October 29, 2009

Terorisme : Arnold Toynbee/Samuel Huntington + Michael T. Klare/Jurgen Habermas

Pada tahun 1950-an, sejarawan Inggris bernama Arnold Toynbee dalam bukunya Civilization on Trial dan The World and The West menyebutkan prediksinya bahwa perang sejati di abad berikutnya bukanlah antara komunis dan kapitalis, tetapi antara Barat dan Muslim. Hal ini terjadi karena menurut Toybee, Barat dengan pemimpinnya Amerika bertekad menguasai seluruh dunia, untuk menjadi kekuasaan terbesar dalam sejarah. Soviet yang menjadi penghalang (saat itu) tidak akan bertahan lama karena mereka tidak beragama, tidak beriman dan tidak mempunyai substansi di belakang ideologi mereka. Suatu saat kaum Muslim akan menggantikan posisi Soviet karena mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Soviet.

Pada tahun 1990-an, prediksi tersebut justru lebih populer didengungkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Menurut Huntington, peradaban Barat dengan pemimpinnya Amerika yang semakin menghegemoni dunia memunculkan perlawanan dari kubu Islam karena identifikasi westernisasi merupakan ancaman bagi agama Islam sebagai satu-satunya sumber identitas, makna, stabilitas, legitimitasi, kemajuan, kekuatan dan harapan.

Tetapi pendapat Huntington ini dibantah oleh Michael T. Klare satu dekade kemudian dalam bukunya The Resource Wars: The New Landscape of Global Conflict. Menurut Klare, sumber konflik pasca Perang Dingin bukan peradaban sebagaimana dikemukakan Samuel Huntington, melainkan perebutan akses terhadap sumber daya alam seperti berlian, emas, tembaga, kayu, tanah, air serta minyak dan gas bumi. Pada abad ke-20, minyak bumi bersama sumber-sumber daya mineral lain merupakan salah satu sumber konflik. Tetapi pada abad ke-21 menurut Klare, minyak bumi menjadi sumber konflik paling penting dibanding sumber-sumber daya lainnya.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan Klare, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman bernama Jurgen Habermas juga menolak hipotesis yang diajukan Huntington dalam tulisan Merekonstruksi Terorisme. Menurut Habermas dalam tulisan yang menjadi materi mata kuliah Terrorism and Counter Terrorism, penyebab penyakit komunikasi yang ditimbulkan oleh globalisasi bukan bersifat kultural melainkan ekonomis. Hal ini terjadi karena banyak negara berkembang mempersepsikan politik luar negeri Barat sebagai garis depan imperialisme dan sifat konsumerisme Barat dianggap banyak merugikan mereka. Kondisi ini membangkitkan reaksi spiritual yang dilihat sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari sikap bungkam mulut dan penurut. Atau dengan kata lain benturan peradaban (agama) sebenarnya dipicu oleh persepsi imperialisme ekonomi. Istilah imperialisme ekonomi ini dipopulerkan oleh James Petras dan Henry Veltmeyer dalam buku Empire with Imperialism sebagai imperialisme abad 21.

Imperialisme ekonomi yang dilakukan Barat, dalam hal ini Amerika, dinyatakan tersirat dalam strategi keamanan nasional mereka. Dalam dokumen berjudul The National Security Strategy of the United States of America bertanggal terbit 22 September 2002 secara tegas menyebutkan misi mewujudkan free markets dan free trade ke seluruh penjuru dunia sebagai key priorities pada strategi keamanan nasional Amerika. Sedangkan Spencer Abraham, US Secretary of Energy di masa pemerintahan George W. Bush sebagaimana dikutip Michael T. Klare dalam buku Blood and Oil: The Dangers and Consequences of America’s Growing Petroleum Dependency, mengatakan bahwa ketahanan atau keamanan energi adalah komponen dasar bagi keamanan nasional karena energi adalah sumber utama tempat bergantung seluruh infrastruktur ekonomi, industri dan pertahanan Amerika.

Jika bicara soal terorisme maka tidak akan lepas dari nama kelompok Al Qaeda dengan Osama bin Laden sebagai pemimpinnya, yang jejaringnya telah menyebar hingga Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan peristiwa penyerangan World Trade Center atau dikenal sebagai peristiwa 9/11 dimana Al Qaeda oleh Amerika dianggap bertanggung jawab atas terjadinya serangan teroris yang dianggap paling menghancurkan dan paling mematikan di sepanjang sejarahnya. Bin Laden berasal dari negara Saudi Arabia, sebuah negara kerajaan Islam yang memiliki kandungan minyak bumi terbesar di dunia. Jika dikaitkan dengan uraian tersebut diatas, hipotesis mana yang lebih tepat digunakan untuk menggambarkan kemunculan terorisme dalam kasus Osama bin Laden, apakah Arnold Toynbee/Samuel Huntington atau Michael T. Klare/Jurgen Habermas? Untuk menjawab hal ini, kita lanjutkan membaca uraian dibawah.

John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man menggambarkan kebobrokan monarki feodal Saudi Arabia dengan pangeran korup dan bejat moral serta ideologi keagamaan konservatif yang rentan menghasilkan kelompok-kelompok fundamentalis. Pendapatan minyak yang sangat luar biasa telah mengikis keyakinan relijius Wahabi yang tegas dalam keluarja kerajaan atau House of Saud. Keyakinan relijius yang konservatif bahkan telah tergantikan oleh bentuk baru bernama materialisme yang menurut Perkins menjadi pintu masuk bagi Amerika untuk memanfaatkan kekayaan kerajaan Saudi Arabia dengan topeng pertumbuhan ekonomi, kelangsungan industri dan perdagangan. Baik Perkins maupun Michael Moore dalam filmnya Fahrenheit 9/11 juga mengulas kedekatan Saudi Arabia sebagai sekutu lama Amerika. Milyaran dolar dalam bentuk kontrak, hibah dan pendapatan lain telah masuk ke saku banyak mantan pejabat tinggi Amerika. Bahkan seperti digambarkan dalam film Fahrenheit 9/11 maupun ulasan majalah Vanity Fair edisi Oktober 2003, keluarga Bush dan House of Saud adalah dua dinasti yang telah mempunyai ikatan pribadi, bisnis dan politis yang erat selama lebih dari 20 tahun.

Berdasarkan kajian terhadap ribuan halaman catatan pengadilan, laporan intelijen Amerika dan asing dan dokumen-dokumen lainnya serta wawancara terhadap sejumlah pejabat pemerintah dan para pakar terorisme dan Timur Tengah, majalah US News & World Report terbitan tanggal 15 Desember 2003 menulis kajian mendalam berjudul The Saudi Connection yang diantaranya berisi keinginan Amerika agar House of Saud mendukung Osama bin Laden dalam Perang Afghanistan menghadapi Uni Soviet selama tahun 1980-an. Bahkan majalah tersebut menyebutkan sumbangan Saudi Arabia dan Amerika kepada bin Laden dan mujahidinnya mencapai 3,5 milyar Dollar Amerika. Hal yang sama juga dibeberkan Michael Moore dalam film dokumenternya yang meraih penghargaan prestisius Palm d’Or dalam Festival Film Cannes, selain juga membeberkan kedekatan George W. Bush dan pemimpin Taliban Afghanistan saat menjadi Gubernur Texas pada tahun 1997 atau tepat 4 tahun sebelum Amerika menginvansi Afghanistan dengan alasan menangkap Osama bin Laden yang telah dianggap sebagai teroris.

Lantas peristiwa apa yang menjadi turning point permusuhan Amerika dengan Osama bin Laden? Berdasarkan tulisan profil Osama bin Laden di Wikipedia, invansi Irak ke Kuwait pada tahun 1991 yang diyakini mengancam kerajaan Saudi Arabia menjadi titik awal pecahnya hubungan baik yang terjalin selama perang Afghanistan. Pilihan Raja Fahd berpaling ke Amerika dan menolak tawaran bantuan bin Laden menghadapi ancaman invasi Irak menimbulkan kemarahan dalam diri Osama bin Laden dengan alasan kehadiran pasukan asing di Saudi Arabia justru akan mengotori tempat suci kaum Muslim. Penolakan terhadap rencana Raja Fahd yang dilakukan secara terbuka mengakibatkan Osama bin Laden diasingkan ke Sudan yang pada akhirnya melahirkan serangkaian kegiatan yang diyakini Amerika sebagai sebuah bentuk terorisme global. Jika membaca kedekatan House of Saud dengan Amerika sebagaimana diuraikan diatas, tidak mengherankan jika Raja Fahd lebih memilih Amerika untuk mengamankan kekuasaannya di Saudi Arabia.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, saya berpendapat kemunculan terorisme dalam kasus Osama bin Laden merupakan proses sekuens dari hipotesis Michael T. Klare/Jurgen Habermas yang memicu kemunculan hipotesis Arnold Toynbee/Samuel Huntington. Persis dengan apa yang digambarkan oleh Jurgen Habermas dalam merekonstruski terorisme yaitu bahwa sikap imperialisme dan sifat konsumerisme Barat membangkitkan reaksi spiritual (religius) yang dilihat sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari sikap bungkam mulut dan penurut terhadap perilaku Barat.

Jika dikaitkan dengan hipotesis James A. Piazza dalam artikel Rooted in Poverty?: Terrorism, Poor Economic Development, and Social Cleavages, yang menyebutkan beberapa variabel yang menyebabkan terorisme seperti populasi, keanekaragaman etnis dan agama, meningkatnya represi oleh negara dan struktur sistem partai politik sebagai variabel paling signifikan, maka beberapa variabel yang dirangkum sebagai social cleavage theory tersebut merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi cepat dan lambatnya berkembangnya ideologi terorisme di negara-negara yang berpotensi membuktikan sekuens hipotesis Michael T. Klare/Jurgen Habermas dan Arnold Toynbee/Samuel Huntington. Jika Indonesia diambil sebagai contoh, maka berdasarkan buku Confessions of an Economic Hit Man dan The Secret History of the American Empire karya John Perkins dan buku Di Bawah Bendera Asing karya M. Kholid Syeirazi, proses sekuens hipotesis mulai terlihat di Indonesia pada masa Orde Baru dibawah Presiden Soeharto untuk membuktikan pendapat Michael T. Klare/Jurgen Habermas. Dan munculnya beberapa kelompok Islam garis keras di Indonesia yang sering memprotes kebijakan pemerintah dan tindakan Amerika, membuktikan hipotesis Arnold Toynbee/Samuel Huntington mengenai terjadinya benturan peradaban.

Tetapi maraknya teror bom (terorisme) di Indonesia pada masa Reformasi yang menyerang pusat-pusat bisnis dan wisata dikarenakan adanya variabel versi Piazza yang melekat pada karakteristik negara Indonesia seperti besarnya jumlah populasi, keanekaragaman etnis dan agama serta munculnya banyak partai politik di era Reformasi. Atau dengan kata lain hipotesis Michael T. Klare/Jurgen Habermas dan Arnold Toynbee/Samuel Huntington bisa saja terjadi di suatu negara dan memunculkan bibit terorisme, tetapi apakah ideologi itu akan berkembang sangat cepat atau sangat lambat tergantung dari keberadaan variabel-variabel versi James A. Piazza dalam karakteristik negara yang bersangkutan. Perbandingan Indonesia dan Singapura dapat dijadikan contoh mudah untuk memprediksi di negara mana ideologi terorisme bisa diprediksi berkembang cepat.

It's all about Battle for Devil's Excrement

Nukilan dari buku Di Bawah Bendera Asing karya M. Kholid Syeirazi yang menurut saya penting untuk disharing ke mereka yang belum membaca buku ini. It’s all about battle for devil’s excrement. Pablo Perez Alfonso, salah satu pendiri OPEC dari Venezuela, menyebut minyak dunia sebagai devil’s excrement atau kotoran iblis. Komoditas yang seolah ditakdirkan sebagai kutukan iblis yang memicu pertikaian bangsa-bangsa di dunia. Well, selamat menikmati tulisan dibawah ini.

Dalam pemikiran geopolitik klasik, politik internasional pada intinya adalah perjuangan untuk merebut dan menguasai pusat-pusat kekuasaan dunia. Salah satu pusat utama kekuasaaan dunia adalah energi yang menjadi sumber daya penggerak ekonomi politik peradaban manusia modern. Dengan kata lain, kompetisi geopolitik dunia memusat di jantung-jantung geografis yang menyimpan sumber energi, terutama migas. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman dan China bersaing untuk mendapatkan jaminan pasokan minyak dari negara-negara di kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia, pemilik cadangan migas terbesar di dunia. Kompetisi geopolitik ini bisa menjadi sumber konflik dan ketegangan baru di antara kekuatan besar dunia. Menurut Michael Klare, sumber konflik pasca Perang Dingin bukan peradaban sebagaimana dikemukakan Samuel Huntington, melainkan perebutan akses terhadap sumber daya alam seperti berlian, emas, tembaga, kayu, tanah, air, serta minyak dan gas bumi. Pada abad ke-20, minyak bumi bersama sumber-sumber daya mineral lain merupakan salah satu sumber konflik. Pada abad ke-21, menurut Klare, minyak bumi menjadi sumber konflik paling penting dibanding sumber-sumber daya lainnya.

Ketegangan-ketegangan global menyusul Peristiwa 11 September, seperti invasi Amerika Serikat terhadap Irak, adalah konfirmasi terhadap tesis Klare. Serangan militer AS terhadap Irak, sebagaimana diakui Larry Lindsey, salah satu ekonom penasihat ekonomi Presiden George W. Bush, adalah karena alasan minyak. Dari perspektif Gedung Putih, keberadaan rezim Saddam Husein dianggap mengancam jaminan keamanan pasokan minyak Teluk Persia ke Amerika Serikat. Karena itu, pergantian rezim di Irak mutlak dilakukan untuk menambah pasokan minyak dunia 3-5 juta barel per hari. Kontrol terhadap Irak, pemilik cadangan minyak terbesar ketiga di dunia, membuat AS memiliki posisi dominan di kawasan Teluk Persia dan menjadi landasan untuk menjamin kekuasaaannya di wilayah ini saat berhadapan dengan China, Rusia dan Uni Eropa. Untuk beberapa dekade ke depan, pertumbuhan ekonomi China, Uni Eropa dan Jepang sangat mengandalkan pasokan minyak bumi kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia. Di kawasan Laut Kaspia, Rusia sedang meluaskan pengaruh, begitu pula China dan AS.

Minyak bumi menjadi salah satu senjata penting dalam diplomasi politik dunia. China, kandidat raksasa ekonomi dunia yang membutuhkan jaminan suplai minyak dalam jumlah besar, kini terlibat persaingan dalam mendapatkan akses minyak. China bersaing dengan Jepang dalam proyek pipanisasi gas alam dari Siberia – daerah cadangan minyak bumi terbesar di Rusia. Yukos, perusahaan minyak bumi terbesar di Rusia, akan memasok 718 milyar ton minyak ke Chinese National Petroleum Company (CNPC) selama 25 tahun sejak 2005. Bersama Rusia, China mencoba merintangi sanksi yang dijatuhkan PBB terhadap Sudan menyusul tragedi kemanusiaan di Darfur pada tahun 2003. Diplomasi itu terkait dengan politik minyak. China telah memasang dan membangun pipa sepanjang 1.650 kilometer untuk menyalurkan minyak dari Sudan ke Laut Merah, agar lebih mudah diangkut ke kapal-kapal tanker minyak China. Lebih dari setengah ekspor minyak Sudan dibeli China, yang membayar dengan uang dan senjata.

China, bersama Rusia, sekali lagi mencoba merintangi sanksi yang dijatuhkan PBB kepada Iran karena program pengayaan uraniumnya. Walaupun akhirnya ikut meloloskan terbitnya Resolusi 1747 DK PBB yang memperluas sanksi terhadap Iran, China tetap melindungi negara itu karena telah mengikat kontrak pembelian minyak Iran senilai USD 100 milyar selama 25 tahun. China juga membantu Iran membangun proyek metro di Teheran, membangun jaringan tenaga listrik dan proyek kapal tanker gas alam serta jalan raya hingga ke Laut Kaspia.

Pada bulan Desember 2004, khawatir AS akan menghalangi akses ke Amerika Latin melalui Terusan Panama, China menyusun rencana pembangunan pipa untuk menyalurkan minyak Venezuela ke Samudera Pasifik tanpa harus melalui Terusan Panama. Bersama beberapa negara, China menghimpun dana bagi pembangunan pipa minyak Myanmar dan mengabaikan sanksi AS dan Eropa. Walaupun pemerintahan diktator militer Myanmar menahan peraih nobel Asung San Suu Skyi, negeri ini memiliki cadangan gas yang sangat dibutuhkan China. Bersaing dengan kartel-kartel raksasa minyak dunia seperti Chevron dan ExxonMobil (Amerika Serikat), Total (Perancis), Gazprom dan Lukoil (Rusia), China merancang jalur pipa sepanjang 1.000 km untuk mengalirkan minyak Kazakhstan, pemilik cadangan minyak terbesar di Asia Tengah (39,6 milyar barel), ke Propinsi Xinjian. China termasuk negara yang paling agresif dalam memburu minyak bumi. Sebagai net oil importer dengan tingkat impor minyak mencapai 3,7 juta barel per hari (bph), China tidak hanya menandatangani berbagai kontrak jangka panjang untuk mendapat pasokan migas dari negara-negara pemilik deposit terbesar. Perusahaan-perusahaan minyak negeri itu juga agresif mengakuisis saham perusahaan-perusahaan minyak di negeri lain.

Persaingan global karena motif minyak tampaknya akan mewarnai konstelasi politik dunia dalam beberapa dekade ke depan. AS, negara pecandu minyak (addicted to oil), akan menggunakan berbagai cara untuk mengamankan pasokan minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Ekonomi AS adalah ekonomi minyak. Hampir semua sektor ekonomi AS seperti transportasi, industri dan perdagangan tergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi. Karena itu, tanpa harga minyak murah, ekonomi AS hampir mustahil dapat bertahan. Begitu harga minyak dunia menjulang, ekonomi AS dipastikan mengalami kontraksi. Hampir semua resesi ekonomi sejak Perang Dunia II terkait dengan kelangkaan minyak dan melambungkan harga minyak dunia. Bukan hanya di bidang ekonomi, ketergantungan AS terhadap minyak juga berlangsung di sektor pertahanan. Tanpa minyak, Departemen Pertahanan AS tidak akan bisa berbuat banyak dalam menggalakkan sektor pertahanannya.

Suka atau tidak suka, ekonomi politik AS dipertaruhkan di negeri-negeri minyak yang penuh gejolak. Selagi AS bergantung pada cadangan minyak dari Teluk Persia, Laut Kaspia dan negara-negara Afrika yang labil, sejauh itu pula AS akan terlibat dalam gejolak politik, konflik dan terorisme. Ketergantungan demikian menempatkan AS pada posisi rentan terhadap konflik geopolitik minyak internasional. AS sering kali harus mengikuti keinginan mitra-mitra minyaknya lebih dari sekedar uang, tetapi kompensasi lain berupa dukungan di PBB, transfer persenjataan canggih, perlindungan militer, operasi intelijen dan sebagainya. Posisi ini dapat dengan mudah menyeret AS masuk ke dalam kancah perang minyak dunia yang sesekali dibungkus jargon perang melawan terorisme.

Ketergantungan AS terhadap minyak juga membentuk kebijakan politik AS. Bersama lembaga-lembaga multilateral pendukungnya, AS memaksa pelaksanaan regulasi suatu negara yang akomodatif terhadap kepentingan energi AS. Dalam kasus Indonesia, campur tangan AS secara langsung maupun tidak langsung dalam persoalan migas sangat nyata. Pemerintah AS mengambil peran langsung menjamin investasi energi perusahaan-perusahaan migas swasta AS di luar negeri, termasuk Indonesia. Kemenangan ExxonMobil Indonesia (EMOI) sebagai kepala operator Blok Cepu dan perpanjangan kontrak EMOI yang akan berakhir di Blok Natuna, diyakini tidak lepas dari kedatangan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice ke Indonesia pada tanggal 14-15 Maret 2006 dan Presiden AS George W. Bush pada tanggal 20 Nopember 2006. Pengakuan terbuka lembaga-lembaga multilateral yang bekerja dibawah pengaruh AS seperti IMF, World Bank, USAID dan ADB bahwa mereka terlibat dalam merancang draft UU Migas menegaskan bahwa perburuan minyak AS menjangkau seluruh penjuru bumi, termasuk Indonesia, pemilik terbesar ke-23 cadangan minyak dunia.

Review Film New World Order

When a single story has a thousand sides
Saya meminjam judul movie review NY Times dari film Rendition untuk menggambarkan apa yang saya rasakan setelah selesai menonton film New World Order (NWO) karya sutradara Luke Meyer dan Andrew Neel. Film NWO menggambarkan perjuangan Alex Jones dan rekan-rekannya menuntut kebenaran yang mereka yakini, terutama soal penyelidikan kembali peristiwa penyerangan World Trade Center yang lebih dikenal dengan sebutan 9/11. Selain kontroversi peristiwa 9/11, film NWO juga mengurai beberapa kontroversi lainnya seperti pembunuhan Presiden John F. Kennedy di Texas, kekuatan The Bilderberg Group untuk mengatur dunia, pengaruh simbol masonic di Washington DC, fakta yang terjadi dalam perang di Irak atau NWO sebagai kekuatan setan yang menguasai dunia.

Apakah film NWO sebuah film propaganda? Tergantung dari sisi (keyakinan) mana kita melihatnya. Bagi pemerintah Amerika dan mereka yang meyakini 9/11 sebagai sebuah produk serangan teroris, film NWO akan dianggap sebagai sebuah film propaganda dan teori konspirasi belaka. Tetapi bagi mereka yang berdiri dari sisi berlawanan, film NWO tentu tidak mereka anggap sebagai sebuah film propaganda, melainkan sebuah film perjuangan untuk menuntut kebenaran, keadilan dan jawaban atas segala pertanyaan Alex Jones dkk akan kejanggalan dalam peristiwa 9/11.

Orang seperti Alex Jones biasanya akan ”dilecehkan” karena dianggap menyuarakan teori konspirasi, sebuah teori yang mengundang sinisme dan bahan lelucon karena sulitnya menyajikan alat bukti positif. Sebuah pemikiran atau gagasan baru dengan sumber mengutip ucapan orang, media, organisasi ataupun catatan buku juga sangat sulit untuk tidak dianggap teori konspirasi jika orang, media, organisasi atau buku tersebut tidak dianggap cukup layak oleh mereka yang berkuasa. Sebagai contoh, dapatkah seorang Steve E. Jones, profesor ilmuwan dari Brigham Young University (bukan universitas terkenal atau dari Ivy League) dianggap layak sebagai sumber untuk mengemukakan teori baru penghancuran WTC yang berlawanan dengan hasil investigasi resmi pemerintah Amerika melalui badan NIST (National Institute of Standards and Technology) ? Sekali lagi tergantung di sisi mana anda berdiri.

Film NWO sendiri hanya mempunyai satu sisi pandang yaitu anti kemapanan informasi. Sisi keyakinan bahwa kontrol dan penguasaan atas sumber informasi, media dan pengetahuan merupakan elemen kekuasaan pemerintah Amerika yang sangat berpengaruh hingga pendemo harus menyuarakan ”End The Media Black Out!”. Recheck pada sisi yang sama seperti contoh kasus The Bilderberg Group pada sang penulis buku Daniel Estulin akhirnya menjadi sebuah pilihan wajar bagi film ini.

Bulan Oktober ini hadiah nobel Fisika salah satunya jatuh ke tangan Charles Kuen Kao yang dianggap berjasa meletakkan teori bagaimana melewatkan cahaya ke jarak jauh melalui kabel serat optik. Sebuah teori yang tidak hanya membuat video film NWO dapat ditransfer ke seluruh penjuru dunia melalui media Youtube dalam hitungan detik tetapi juga membuat segala informasi atau kabar berita bisa melaju dengan cepat melalui internet. Sebuah kondisi yang saat ini memunculkan medan pertempuran baru yaitu information warfare dalam bentuk battle for mind. Pada akhirnya kita akan kembali mendengar.... “when a single story has a thousand sides”.

The Criminologist was asking us...

Dalam sistem politik yang sehat kecil kemungkinan terdapat gerakan teror. Masalahnya, walau Indonesia mengaku telah cukup sehat sistem politiknya, masih ada saja gerakan teror bahkan dalam bentuk yang amat ekstrim. Bagaimana menjelaskannya?

Pertama, adalah mencari definisi sistem politik yang sehat. Indonesia mengaku telah cukup sehat sistem politiknya, cukup sehat menurut siapa? Menurut Mancur Olson, sistem dua partai akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efisien dan berhasil daripada sistem multi partai. Sedangkan kondisi di parlemen Indonesia justru diwakili oleh sembilan partai politik. Berdasarkan pendapat Olson, sistem politik di Indonesia tidak bisa dikatakan cukup sehat.
Arend Lijphart dalam Democracy in Plural Societies berpendapat bahwa apapun sistem partai yang digunakan akan dapat stabil seandainya negara tersebut berkarakter homogen dan memiliki sedikit ketegangan sosial. Indonesia tidak memiliki karakter yang disebut Lijphart. Berdasarkan pendapat Lijphart, sistem partai di Indonesia akan sangat sulit untuk stabil karena karakteristik kondisi negara.

Kedua, mengacu pada hasil penelitian James A. Piazza sebagaimana tertuang dalam Rooted in Poverty?: Terrorism, Poor Economic Development, and Social Cleavages, negara berpopulasi besar dengan sistem politik multi partai rentan terhadap kemunculan terorisme. Demikian juga dengan perpaduan antara jumlah populasi besar dan keanekaragaman etnik dan agama, berdasarkan hasil penelitian membuat negara tersebut rentan terhadap aksi terorisme. Dan sayangnya, Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki dua kombinasi dari tiga variabel penelitian tersebut. Jumlah populasi yang sangat besar (terbanyak keempat di dunia), banyaknya jumlah partai yang mengikuti pemilihan umum (menghasilkan sembilan partai di parlemen) dan keanekaragaman etnik dan agama (didominasi etnik dan agama tertentu).

Ketiga, jika kita bandingkan jumlah kasus pengeboman di Indonesia antara masa Orde Baru dan Reformasi (sebelum dan sesudah Mei 1998), maka hipotesis Piazza seakan mendapatkan kebenaran yaitu bahwa negara berpopulasi besar dengan sistem politik multi partai rentan terhadap kemunculan terorisme. Pada masa Orde Baru, Indonesia hanya mengenal tiga partai politik dalam pemilihan umum (Golkar saya anggap sebagai sebuah partai politik). Sebaliknya pada masa Reformasi, jumlah partai politik yang mengikuti pemilihan umum justru berkembang hingga lima belas kali lipat. Dampaknya jumlah partai politik yang duduk di parlemen juga semakin banyak. Beberapa kajian penelitian membuktikan hubungan antara sistem multi partai dan adanya peluang untuk melakukan sebuah ketidakpatuhan politik dan ekstrimisme politik. Penelitian Robert W. Jackman dan Karin Volpert pada kasus 103 pemilihan umum di 16 negara menemukan fakta bahwa sistem multi partai membantu perkembangan partai politik ekstrim

Apabila mengacu pada hipotesis Piazza dan beberapa penelitian, maka bertambahnya jumlah partai politik di Indonesia adalah penyebab dari munculnya terorisme dengan sejumlah aksi teror bom. Tetapi apakah benar itu yang terjadi di Indonesia?
Perkembangan pemilihan umum di Indonesia dari tahun ke tahun justru tidak membantu perkembangan partai politik ekstrim di Indonesia. Jika partai politik berpaham agama bisa kita sebut sebagai partai politik ekstrim, keterwakilan mereka di DPR justru semakin berkurang dari periode ke periode. Bahkan beberapa mengubah platform keagamaan mereka menjadi nasionalis demi status permanen di kursi DPR. Di Aceh, meskipun tidak lepas dari perjanjian Helsinki, partai politik akhirnya yang menjadi penyaluran mantan anggota GAM untuk lepas dari aksi kekerasan.

Keempat, saya mengelaborasi hipotesis James A. Piazza dan Arend Lijphart dengan hipotesis Jurgen Habermas untuk lebih tepat menjawab pertanyaan diatas.
Menurut Habermas dalam Merekonstruki Terorisme, penyebab penyakit komunikasi yang ditimbulkan oleh globalisasi bukan bersifat kultural melainkan ekonomis. Hal ini terjadi karena banyak negara berkembang mempersepsikan politik luar negeri Barat sebagai garis depan imperialisme dan sifat konsumerisme Barat dianggap banyak merugikan mereka. Kondisi ini membangkitkan reaksi spiritual yang dilihat sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari sikap bungkam mulut dan penurut.
Jadi jika dihubungkan dengan kondisi di Indonesia dimana sering terjadi terorisme dengan aksi teror bom bermotif religius, maka menurut saya reaksi spiritual dipilih sebagai satu-satunya jalan karena mereka tidak melihat sistem multi partai yang ada sekarang dapat menyalurkan aspirasi mereka untuk menentang kondisi yang mereka anggap sebagai sebuah imperialisme Barat. Bagi kelompok ini mungkin saja sistem politik di Indonesia tidak cukup sehat karena tidak efisien dan tidak berhasil mengaspirasi keinginan mereka. Populasi besar dengan keanekaragaman etnik dan agama yang didominasi oleh etnik dan agama tertentu semakin menyuburkan kondisi ini karena pihak yang berbeda bisa dianggap sebagai perwakilan bentuk imperialisme Barat versi Habermas.


Kekuatan negara liberal adalah juga kelemahannya terkait dengan aktivitas terorisme. Apa maksudnya?

Pertama, pengertian dan paham negara liberal merujuk pada kebebasan warganegara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Perwujudan liberal sebagai sebuah demokrasi dalam negara harus mengutamakan kebebasan warganegara. Secara teori, demokrasi liberal merupakan sebuah konsep politik yang diusung John Locke dengan prinsip dasar dimana setiap individu memiliki hak untuk bebas, merdeka dan berkuasa.

Kedua, menurut Jurgen Habermas dalam Between Fact and Norms: Contribution to A Discourse Theory of Law and Democracy, demokrasi liberal mempunyai dua kelemahan bagi sebuah negara modern yang majemuk yaitu demokrasi liberal di satu sisi telah mengurangi kebebasan individu dari kelompoknya dan di sisi lain menciptakan individu-individu egoistis.

Ketiga, kebebasan dalam negara liberal justru menjadi sumber konflik karena mengandaikan setiap individu mempunyai kebebasan mutlak yaitu hak untuk bebas, merdeka dan berkuasa. Karena hak tersebut dilandasi oleh egoistis maka setiap individu menjadi ingin dihargai pendapatnya dan ingin menjadi dominan yang mengakibatkan lahirnya konflik.

Keempat, keputusan untuk melakukan teror dalam negara liberal dapat dibenarkan sebagai kebebasan untuk bertindak dan memilih sikap dan keputusan untuk taat pada alasan yang dia pegang. Kebebasan yang diatur oleh negara tersebut menjadi disalahgunakan dan keputusan negara untuk menyerahkan semua hukum pasar pada kebebasan justru pada akhirnya menjadi senjata makan tuan. Timothy McVeigh pun melakukan pengeboman di Oklahoma dengan dasar keyakinan militan yang dia anut. Sebagaimana dimuat di Kompas tanggal 13 Agustus 2009, laporan the Southern Proverty Law Center tanggal 11 Agustus 2009 menyebutkan bangkitnya kekuatan militan sayap kanan di Amerika Serikat yang mulai meluas ke sejumlah daerah di Amerika Serikat. Laporan tersebut menyebut krisis finansial, ketidakpuasan kebijakan ekonomi, rasisme dan sistem pemerintah liberal sebagai beberapa faktor penyebab.

Jean Paul Sartre dan Frantz Fanon bahkan memaklumi dilakukannya kekerasan dalam sebuah demokrasi liberal dengan menilai kekerasan sebagai bentuk liberative dan cathartic (meluapkan perasaan). Menurut mereka dalam kondisi tertentu kekerasan sepenuhnya dituntut, dan kadang merupakan cara efektif yang unik, untuk mencapai tujuan politik meskipun dalam kerangka demokrasi liberal.
Hal yang sama juga dikemukakan Ted Honderich dalam Violence for Equality yang mengatakan bahwa kekerasan sebagai cara untuk mengurangi penderitaan dan strategi bertahan hidup adalah ilegal, sah dan dapat diterima dalam sebuah demokrasi liberal seperti yang dilakukan oleh IRA, PLO dan ANC.

Kelima, dengan demikian kekuatan negara liberal yang sekaligus menjadi kelemahan terkait dengan aktivitas terorisme terletak pada sifat dasar dari negara liberal itu sendiri itu yaitu kebebasan. Untuk mengatasi kelemahan yang pasti muncul ini diperlukan pondasi dasar ketiga dari negara liberal yaitu The Role of Force untuk menegakan hukum. Sebuah kekuatan penegakan hukum oleh negara terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh warganegara sebagai wujud yang diyakini sebagai bentuk kemerdekaan berpikir dan bertindak dalam sebuah negara liberal.