonomi AS dipastikan mengalami kontraksi. Hampir semua resesi ekonomi sejak Perang Dunia II terkait dengan kelangkaan minyak dan melambungkan harga minyak dunia. Bukan hanya di bidang ekonomi, ketergantungan AS terhadap minyak juga berlangsung di sektor pertahanan. Tanpa minyak, Departemen Pertahanan AS tidak akan bisa berbuat banyak dalam menggalakkan sektor pertahanannya.

Suka atau tidak suka, ekonomi politik AS dipertaruhkan di negeri-negeri minyak yang penuh gejolak. Selagi AS bergantung pada cadangan minyak dari Teluk Persia, Laut Kaspia dan negara-negara Afrika yang labil, sejauh itu pula AS akan terlibat dalam gejolak politik, konflik dan terorisme. Ketergantungan demikian menempatkan AS pada posisi rentan terhadap konflik geopolitik minyak internasional. AS sering kali harus mengikuti keinginan mitra-mitra minyaknya lebih dari sekedar uang, tetapi kompensasi lain berupa dukungan di PBB, transfer persenjataan canggih, perlindungan militer, operasi intelijen dan sebagainya. Posisi ini dapat dengan mudah menyeret AS masuk ke dalam kancah perang minyak dunia yang sesekali dibungkus jargon perang melawan terorisme.

Ketergantungan AS terhadap minyak juga membentuk kebijakan politik AS. Bersama lembaga-lembaga multilateral pendukungnya, AS memaksa pelaksanaan regulasi suatu negara yang akomodatif terhadap kepentingan energi AS. Dalam kasus Indonesia, campur tangan AS secara langsung maupun tidak langsung dalam persoalan migas sangat nyata. Pemerintah AS mengambil peran langsung menjamin investasi energi perusahaan-perusahaan migas swasta AS di luar negeri, termasuk Indonesia. Kemenangan ExxonMobil Indonesia (EMOI) sebagai kepala operator Blok Cepu dan perpanjangan kontrak EMOI yang akan berakhir di Blok Natuna, diyakini tidak lepas dari kedatangan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice ke Indonesia pada tanggal 14-15 Maret 2006 dan Presiden AS George W. Bush pada tanggal 20 Nopember 2006. Pengakuan terbuka lembaga-lembaga multilateral yang bekerja dibawah pengaruh AS seperti IMF, World Bank, USAID dan ADB bahwa mereka terlibat dalam merancang draft UU Migas menegaskan bahwa perburuan minyak AS menjangkau seluruh penjuru bumi, termasuk Indonesia, pemilik terbesar ke-23 cadangan minyak dunia.

No comments: