October 29, 2009

Terorisme : Arnold Toynbee/Samuel Huntington + Michael T. Klare/Jurgen Habermas

Pada tahun 1950-an, sejarawan Inggris bernama Arnold Toynbee dalam bukunya Civilization on Trial dan The World and The West menyebutkan prediksinya bahwa perang sejati di abad berikutnya bukanlah antara komunis dan kapitalis, tetapi antara Barat dan Muslim. Hal ini terjadi karena menurut Toybee, Barat dengan pemimpinnya Amerika bertekad menguasai seluruh dunia, untuk menjadi kekuasaan terbesar dalam sejarah. Soviet yang menjadi penghalang (saat itu) tidak akan bertahan lama karena mereka tidak beragama, tidak beriman dan tidak mempunyai substansi di belakang ideologi mereka. Suatu saat kaum Muslim akan menggantikan posisi Soviet karena mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Soviet.

Pada tahun 1990-an, prediksi tersebut justru lebih populer didengungkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Menurut Huntington, peradaban Barat dengan pemimpinnya Amerika yang semakin menghegemoni dunia memunculkan perlawanan dari kubu Islam karena identifikasi westernisasi merupakan ancaman bagi agama Islam sebagai satu-satunya sumber identitas, makna, stabilitas, legitimitasi, kemajuan, kekuatan dan harapan.

Tetapi pendapat Huntington ini dibantah oleh Michael T. Klare satu dekade kemudian dalam bukunya The Resource Wars: The New Landscape of Global Conflict. Menurut Klare, sumber konflik pasca Perang Dingin bukan peradaban sebagaimana dikemukakan Samuel Huntington, melainkan perebutan akses terhadap sumber daya alam seperti berlian, emas, tembaga, kayu, tanah, air serta minyak dan gas bumi. Pada abad ke-20, minyak bumi bersama sumber-sumber daya mineral lain merupakan salah satu sumber konflik. Tetapi pada abad ke-21 menurut Klare, minyak bumi menjadi sumber konflik paling penting dibanding sumber-sumber daya lainnya.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan Klare, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman bernama Jurgen Habermas juga menolak hipotesis yang diajukan Huntington dalam tulisan Merekonstruksi Terorisme. Menurut Habermas dalam tulisan yang menjadi materi mata kuliah Terrorism and Counter Terrorism, penyebab penyakit komunikasi yang ditimbulkan oleh globalisasi bukan bersifat kultural melainkan ekonomis. Hal ini terjadi karena banyak negara berkembang mempersepsikan politik luar negeri Barat sebagai garis depan imperialisme dan sifat konsumerisme Barat dianggap banyak merugikan mereka. Kondisi ini membangkitkan reaksi spiritual yang dilihat sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari sikap bungkam mulut dan penurut. Atau dengan kata lain benturan peradaban (agama) sebenarnya dipicu oleh persepsi imperialisme ekonomi. Istilah imperialisme ekonomi ini dipopulerkan oleh James Petras dan Henry Veltmeyer dalam buku Empire with Imperialism sebagai imperialisme abad 21.

Imperialisme ekonomi yang dilakukan Barat, dalam hal ini Amerika, dinyatakan tersirat dalam strategi keamanan nasional mereka. Dalam dokumen berjudul The National Security Strategy of the United States of America bertanggal terbit 22 September 2002 secara tegas menyebutkan misi mewujudkan free markets dan free trade ke seluruh penjuru dunia sebagai key priorities pada strategi keamanan nasional Amerika. Sedangkan Spencer Abraham, US Secretary of Energy di masa pemerintahan George W. Bush sebagaimana dikutip Michael T. Klare dalam buku Blood and Oil: The Dangers and Consequences of America’s Growing Petroleum Dependency, mengatakan bahwa ketahanan atau keamanan energi adalah komponen dasar bagi keamanan nasional karena energi adalah sumber utama tempat bergantung seluruh infrastruktur ekonomi, industri dan pertahanan Amerika.

Jika bicara soal terorisme maka tidak akan lepas dari nama kelompok Al Qaeda dengan Osama bin Laden sebagai pemimpinnya, yang jejaringnya telah menyebar hingga Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan peristiwa penyerangan World Trade Center atau dikenal sebagai peristiwa 9/11 dimana Al Qaeda oleh Amerika dianggap bertanggung jawab atas terjadinya serangan teroris yang dianggap paling menghancurkan dan paling mematikan di sepanjang sejarahnya. Bin Laden berasal dari negara Saudi Arabia, sebuah negara kerajaan Islam yang memiliki kandungan minyak bumi terbesar di dunia. Jika dikaitkan dengan uraian tersebut diatas, hipotesis mana yang lebih tepat digunakan untuk menggambarkan kemunculan terorisme dalam kasus Osama bin Laden, apakah Arnold Toynbee/Samuel Huntington atau Michael T. Klare/Jurgen Habermas? Untuk menjawab hal ini, kita lanjutkan membaca uraian dibawah.

John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man menggambarkan kebobrokan monarki feodal Saudi Arabia dengan pangeran korup dan bejat moral serta ideologi keagamaan konservatif yang rentan menghasilkan kelompok-kelompok fundamentalis. Pendapatan minyak yang sangat luar biasa telah mengikis keyakinan relijius Wahabi yang tegas dalam keluarja kerajaan atau House of Saud. Keyakinan relijius yang konservatif bahkan telah tergantikan oleh bentuk baru bernama materialisme yang menurut Perkins menjadi pintu masuk bagi Amerika untuk memanfaatkan kekayaan kerajaan Saudi Arabia dengan topeng pertumbuhan ekonomi, kelangsungan industri dan perdagangan. Baik Perkins maupun Michael Moore dalam filmnya Fahrenheit 9/11 juga mengulas kedekatan Saudi Arabia sebagai sekutu lama Amerika. Milyaran dolar dalam bentuk kontrak, hibah dan pendapatan lain telah masuk ke saku banyak mantan pejabat tinggi Amerika. Bahkan seperti digambarkan dalam film Fahrenheit 9/11 maupun ulasan majalah Vanity Fair edisi Oktober 2003, keluarga Bush dan House of Saud adalah dua dinasti yang telah mempunyai ikatan pribadi, bisnis dan politis yang erat selama lebih dari 20 tahun.

Berdasarkan kajian terhadap ribuan halaman catatan pengadilan, laporan intelijen Amerika dan asing dan dokumen-dokumen lainnya serta wawancara terhadap sejumlah pejabat pemerintah dan para pakar terorisme dan Timur Tengah, majalah US News & World Report terbitan tanggal 15 Desember 2003 menulis kajian mendalam berjudul The Saudi Connection yang diantaranya berisi keinginan Amerika agar House of Saud mendukung Osama bin Laden dalam Perang Afghanistan menghadapi Uni Soviet selama tahun 1980-an. Bahkan majalah tersebut menyebutkan sumbangan Saudi Arabia dan Amerika kepada bin Laden dan mujahidinnya mencapai 3,5 milyar Dollar Amerika. Hal yang sama juga dibeberkan Michael Moore dalam film dokumenternya yang meraih penghargaan prestisius Palm d’Or dalam Festival Film Cannes, selain juga membeberkan kedekatan George W. Bush dan pemimpin Taliban Afghanistan saat menjadi Gubernur Texas pada tahun 1997 atau tepat 4 tahun sebelum Amerika menginvansi Afghanistan dengan alasan menangkap Osama bin Laden yang telah dianggap sebagai teroris.

Lantas peristiwa apa yang menjadi turning point permusuhan Amerika dengan Osama bin Laden? Berdasarkan tulisan profil Osama bin Laden di Wikipedia, invansi Irak ke Kuwait pada tahun 1991 yang diyakini mengancam kerajaan Saudi Arabia menjadi titik awal pecahnya hubungan baik yang terjalin selama perang Afghanistan. Pilihan Raja Fahd berpaling ke Amerika dan menolak tawaran bantuan bin Laden menghadapi ancaman invasi Irak menimbulkan kemarahan dalam diri Osama bin Laden dengan alasan kehadiran pasukan asing di Saudi Arabia justru akan mengotori tempat suci kaum Muslim. Penolakan terhadap rencana Raja Fahd yang dilakukan secara terbuka mengakibatkan Osama bin Laden diasingkan ke Sudan yang pada akhirnya melahirkan serangkaian kegiatan yang diyakini Amerika sebagai sebuah bentuk terorisme global. Jika membaca kedekatan House of Saud dengan Amerika sebagaimana diuraikan diatas, tidak mengherankan jika Raja Fahd lebih memilih Amerika untuk mengamankan kekuasaannya di Saudi Arabia.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, saya berpendapat kemunculan terorisme dalam kasus Osama bin Laden merupakan proses sekuens dari hipotesis Michael T. Klare/Jurgen Habermas yang memicu kemunculan hipotesis Arnold Toynbee/Samuel Huntington. Persis dengan apa yang digambarkan oleh Jurgen Habermas dalam merekonstruski terorisme yaitu bahwa sikap imperialisme dan sifat konsumerisme Barat membangkitkan reaksi spiritual (religius) yang dilihat sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari sikap bungkam mulut dan penurut terhadap perilaku Barat.

Jika dikaitkan dengan hipotesis James A. Piazza dalam artikel Rooted in Poverty?: Terrorism, Poor Economic Development, and Social Cleavages, yang menyebutkan beberapa variabel yang menyebabkan terorisme seperti populasi, keanekaragaman etnis dan agama, meningkatnya represi oleh negara dan struktur sistem partai politik sebagai variabel paling signifikan, maka beberapa variabel yang dirangkum sebagai social cleavage theory tersebut merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi cepat dan lambatnya berkembangnya ideologi terorisme di negara-negara yang berpotensi membuktikan sekuens hipotesis Michael T. Klare/Jurgen Habermas dan Arnold Toynbee/Samuel Huntington. Jika Indonesia diambil sebagai contoh, maka berdasarkan buku Confessions of an Economic Hit Man dan The Secret History of the American Empire karya John Perkins dan buku Di Bawah Bendera Asing karya M. Kholid Syeirazi, proses sekuens hipotesis mulai terlihat di Indonesia pada masa Orde Baru dibawah Presiden Soeharto untuk membuktikan pendapat Michael T. Klare/Jurgen Habermas. Dan munculnya beberapa kelompok Islam garis keras di Indonesia yang sering memprotes kebijakan pemerintah dan tindakan Amerika, membuktikan hipotesis Arnold Toynbee/Samuel Huntington mengenai terjadinya benturan peradaban.

Tetapi maraknya teror bom (terorisme) di Indonesia pada masa Reformasi yang menyerang pusat-pusat bisnis dan wisata dikarenakan adanya variabel versi Piazza yang melekat pada karakteristik negara Indonesia seperti besarnya jumlah populasi, keanekaragaman etnis dan agama serta munculnya banyak partai politik di era Reformasi. Atau dengan kata lain hipotesis Michael T. Klare/Jurgen Habermas dan Arnold Toynbee/Samuel Huntington bisa saja terjadi di suatu negara dan memunculkan bibit terorisme, tetapi apakah ideologi itu akan berkembang sangat cepat atau sangat lambat tergantung dari keberadaan variabel-variabel versi James A. Piazza dalam karakteristik negara yang bersangkutan. Perbandingan Indonesia dan Singapura dapat dijadikan contoh mudah untuk memprediksi di negara mana ideologi terorisme bisa diprediksi berkembang cepat.

No comments: